Moratorium Perizinan Minimarket untuk Lindungi Pedagang Kecil
Dari 520 minimarket, 222 di antaranya belum mengantongi Izin Usaha Toko Swalayan. Keberadaan minimarket perlu diatur agar tak semakin menjamur. Pedagang kecil perlu dilindungi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Keberadaan minimarket di Kota Bogor, Jawa Barat, yang kian menjamur perlu diatur agar tidak mematikan pedagang kecil. Perlu moratorium perizinan minimarket yang memiliki payung hukum berupa peraturan daerah atau perda untuk mengatur penertiban dan keberadaan minimarket.
Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto, dalam keterangan tertulisnya menilai, perlu ada pembatasan pendirian minimarket di Kota Bogor agar persaingan usaha bisa lebih sehat terutama bagi pedagang kecil.
Hantaman pandemi Covid-19 memang memukul semua sektor. Meski begitu, jangan sampai melepas perhatian kepada pedagang kecil dan usaha menengah kecil mikro (UMKM). Mereka perlu terus didorong sehingga pemulihan dan kebangkitan (recovery reborn) ekonomi menjadi rata di semua lapisan masyarakat dan berbagai jenis usaha.
Pertumbuhan jumlah minimarket khususnya minimarket berjejaring perlu dibarengi dengan peraturan pembatasan di suatu wilayah berdasarkan jarak efektif dan tata kelola kota. Oleh karena itu, perlu moratorium perizinan minimarket di Kota Bogor yang memiliki payung hukum mengatur penertiban dan keberadaan minimarket.
”Kalau jaraknya tidak sampai 300 meter sudah ada tiga sampai empat minimarket menjadi crowded dan bisa memancing persaingan usaha yang tidak sehat. Jadi, saya kira, wacana moratorium bagus dan layak didukung, terutama untuk memastikan pedagang kecil juga tetap hidup,” ujar Atang, Jumat (20/5/2022).
Atang juga menilai perlu adanya dukungan sistem bagi para pelaku UMKM dan warung kelontong agar tetap berdaya dan ekonomi meningkat. Sebab, dengan berdirinya minimarket di tengah permukiman masyarakat atau di setiap sudut ruang, maka para pelaku usaha seperti warung kelontong terancam keberadaannya.
Tak hanya itu, keberadaan minimarket di Kota Bogor juga dinilai tidak dibarengi dengan kedisiplinan dari para investor dalam mengurus perizinan. Dari data oleh Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM (DisperindagkopUMKM) Kota Bogor, dari 520 minimarket, 222 di antaranya belum mengantongi Izin Usaha Toko Swalayan (IUTS).
Ini momentum yang baik untuk mengevaluasi Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2017 tentang Penataan dan Pembinaan Toko Swalayan.
Atang mengatakan, Kota Bogor akan selalu terbuka bagi para investor. Namun, perlu ditekankan para investor harus mematuhi peraturan yang ada dan disiplin dalam mengurus izin.
”Peraturan dibuat untuk mengatur semua hal menjadi tertib dan bertanggung jawab, termasuk pula kesiapan untuk merekrut tenaga kerja lokal dan memberikan ruang penjualan produk lokal UMKM,” ujarnya.
Kepala Bagian Hukum Hukum dan HAM Sekretaris Daerah Kota Bogor Alma Wiranta mengatakan, moratorium pendirian minimarket di Kota Bogor saat ini belum ada payung hukum yang secara tegas mengatur keberadaannya.
Namun, substansi rencana kebijakan terkait jarak dan jumlah warga yang bermukim untuk kelayakan pendirian minimarket telah dibahas oleh perangkat daerah teknis bersama bagian hukum sejak tahun 2019.
”Untuk lebih kuat kepastian, keadilan, dan kemanfaatan terhadap kebijakan ini harus didukung dengan payung hukum berupa perda. Ini momentum yang baik untuk mengevaluasi Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2017 tentang Penataan dan Pembinaan Toko Swalayan,” ujar Alma.
Selain penertiban dan pengaturan terkait minimarket, masalah penataan pedagang kaki lima (PKL) tetap harus mendapatkan perhatian.
Ketua Komisi II DPRD Kota Bogor Edy Darmawansyah mengatakan, PKL harus dibuat legalitas atau payung hukum yang berkekuatan hukum tetap.
Lokasi penataan PKL, kata Edy, perlu dicarikan dan ditetapkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (SK) Wali Kota Bogor untuk mengatur klasifikasi PKL. Hal itu bertujuan agar para PKL bisa memiliki kepastian dalam menjajakan produk dagangannya.
”Kalau misalkan itu memang PKL kuliner, ya, disatukan dengan kuliner. Tapi kalau dia pedagang pakaian, sayur, dan bahan pangan, ya, sudah seharusnya diletakkan di dekat pasar,” kata Edy.
Tak hanya itu, Edy jyga merekomendasi untuk meningkatkan anggaran bagi DiperindagkopUMKM. Dinas itu ada 15 program dan 18 kegiatan dengan anggaran Rp 23 miliar. Namun, anggaran tersebut sebagian besarnya digunakan untuk gaji, pemeliharaan, dan rutinitas kegiatan dinas.
DisperindagkopUMKM harus memiliki inovasi program untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan para pengusaha yang akan berpengaruh terhadap PAD Kota Bogor.
”Anggaran ini disesuaikan kembali agar program-program yang bersentuhan dengan masyarakat bisa diadakan, tidak hanya kegiatan rutin saja,” ujar Edy.