Penerapan ”electrifying lifestyle” dalam ranah dapur punya potensi besar di tengah penerimaan masyarakat dari semua lapisan meski pengenalannya masih terpusat pada masyarakat perkotaan.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Publik antusias pada pengembangan teknologi berbasis listrik demi menekan laju perubahan iklim. Konsep electrifying lifestyle sebagai gaya hidup rendah emisi ini pun diharapkan berdampak pada penguatan ekonomi bangsa.
Publik mendukung peralihan energi lebih ramah lingkungan untuk kebangkitan energi bangsa, menggenapi sinergi yang terbangun antara pemerintah dan pemodal dalam pemanfaatan listrik berbasis energi baru terbarukan.
Dukungan masyarakat ini tercermin dari hasil jajak pendapat Kompas akhir November 2021. Delapan dari sepuluh responden setuju langkah pemerintah beralih menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Di tataran praktik, penyelamatan bumi dapat dimulai dari cara hidup sehari-hari. Salah satunya penggunaan teknologi atau peralatan berbasis energi listrik. Melalui kampanye electrifying lifestyle, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mendorong masyarakat menggunakan kompor listrik dan kendaraan listrik.
Program ini diharapkan meningkatkan kebutuhan listrik demi menyeimbangkan kelebihan pasokan listrik PLN. Harapannya, PLN mendapat keuntungan wajar sehingga mempercepat akselerasi EBT intermittent, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan PLTB (bayu/angin), dalam sistem kelistrikan nasional.
Tidak hanya itu, konversi energi gas ke listrik juga berkontribusi menstabilkan neraca dagang Indonesia, khususnya menekan ketergantungan impor gas elpiji. Pada 2019, impor elpiji terhadap produksi dalam negeri mencapai 73 persen. Selain itu, negara juga masih terbebani subsidi elpiji 3 kg yang diprediksi meningkat jadi Rp 66 triliun pada 2022 dari Rp 31 triliun pada 2016.
Electrifying lifestyle tak hanya berperan penting dalam agenda besar pengurangan emisi karbon, tetapi juga menguatkan ekonomi bangsa demi percepatan pembanguan ekosistem EBT. Selain itu, berpotensi menguatkan ekonomi rumah tangga.
Memasak dengan kompor listrik atau kompor induksi lebih ekonomis dan hemat waktu dibandingkan kompor gas. Uji coba memasak satu liter air menggunakan kompor induksi 1.200 watt hanya butuh biaya Rp 158. Pada kompor elpiji tabung 12 kilogram menelan biaya Rp 176. Penyebaran panas yang lebih merata pada kompor induksi mempersingkat waktu memasak (siaran pers PLN, 23 November 2021).
Manfaat penggunaan kompor listrik ini perlu terus digencarkan di tengah pengguna yang masih minim. Sepuluh tahun terakhir, laju penggunaan kompor listrik cenderung stagnan. Mayoritas rumah tangga masih menggunakan kompor gas. Penggunaan minyak tanah atau kayu bakar pun lebih tinggi dibandingkan pengguna kompor listrik, baik rumah tangga di perkotaan maupun perdesaan.
Survei Kesejahteraan Rakyat tahun 2013, baru 0,98 persen rumah tangga di perkotaan yang menggunakan kompor listrik. Pada 2021, angka itu justru menurun jadi 0,95 persen. Penurunan juga tampak di rumah tangga di perdesaan.
Senada dengan itu, jajak pendapat Kompas memotret pengguna kompor listrik masih amat sedikit. Baru 1,9 persen responden sepenuhnya menggunakan kompor listrik dan 2,8 persen mengombinasikan dengan jenis kompor lain.
Pengguna kompor listrik ini mayoritas dari kota-kota di Pulau Jawa. Meski demikian, penggunanya lintas status ekonomi sosial bawah hingga atas. Artinya, penerapan electrifying lifestyle dalam ranah dapur memiliki potensi besar di tengah penerimaan masyarakat dari semua lapisan meski pengenalannya masih terpusat pada masyarakat perkotaan.
Hal ini mendobrak stigma bahwa teknologi atau peralatan listrik modern hanya dapat dinikmati kalangan atas. Sosialisasi produk berbasis listrik perlu ditonjolkan sebagai produk yang ”ramah kantong”.
Publik pun menyoroti tiga upaya yang perlu diperhatikan demi meningkatkan penggunaan kompor listrik. Separuh publik (53,6 persen) menyuarakan biaya listrik murah, 21,3 persen menyorot keterjangkauan harga, dan 12,2 persen pada peningkatan sosialisasi. Tak pelak, aspek ekonomi jadi pertimbangan utama memilih kompor listrik. Sosialisasi juga sangat penting.
Kendaraan listrik
Selain kompor listrik, penggunaan kendaraan listrik juga didorong jadi gaya hidup berbasis listrik. Apalagi dalam skenario business as usual, emisi Indonesia diprediksi 4 miliar ton karbon dioksida pada 2060. Sebanyak 0,8 miliar ton-nya disumbang sektor transportasi. Upaya pengendalian emisi karbon melalui konversi energi perlu dilakukan demi target carbon netral pada 2060. Kendaraan listrik menjadi agenda strategis.
Agenda itu mensyaratkan sinergi pemerintah dan pemodal untuk menarik minat masyarakat menggunakan mobil listrik. Itu pernyataan Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam diskusi yang digelar Kompas bertajuk ”Electrifying Lifestyle: Peduli Lingkungan melalui Investasi Mobil Listrik” pada 1 Desember 2021.
Di tataran publik, pengguna mobil listrik masih sedikit. Hasil jajak pendapat merekam baru 0,1 persen responden punya kendaraan listrik. Meski demikian, ada 36,6 persen responden ingin mengganti atau membeli kendaraan pribadi berbasis listrik.
Kelompok antusias ini dari berbagai kalangan. Potret ini kembali menunjukkan, kehadiran mobil listrik dinanti publik. Itu diharapkan jadi bahan bakar yang memacu gerak pemerintah terus berkomitmen mengembangkan energi rendah emisi. (LITBANG KOMPAS)