Kedua operator ini bekerja dengan sistem sif, masing-masing 12 jam. Selama bertugas, mereka berada di area pembangkit. Mereka biasanya pulang sebentar untuk makan siang atau makan malam.
Oleh
ismail zakaria
·3 menit baca
Siang yang terik pada Sabtu (2/10/2021) membuat warga Desa Papagarang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, memilih berdiam di rumah. Namun, tidak demikian dengan Bin Boy (23). Siang itu, ia berkeliling menyusuri jalan kecil dari Dusun Lamolo Jaya hingga Dusun Tanjung Keramat. Tujuannya untuk bertemu warga dan mencari tahu sekiranya ada masalah dengan listrik mereka.
Sepanjang perjalanan, setiap bertemu warga, Boy dengan ramah menyapa. Warga yang telah mengenal Boy sebagai operator Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Papagarang juga melakukan hal yang sama. Setelah menyapa, ia kemudian menanyakan apakah ada listrik warga yang bermasalah. Siang itu, tidak ada yang menyampaikan keluhan.
”Biasanya keluhan mereka soal meteran atau instalasi listrik yang mengalami gangguan. Setiap ada laporan seperti itu, kami langsung menanganinya,” ujar Boy.
Berkeliling bertemu warga adalah kegiatan rutin yang dilakukan Boy selaku operator PLTS Papagarang yang berkapasitas 380 kilowatt peak (kWp). Kegiatan itu dilakukan dua kali dalam sepekan. Biasanya, Boy bergantian dengan Ihram (21), operator lainnya. PLTS Papagarang beroperasi sejak 1 November 2019.
Beroperasinya PLTS telah membuat warga bisa mengakses listrik selama 24 jam. Ini sekaligus memutus ketergantungan mereka bertahun-tahun pada listrik dari mesin genset yang berbiaya mahal.
Beroperasinya PLTS telah membuat warga bisa mengakses listrik selama 24 jam.
Sejalan dengan mulai beroperasinya PLTS, Boy dan Ihram juga mulai bertugas sebagai operator. Sejak saat itu, dua pemuda asli Papagarang tersebut menjadi perpanjangan tangan PLN di pulau yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo itu.
Tanggung jawab
Baik Boy maupun Ihram sama-sama tidak memiliki latar belakang pendidikan kelistrikan. Keduanya adalah lulusan sekolah menegah atas (SMA). Boy lulus dari SMA di Bima, Nusa Tenggara Barat, sementara Ihram bersekolah di SMA di Labuan Bajo.
”Saya setelah lulus SMA sempat menjadi nelayan, melanjutkan pekerjaan saya sejak kecil. Namun, sekarang, sepenuhnya di sini sebagai operator PLTS,” kata Ihram.
Kedua operator ini bekerja dengan sistem sif, masing-masing 12 jam. Selama bertugas, mereka berada di area pembangkit yang dibangun di puncak perbukitan di belakang desa. Mereka biasanya pulang sebentar untuk makan siang atau makan malam. Selama berada di area pembangkit, setiap hari mereka bertugas membuat laporan per jam terkait operasional pembangkit. Mereka juga mengecek kondisi panel hingga baterai sekali dalam sepekan.
Selama berada di area pembangkit, setiap hari mereka bertugas membuat laporan per jam terkait operasional pembangkit. Mereka juga mengecek kondisi panel hingga baterai sekali dalam sepekan.
Saat tidak bertugas, baik Ihram maupun Boy tidak selalu bisa bersantai. Menurut Ihram, mereka kadang masih tetap harus siaga memantau kondisi listrik pelanggan. Apalagi, gangguan bisa terjadi kapan saja. Sebagian besar gangguan yang muncul bisa mereka tangani sendiri. Namun, jika ada yang tidak tertangani, mereka melapor ke Labuan Bajo.
”Selama bisa ditangani sendiri, kami serahkan ke mereka. Namun, untuk yang sifatnya strategis, tetap berkoordinasi (ke kantor unit) di Labuan Bajo,” ujar Manajer Unit Layanan Pelanggan PLN Labuan Bajo I Gede Ambara Natha.
Pada kondisi tertentu, seperti pada musim angin barat atau saat Papagarang masuk musim hujan, para operator ini jauh lebih sibuk. Pada periode itu, matahari tidak selalu muncul karena mendung sehingga pasokan listrik ke warga sepenuhnya bergantung pada cadangan listrik pada baterai. Kondisi itu membuat Boy dan Ihram harus melakukan pembatasan. Caranya dengan mengatur jadwal pemadaman aliran listrik ke warga.
Warga yang telah terbiasa dengan kondisi PLTS saat musim hujan kemudian menggelar musyawarah. Boy dan Ihram turut hadir untuk menjelaskan situasinya. Musyawarah akan berakhir dengan kesepakatan warga mengatur pemakaian listriknya.
”Melakukan pembatasan adalah cara terbaik. Itu juga demi warga. Kalau tidak, bisa habis (tidak ada listrik),” kata Ihram.
Bagi Boy dan Ihram yang digaji bulanan, tidak mudah menjadi operator PLTS di wilayah kepulauan. Namun, mereka tetap berusaha menjalankan rutinitas tersebut dengan sebaik-baiknya demi listrik tetap menyala untuk warga.