Gaya Hidup Rendah Karbon pada Masa Pandemi
Meningkatnya pemakaian kendaraan pribadi, listrik di rumah dan minimnya pengelolaan sampah, menambah emisi karbon pada masa pandemi.
Meski pada awal pandemi, emisi gas rumah kaca (GRK) sempat menurun. Namun, perjalanan Indonesia untuk menurunkan emisi GRK masih panjang. Langkah sederhana untuk menurunkan emisi GRK tidak mudah dilakukan selama pandemi ini.
Pembatasan aktivitas di beberapa tempat di Indonesia sedikit banyak berdampak pada penurunan emisi GRK. Laporan Indonesia Renewable Energy Society (METI) dalam paparan ”Pemulihan Ekonomi dan Sosial Pasca Covid-19 melalui Pembangunan Rendah Karbon” menyebutkan, penurunan emisi Gas Rumah Kaca bulan April 2020 mencapai 17 persen dibandingkan dengan 2019.
Namun, penurunan emisi tersebut cuma sesaat. Saat Adaptasi Kebiasaan Baru diterapkan pada awal Juni, aktivitas kembali normal. Masyarakat mulai beraktivitas di luar rumah yang berpotensi untuk meningkatkan kembali emisi karbon. Meski sebenarnya aktivitas di rumah pun juga berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca.
Merujuk pada laman CarbonBrief.org, Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia pada tahun 2015. Catatan ’Postdam Institute for Climate Impact Research’, emisi gas rumah kaca tahunan Indonesia pada 2015 adalah sekitar 2.400 Gt CO2e. Angka tersebut mewakili 4,8 persen dari total emisi global dunia.
Emisi per kapita Indonesia mencapai 9,2-ton CO2e. Angka ini lebih besar dari rata-rata global (7-ton CO2e). Bahkan, juga lebih besar dari rata-rata di China (9-ton CO2e), Inggris (7,7-ton CO2e) dan Uni Eropa (8,1-ton CO2e).
Emisi tersebut dihasilkan dari emisi kebakaran lahan gambut, kehutanan dan tata guna lainnya; limbah; pertanian; industri; dan energi. Emisi yang dihasilkan dari kebakaran lahan gambut cukup memengaruhi nilai total emisi karbon yang dihasilkan Indonesia.
Seperti pada emisi 2015 yang mencapai 2.400 Gt CO2e, terbanyak (33 persen disumbang oleh emisi kebakaran gambut. Namun, pada 2017, total emisi karbon Indonesia, menurun menjadi 1.154 Gt CO2e. Penurunan tersebut karena emisi kebakaran gambut, anjlok drastis menjadi 12,5 Gt CO2e dari sebelumnya 802 Gt CO2e.
Catatan Statistik Pengendalian Perubahan Iklim, emisi terbesar pada 2017 dihasilkan oleh energi sebesar 562,2 Gt CO2e, disusul oleh emisi dari kehutanan dan tata guna lainnya (282 Gt CO2e. Adapun terkecil disumbang dari kebakaran lahan gambut sebesar 12,5 Gt CO2e.
Baca juga: ”Tantangan Normal Baru pada Perubahan Lingkungan”
Emisi Energi
Emisi GRK dari sektor energi berasal dari pembakaran bahan bakar dan emisi fugitive dari produksi bahan bakar. Pembakaran bahan bakar termasuk emisi yang dihasilkan oleh produksi listrik dan panas, industri minyak bumi, batubara, dan manufaktur, transportasi, serta sektor lainnya, seperti perumahan dan komersial. Adapun emisi fugitive dari produksi bahan bakar, termasuk gas metan yang dihasilkan dari fasilitas produksi migas (hulu), penyulingan dan proses, serta distribusi.
Catatan KLHK 2017, total emisi terbesar dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar pada produksi listrik dan panas, sebesar 243.629 Gg CO2e. Nilai emisi tersebut akan terus meningkat seiring dengan aktivitas pemakaian listrik masyarakat. Hidup tanpa listrik tidak mungkin dilakukan, yang bisa dilakukan adalah menghemat penggunaan listrik.
Paparan ”Peran Mahasiswa dalam Pembangunan Rendah Karbon (Priyaji, 2020)” menyebutkan beberapa upaya untuk mereduksi emisi energi listrik. Di antaranya, memutus arus listrik saat baterai penuh, mencabut kabel yang tidak terpakai, segera mematikan LCD/TV seusai digunakan, dan mengupayakan tidak menyalakan AC.
Hal tersebut tidak mudah dilakukan saat pandemi ini yang mengharuskan kita tinggal di rumah. Penggunaan AC bisa jadi seharian, terutama saat memasuki masa musim kemarau. Juga dengan kebiasaan buruk untuk tidak mencabut peralatan elektronika, terutama charger. Hal tersebut berpotensi untuk meningkatkan penggunaan energi listrik.
Namun, masyarakat mulai sadar untuk menghemat penggunaan listrik dengan mengurangi penggunaan lampu dan memakai lampu hemat energi. Hal tersebut tecermin dari Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup (IPKLH) dari BPS (2018). Nilai indeks pengelolaan energi terendah (0,16), dibandingkan dengan indikator lainnya.
Baca juga: 7 Cara Hemat Listrik Saat Bekerja dari Rumah
Pengelolaan energi ini terkait dengan rata-rata proporsi lampu hemat energi yang tercatat di 34 provinsi, rata-rata mencapai 95 persen. Kemudian, persentase rumah tangga yang jarang mematikan lampu ketika tidak digunakan, serta persentase rumah tangga yang memanfaatkan cahaya matahari untuk sebagian kecil ruangan.
Di sisi lain, bangunan tempat tinggal kita juga mengeluarkan emisi karbon. Tahun 2018, catatan World Bank (2019), emisi karbon dari bangunan: 0,47 tCO2 per kapita. Meski angka ini lebih rendah rata-rata negara-negara G-20 (1,54 tCO2 per kapita), selama 2013-2018 trennya cenderung meningkat 18 persen. Dikutip dari sumber yang sama, emisi karbon yang dihasilkan dari rumah: 0,71 GJ/m2 dan dari bangunan publik/komersial: 0,27 GJ/m2.
Selain mengurangi penggunaan mesin pendingin ruangan, masyarakat juga bisa menanam tanaman di sekitar rumah untuk mengurangi emisi karbon dari bangunan. Tanaman mempunyai kemampuan untuk menyerap karbon dari udara yang terakumulasi dalam tubuh tanaman.
Mengutip dari paparan ”Menanam Pohon menyelamatkan Bumi (Ary, 2012), satu batang pohon diperkirakan mampu menyerap 7.500 gram karbon. Selain itu, dalam satu hari sebatang pohon menyerap CO2 antara 20 sampai 36 gram per hari dan dalam sejam satu lembar daun memproduksi oksigen sebanyak 5 mililiter.
Baca juga: Pandemi dan Peluang Menurunkan Emisi
Emisi transportasi
Bagaimana dari sisi emisi karbon penggunaan bahan bakar pada transportasi? Catatan KLHK pada 2016 adalah 147.230 Gg CO2e. Emisi sektor transportasi yang dihasilkan mencapai 0,55 t CO2 per kapita. Angka ini meningkat 11 persen dibandingkan dengan tahun 2011. Emisi terbesar dihasilkan oleh mobil pribadi sebesar 0,27 kg CO2 per kilometer, disusul oleh sepeda motor (0,15 kg CO2 per kilometer).
Sebelum pandemi dari jajak pendapat Kompas April 2019, hampir tiga perempat responden di Jabodetabek menggunakan kendaraan pribadi (sepeda motor dan mobil) untuk mobilitas sehari-hari. Hanya sekitar seperempat responden yang mulai naik angkutan umum.
Setelah pandemi, bisa jadi angka persentase pengguna kendaraan pribadi semakin meningkat. Kekhawatiran terpapar virus di angkutan umum yang kadang kala harus berdesakan membuat orang menghindari naik transportasi umum. Hal tersebut tersebut dalam Hasil Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 yang menyatakan, 82 persen responden menghindari naik angkutan umum.
Kebiasaan menggunakan kendaraan bermotor untuk bermobilitas juga tecermin dalam IPKLH (2018) dari variabel transportasi pribadi. Nilai indeksnya mencapai 0,71, mendekati 1. Artinya, tingkat kepedulian untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor cukup rendah.
Menariknya, indeks di atas rata-rata Indonesia lebih banyak ditemukan di provinsi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Nilai indeks dimensi transportasi pribadi di Jawa lebih rendah. Hal ini agaknya terkait dengan ketersediaan angkutan umum yang lebih memadai di Jawa ketimbang di wilayah Sumatera ataupun Kalimantan.
Emisi Limbah
Emisi yang dihasilkan dari limbah relatif paling rendah dibandingkan emisi dari sektor lainnya. Tahun 2017, emisinya mencapai 120,2 Gt CO2e (10,4 persen). Emisi dari limbah dihasilkan oleh pembuangan air limbah industri (45 persen), pembuangan limbah padat yang tidak terkelola (31 persen), dan pembuangan air limbah domestik (19 persen). Sisanya merupakan sampah biologis (domestik&industri), pembakaran sampah, dan pembuangan limbah padat lainnya.
Sampah, baik organik maupun anorganik, yang ditimbun akan terurai menjadi gas metan dan karbon dioksida yang berkontribusi pada pemanasan global. Sampah organik, seperti makanan, jika membusuk di tempat pembuangan akhir, menurut Riset Barilla (2018), akan menghasilkan gas metan yang 21 kali lebih berbahaya ketimbang karbon dioksida. Meski sebenarnya sampah makanan ini lebih mudah terurai ketimbang sampah anorganik.
Sampah anorganik seperti plastik yang sukar terurai di alam ini juga berpotensi meningkatkan emisi karbon. Penelitian ”Strategies to Reduce the Global Carbon Footprint of Plastics (Jiajia; Sangwon,2019) yang dikutip dari laman Theconversation menyebutkan dalam seluruh siklus hidupnya, plastik menyumbang 3,8 persen emisi GRK secara global. Angka tersebut hampir dua kali lipat dari emisi sektor penerbangan.
Meski nilai emisi karbon dari limbah relatif paling kecil, ada kecenderungan jumlahnya bakal meningkat setiap tahun. Hal ini tecermin dari nilai IPKLH variabel pengelolaan sampah. Nilai indeks pada 2018 mencapai 0,72, tertinggi ketimbang variabel lainnya. Variabel pengelolaan sampah ini terdiri atas persentase rumah tangga yang menangani sampah dengan tidak ramah lingkungan dan rumah tangga yang tidak membawa tas belanja sendiri.
Sejumlah provinsi tercatat mempunyai nilai indeks lebih kecil daripada rata-rata Indonesia, di antaranya DKI Jakarta (0,46), Bali (0,64), DI Yogyakarta (0,66), Kepulauan Riau (0,64), Kalimantan Timur (0,61), dan Kalimantan Utara (0,65). Agaknya hal tersebut terkait dengan kebijakan daerah setempat yang mulai mengurangi penggunaan plastik. Sebut saja Kota Denpasar, Kota Balikpapan, Kota Bogor, Kota Bekasi, dan Jakarta yang mengeluarkan peraturan daerah untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.
Hal tersebut tecermin dari jajak pendapat Kompas pada Agustus 2019 di kawasan Jabodetabek. Hampir 90 persen responden mengaku telah melakukan ’diet’ plastik. Caranya dengan membawa tas belanja nonplastik (40,6%), botol minum sendiri (34%), serta membawa tempat makan/peralatan makan sendiri (25%).
Masih ada pekerjaan rumah untuk meningkatkan kesadaran mengurangi sampah plastik di provinsi lainnya. Volume sampah plastik di Indonesia semakin tahun kian banyak. Sebagai gambaran, proporsi sampah plastik pada 2005, 11 persen, dan tahun 2015 meningkat menjadi 15 persen. KLHK memperkirakan total sampah plastik nasional mencapai 490.000 ton.
Pekerjaan rumah lain terkait mengurangi emisi karbon dari limbah adalah upaya untuk mengolah dan memilah sampah. Belum banyak rumah tangga yang melakukan pemilahan sampah. Hal itu tecermin juga dari hasil jajak pendapat Kompas di Jabodetabek pada April 2019. Hampir tiga perempat responden mengaku belum mengolah sampah. Adapun separuh responden menyatakan belum memilah sampah.
Persoalan sampah ini menjadi kompleks saat masyarakat harus tinggal di rumah saja saat pandemi. Volume sampah plastik cenderung meningkat karena dipicu oleh peningkatan belanja daring. Survei LIPI April hingga Mei lalu di Jabodetabek menunjukkan, 96 persen paket belanja daring dibungkus dengan bahan plastik.
Indonesia dalam Konferensi Iklim di Paris 2016 berkomitmen untuk mengurangi emisi 29-41 persen pada 2030. Hingga 2017, emisi karbon yang dihasilkan cenderung menurun. Namun, kembali mendapat tantangan pada masa pandemi ini, tak hanya dari perubahan aktivitas masyarakat, tetapi juga kebijakan dan anggaran untuk perubahan iklim yang difokuskan pada penangangan Covid-19.(LITBANG KOMPAS)