Terbayang tanggal merah di akhir tahun bertepatan dengan libur sekolah. Pelonggaran kegiatan diperluas pula. Tetap menahan atau melepaskan hasrat melancong setelah lama terkurung?
Oleh
neli triana
·5 menit baca
Akhir tahun sudah di ambang pintu. Alam bawah sadar seperti mengirim gelombang sinyal segeralah menyisipkan rencana jeda dari rutinitas setahun berjalan. Apalagi, ujung tahun identik dengan kelelahan berlipat karena harus berkejaran dengan tenggat target kerja ataupun ujian sekolah. Penghabisan Desember pun menjadi waktu yang sayang dilewatkan tanpa libur melepas penat, menyegarkan diri dengan berwisata, atau kumpul keluarga dekat hingga di kampung halaman.
Seperti halnya akhir tahun lalu, akhir tahun 2021 ini masih masa pandemi meskipun gelombang kedua serangan Covid-19 telah terlewati. Data resmi pemerintah menunjukkan, selama berpekan-pekan angka kasus positif konsisten rendah. Pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat bertahap pun diperluas. Kini, perkantoran, tempat usaha, angkutan umum, dan pusat perbelanjaan sudah diperbolehkan beroperasi dengan kapasitas 75-100 persen.
Pelonggaran pembatasan ditambah capaian vaksinasi yang terbilang tertinggi se-Indonesia mempertebal rasa percaya diri warga metropolitan ibu kota dan kota sekitarnya untuk beraktivitas di luar ruang. Hingga awal November, capaian target vaksinasi penuh atau dua dosis di Jakarta, khususnya untuk sasaran usia dewasa sudah 95 persen. Tetangga DKI di Jawa Barat, seperti Kota Bogor di atas 80 persen dan Kota Bekasi di atas 60 persen. Di Banten, Kota Tangerang Selatan sedikit tertinggal dengan 57 persen dan Kota Tangerang di atas 65 persen.
Seiring dengan kondisi itu, pergerakan masyarakat di Jabodetabek tercatat terus meningkat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya bahkan harus menerapkan pembatasan dengan memberlakukan lagi kebijakan ganjil genap nomor kendaraan bermotor. Hal ini karena kesibukan lalu lintas mendekati masa sebelum pandemi melanda pada Maret 2020. Sebagai gambaran, data Pemprov DKI menyebutkan di Jakarta saja ada 18 juta kendaraan bermotor.
Akun media sosial Twitter Traffic Management Center Polda Metro Jaya, terutama pada akhir pekan, rutin mengabarkan kepadatan lalu lintas sampai kemacetan parah ke arah Puncak, Kabupaten Bogor. Situasi serupa terpantau terjadi di sekitar kawasan wisata di Taman Mini Indonesia Indah, Ragunan, dan Ancol di Jakarta. Jalan tol dalam kota Jakarta dan lingkar luar pun mulai padat merayap.
Perjalanan antarwilayah di dalam negeri tak ketinggalan ikut menggeliat. Apalagi syarat perjalanan, meski berubah-ubah, cenderung makin mudah dipenuhi. Calon pengguna angkutan udara, laut, dan darat asal sudah vaksin dosis pertama, hasil tes antigen negatif, dan lolos skrining via aplikasi PeduliLindungi, bisa menjelajah hingga ke seluruh pelosok Nusantara. Pengguna kendaraan bermotor pribadi lebih bebas lagi karena nyaris tidak menemui pos pemeriksaan lagi di sepanjang rute darat, juga di daerah tujuan.
Pelonggaran ini bagai keran air yang dibuka kembali setelah tertutup rapat sekitar 1,5 tahun terakhir. Sebelumnya, sebagian masyarakat Jabodetabek tertekan ekonominya plus lelah mental karena cemas tertular wabah sekaligus terkungkung tidak bisa ke kantor, mal, apalagi pelesiran ke berbagai tempat. Kini, kaum urban ini mendapatkan kembali ”sayap kebebasannya”.
Namun, bukan berarti SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, sudah lenyap. Epidemiolog mengingatkan virus tersebut masih aktif dan ada varian baru yang bisa lebih mudah menular dan lebih berbahaya. Selalu ada potensi terjadi gelombang baru serangan wabah global ini ketika tercipta kondisi yang memudahkan penyebaran virusnya.
Agar bisa mewujudkan normal baru di semua aspek hidupnya, kota-kota didesak kreatif dalam menentukan kebijakan pembangunan dan penganggarannya. Acuan paling sederhana, keramaian dan kerumunan mau tidak mau harus dihindari.
Temuan kasus positif Covid-19 pun terbukti masih ada. Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, ada temuan kasus di Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua. Tren peningkatan kasus ini tidak hanya terkait kasus aktif, tetapi juga tingkat kematian dan keterisian tempat tidur di rumah sakit.
Tidak ada yang ingin gelombang ketiga terjadi. Akan tetapi, bagi sebagian orang, bekerja dan bersekolah dari rumah tidak selalu dapat dijalani karena ada kendala teknologi, biaya, dan kesulitan lain. Keinginan bepergian dan merasakan kebersamaan dengan orang lain secara fisik juga butuh kanal penyaluran karena manusia adalah makhluk sosial, bukan semata makhluk individu.
Untuk itu, mengelola pergerakan masyarakat agar kebutuhan ekonomi dan kebutuhan lainnya terpenuhi dengan menjaga peluang SARS-CoV-2 menemukan inang-inang baru serendah mungkin merupakan bagian dari normal baru sebagai bentuk adaptasi di masa pandemi.
Normal baru tersebut penting diwujudkan, apalagi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 ini bisa menjadi awal dari pandemi lain yang bakal menyerang manusia bersamaan dengan kian banyaknya mutasi virus berbahaya sebagai bagian dampak perubahan iklim. Kota-kota yang kini menjadi pusat pertumbuhan populasi manusia selalu menjadi sasaran empuk ancaman penyebaran wabah global di masa depan.
Kreatif membangun
Agar bisa mewujudkan normal baru di semua aspek hidupnya, kota-kota didesak kreatif merancang kebijakan pembangunan dan penganggarannya. Acuan paling sederhana, keramaian dan kerumunan mau tidak mau harus dihindari. Jadi, kegiatan ekonomi, sosial, juga politik jangan lagi memicu dua hal itu. Sebaiknya, kota memulai memecah dan menyebarkan sentra-sentra kegiatan yang biasa menjadi pusat keramaian baru ke berbagai lokasi di internal area urbannya.
Di luar upaya-upaya meningkatkan roda perekonomian di tingkat makro, mengikuti kebijakan pemerintah pusat, pemerintah kota bisa menghidupkan lagi program mewadahi usaha kecil dalam lokasi binaan (lokbin) atau lokasi binaan usaha kecil (LBUK). Lokbin dan LBUK biasanya ada di dekat atau di tengah permukiman. Revitalisasi pasar-pasar tradisional di tingkat kecamatan, seperti yang pernah menjadi program unggulan di DKI Jakarta pada 2014-2016 perlu dilanjutkan.
Pasar lokal dan tempat usaha kecil seperti LBUK bisa dioptimalkan sebagai pemasok kebutuhan sehari-hari sesuai permintaan warga setempat. Dengan kontrol pemerintah, harga-harga barang diharapkan terjangkau masyarakat setempat. Hal itu akan membuat warga tidak bepergian lebih jauh ke pasar atau pusat belanja lain yang selama ini dinilai lebih lengkap dan murah barangnya.
Masyarakat kebanyakan juga membutuhkan tempat hiburan terjangkau, baik dari segi jarak maupun biaya. Kota-kota maju, seperti di Paris, London, dan New York, mencoba menjawab tuntutan ini dengan membuka banyak ruang kota menjadi ruang terbuka publik.
Di luar taman-taman publik, di kota-kota itu ada kebijakan menutup sebagian ruas-ruas jalan tertentu. Ruang itu kemudian diijinkan menjadi tempat warga membuka warung-warung makan kecil. Masyarakat bisa merasakan kembali bertemu banyak orang dan bersantap di luar rumah dengan tetap menjaga jarak sesuai ketentuan protokol kesehatan.
Di tengah pelonggaran kegiatan ketika kasus positif Covid-19 menurun, ruang-ruang publik baru itu tetap dibiarkan ada dan menjadi pilihan destinasi warga, sehingga tidak semua orang harus pergi ke mal-mal besar maupun tempat-tempat wisata urban utama.
Upaya-upaya tersebut menjadi semacam obat pelipur lara bagi warga yang seluruh sendi hidupnya terganggu akibat pandemi. Saat gelombang ketiga pandemi masih mengancam seiring pelonggaran dan desakan mendongkrak perputaran ekonomi kian kuat, pemerintah daerah justru harus semakin giat menyosialisasikan bahwa banyak hal menyenangkan serta bernilai ekonomis bisa dilakukan di dalam kota.
Saat ini, turut berharap pemerintah daerah agresif menelurkan ide-ide baru menuju penciptaan normal baru. Sementara menunggu, sudahkah terbayang akhir tahun ini hendak ke mana? Jika tak ada yang mendesak, tentunya di rumah saja tetap pilihan bijak. Paling aman dan nyaman.