Pekerja Rumah Tangga Bekerja dalam Ketidakberdayaan
Pekerja rumah tangga termasuk kelompok rentan yang mudah mendapat tindakan diskriminasi di mana pun berada. Mereka membutuhkan kehadiran negara, salah satunya melalui produk undang-undang yang menjamin hak PRT.
Oleh
STEFANUS ATO
·6 menit baca
Pekerja rumah tangga memiliki peran penting menyelesaikan pekerjaan rumah hingga mengasuh anak keluarga-keluarga yang tinggal di daerah perkotaan. Namun, keberadaan mereka sering kali masih dipandang sebelah mata. Mereka kelompok rentan yang hidup bersama tindakan diskriminasi, sasaran pelecehan, hingga tindakan kekerasan.
Yekti (57), aparatur sipil negara di lingkungan pemerintahan Kota Bekasi, merupakan salah satu keluarga di daerah perkotaan yang merasakan dampak besar keberadaan pekerja rumah tangga (PRT) di dalam keluarga. Sebagai ibu rumah tangga yang berkarier, dia tidak selalu memiliki waktu di rumah untuk mengasuh anak-anak dan mengurus pekerjaan lain di dalam rumah.
”Di awal saya menikah dan punya anak, suami saya sering ke luar daerah. Saya sebagai ibu rumah tangga yang berkarier harus ada yang mengawasi anak-anak saya. Ini di kota besar, tidak ada orangtua atau keluarga yang bisa diminta pertolongan,” kata Yekti, Rabu (28/10/2021), di Bekasi.
Perempuan yang memiliki dua anak itu sudah menggunakan PRT sejak 1985 atau saat anak pertamanya berusia delapan bulan. Dia kemudian kembali mempekerjakan satu PRT lagi setelah anak keduanya lahir. Dari dua PRT itu, satu PRT bertugas mengasuh anak dan PRT lainnya membereskan pekerjaan rumah tangga lain, seperti mencuci hingga membersihkan rumah.
Yekti menyadari betul peran PRT bagi keluarganya. Tanpa PRT, dia tidak mungkin bisa membagi waktu untuk tetap berkarier dan pada saat bersamaan harus mengasuh anak dan menyelesaikan pekerjaan di dalam rumah. Oleh karena itu, PRT dipandang sebagai partner kerja dan sudah sepatutnya diperlakukan seperti keluarga sendiri.
”Saya memperlakukan PRT di rumah seperti keluarga saya, tidak saya bedakan. Kalau kami makan tempe, ya, semua makan tempe. Kalau makan daging, ya, semua makan daging,” kata warga Bulak Kapal, Kota Bekasi, Jawa Barat, itu.
Seluruh pekerjaan di rumah, baik itu mengasuh anak maupun membereskan rumah tangga, tak selalu dibebankan kepada PRT. Dulu, pada saat anak-anaknya masih kecil, di pagi hari sebelum Yekti berangkat kerja, dia membantu memasak dan turut membereskan pekerjaan lain.
Aspek kebersihan dan kesehatan PRT juga menjadi bagian penting yang selalu diperhatikan Yekti. Di saat ada PRT yang sakit, ia bergegas membawa PRT tersebut untuk segera mendapatkan pertolongan medis dengan biaya perawatan menjadi tanggung jawabnya. Bagi Yekti, PRT itu hidup dan tinggal bersama keluarga. Jika PRT yang dia pekerjakan tak sehat, itu tak hanya berpengaruh pada produktif kerja di rumah tetapi juga dapat mengancam kesehatan anggota keluarga lain.
Berbagai perlakuan baik itu membuat para PRT yang bekerja betah dan nyaman. Yekti selama 35 tahun berkeluarga, hanya ada lima PRT yang pernah bekerja bersamanya karena para PRT itu tak mudah untuk pergi atau mengundurkan diri. PRT yang memilih mengakhiri hubungan kerja itu biasanya rata-rata karena ingin membangun keluarga atau telah mampu hidup mandiri.
Alami pelecehan
Cerita Yekti tentang cara dia memperlakukan PRT tak selamanya dirasakan para PRT yang bekerja di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Masih banyak PRT yang selama bekerja, hidup dengan tindakan diskiriminasi, penghinaaan, pelecehan seksual, hingga tindakan kekerasan psikis ataupun fisik.
Salah satunya seperti yang dialami Susmiharti (41), PRT asal Rembang, Jawa Tengah. Perempuan yang sudah sepuluh tahun bekerja sebagai PRT itu di awal bekerja pernah mendapat penghinaan, upah kerjanya dipotong, hingga mengalami pelecehan seksual dari majikannya di Jakarta.
Susmiharti pertama kali bekerja sebegai PRT dengan salah satu keluarga di daerah Jakarta Selatan. Di tempat tersebut, dia hanya bertahan satu bulan dan setelah itu dipecat. Selama satu bulan bekerja, dia sering mendapat perlakuan kasar dari majikan yang gemar membentak ketika hal yang dikerjakan tak sesuai keinginan majikan. Susmiharti selama bekerja di sana sama sekali tak diberi makan dan terpaksa membeli sendiri di luar rumah.
”Akhirnya saya dipecat dengan kesalahan yang tidak jelas. Upah saya selama satu bulan bekerja waktu itu harusnya Rp 1,4 juta, tetapi hanya dibayar Rp 700.000,” kata perempuan yang mulai bekerja sebagai PRT sejak 2011 itu.
Susmiharti kemudian kembali mendapatkan pekerjaan sebagai PRT di tempat lain di wilayah Jakarta Selatan. Dia hanya bertahan selama lima hari dan memutuskan untuk mengundurkan diri setelah mengalami tindakan pelecehan seksual dari majikannya. Selama lima hari itu, majikannya berupaya membujuk Susmiharti untuk melakukan tindakan tak senonoh. Bahkan, majikan itu menawarkannya sejumlah uang jika Susmiharti mengikuti keinginan majikan tersebut.
”Hari pertama itu, saya merasa majikan saya sudah tidak wajar. Namun, saya butuh uang dan saya berupaya bertahan. Saya mencari berbagai cara untuk menjauhi kemungkinan terburuk. Dan akhirnya, setelah lima hari saya keluar karena saya tidak mau ada kejadian seperti itu,” ujarnya.
Susmiharti di awal bekerja berulang kali diperlakukan tak manusiawi. Namun, saat itu dia tak ada pilihan dan harus bertahan. Ia tak mungkin melawan karena masih membutuhkan pekerjaan itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama anaknya yang ditinggal di kampung bersama keluarga.
Terjadi di mana saja
Menurut Susmiharti, perlakuan diskiriminasi, kekerasan, hingga pelecehan seksual terhadap PRT tak hanya terjadi di rumah atau lingkungan kerja PRT. Tindakan diskriminasi bagi PRT itu bisa terjadi di mana saja, mulai dari saat di rumah, hingga di lingkungan sosial. Susmiharti bahkan pernah mendapat penghinaan dari salah satu pelayan pusat perbelanjaan ketika ditugaskan majikan untuk berbelanja di luar rumah. Dia direndahkan karena dianggap tak memiliki uang untuk membeli barang yang diminta majikannya.
Menurut Susmiharti, yang sejak 2014 bergabung sebagai bagian dari anggota Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi, tindakan diskiriminasi kepada PRT juga dialami sebagain PRT sejak tahap perekrutan, terutama melalui agen atau yayasan. Ada PRT yang selama tiga bulan bekerja, upahnya dipotong hingga 50 persen untuk yayasan tempat PRT itu direkrut. Mereka yang direkrut melalui agensi juga sering kali dipersulit ketika akan mengundurkan diri dari pekerjaannya.
”Ada teman saya yang setelah satu bulan bekerja memutuskan mengundurkan diri karena tidak nyaman. Dia dipersulit ketika harus mengambil kembali dokumen yang ada di agensi itu. Dokumennya hanya bisa diambil kalau membayar sejumlah uang,” katanya.
Penderitaan PRT kian bertambah di masa pandemi Covid-19. Sebagian PRT dipecat hanya melalui panggilan telepon, upah kerja tak dibayar, hingga mereka dituding sebagai pembawa virus. Sebagian PRT dilarang pulang ke rumah atau kampung selama pandemi karena majikannya tak ingin PRT itu kembali dengan membawa virus. Pada saat PRT itu tak diizinkan pulang, beban kerja mereka terus bertambah tanpa ada upah tambahan.
”PRT di mana pun berada selalu rentan. Di luar sana masih banyak PRT yang bekerja dengan gaji di bawah upah minimum dan tanpa jaminan sosial, terutama BPJS Kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan,” katanya.