Seribu Serbet PRT untuk Mengetuk Hati Wakil Rakyat...
Pekerja rumah tangga hingga kini tidak dianggap sebagai bagian dari pekerjaan profesional. Mereka hanya dianggap sebagai bagian dari keluarga. Selama 16 tahun, RUU Perlindungan PRT tak kunjung selesai di DPR.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Terus mengetuk hati para wakil rakyat. Itulah yang dilakukan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) bersama organisasi perempuan menjelang Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, pekan ini. Setelah harapan sempat terempas pada pertengahan Juli 2020, kini sebuah asa kembali dikirim kepada para penyusun undang-undang agar mengajukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga kendati hingga kini kepastian dari para anggota DPR di Gedung Parlemen, Senayan, tak kunjung datang.
Koordinator Jala PRT Lita Anggraini memilih terus berteriak menyuarakan urgensinya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Pada Minggu (4/10/2020) petang, Lita mengajak Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan, organisasi keagamaan, serta jaringan PRT di dalam dan di luar negeri bersama-sama dalam Gerakan 1.000 Serbet Nusantara untuk Mendukung RUU PPRT.
Sampai sekarang belum ada perkembangan informasi bahwa RUU PPRT akan diagendakan oleh DPR. Namun, kami tetap terus bergerak sampai titik darah terakhir. (Lita Anggraini)
”Sampai sekarang belum ada perkembangan informasi bahwa RUU PPRT akan diagendakan oleh DPR. Namun, kami tetap terus bergerak sampai titik darah terakhir. Suara kami akan terus bergema. Kami akan terus menyampaikan pesan kepada wakil rakyat, karena ini menyangkut lima juta PRT dan mereka semua tulang punggung keluarga,” tutur Lita.
Melihat perjuangan PRT selama 16 tahun, berbagai organisasi pun menyatakan dukungan penuh dan ikut dalam Gerakan 1.000 Serbet untuk RUU PRT. Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto bahkan dengan suara lantang memohon kepada DPR agar mendengarkan jeritan para PRT.
Giwo pun menegaskan, Kowani yang mewadahi 97 organisasi wanita dan mempunyai anggota berjumlah 87 juta perempuan di seluruh Indonesia mengetuk hati serta memohon kepada para wakil rakyat agar segera mengagendakan RUU PPRT dalam Sidang Paripurna DPR terdekat dan menetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.
”UU Perlindungan PRT diperlukan sebagai wujud perlindungan negara dan keadilan sosial bagi warga negara, termasuk pemberi kerja dan lima juta PRT sebagai wong cilik dan mayoritas perempuan,” ujar Giwo.
Kehadiran negara
Bagi Komnas Perempuan, menurut komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, pengakuan dan perlindungan hukum bagi PRT merupakan wujud kehadiran negara dalam perlindungan perempuan pekerja. Karena itu, Komnas Perempuan menyambut baik, ketika di awal kerja DPR periode 2019-2024, Badan Legislasi DPR menyepakati untuk melanjutkan pembahasan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR.
”Hal ini merupakan langkah maju yang patut diapresiasi. Selanjutnya, Komnas Perempuan mendukung DPR segera mengesahkan RUU PPRT sebagai perwujudan kehadiran negara dalam memastikan perlindungan perempuan melalui peraturan perundang-undangan,” kata Theresia.
Pengesahan RUU PPRT dinilai sangat penting karena merupakan perwujudan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D Ayat (2) yang menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Perlindungan ini secara konstitusional akan memberi rasa aman bagi PRT dan pemberi kerja. Karena itu, Komnas Perempuan mendorong pengesahan RUU PPRT. Sebab, kehadiran RUU tersebut akan berdampak pada situasi perempuan yang lebih luas.
Pengakuan dan perlindungan PRT, selain memberi perlindungan relasi kerja dan kepastian hukum terhadap kedua pihak, yaitu PRT dan pemberi kerja, mendukung perempuan pemberi kerja untuk berkarya lebih optimal di ruang publik, juga bentuk pengakuan dan perlindungan atas jenis pekerjaan yang saat ini didominasi perempuan.
Tidak hanya melindungi PRT di dalam negeri, tetapi juga bagi 60-70 persen dari 9 juta pekerja migran Indonesia di luar negeri yang berprofesi sebagai PRT. Hadirnya UU PPRT dapat mencegah dan meminimalkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang yang rentan menyasar PRT melalui upaya pengawasan perekrutan.
Sekretaris Jenderal KPI Mike Verawati dan Koordinator MPI Lena Mukti pun berharap situasi dan kondisi tersebut dipahami DPR sehingga segera merealisasikan UU PPRT. Hal itu mengingat sudah terlalu lama, yakni 16 tahun, PRT menanti kehadiran negara di tengah mereka untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum.
Masih terganjal
Sayangnya, perjalanan RUU PPRT justru terhenti. Meskipun Badan Legislasi sepakat mengusulkan dalam Rapat Paripurna DPR, Juli lalu, kenyataannya RUU tersebut ”terganjal” sesaat sebelum diajukan ke rapat pengambilan keputusan. Seperti perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, perjalanan RUU PPRT juga harus menerima kenyataan pahit.
Ketua Panitia Kerja RUU PPRT di Badan Legislasi Willy Aditya pun mengaku tidak habis pikir, mengapa RUU yang disangkanya sudah mulus perjalanannya di Baleg terganjal saat akan diajukan ke rapat paripurna. Kini, setelah terganjal, nasib RUU PPRT pun semakin tidak jelas.
Saat dihubungi, Senin (5/10/2020), Willy mengakui perjalanan RUU PPRT masih berat karena belum ada kepastian RUU itu masuk atau tidak dalam agenda Rapat Paripurna DPR. ”Belum diagendakan oleh pimpinan. Pimpinan masih akan rapatkan,” ujar Willy.
Pertanyaannya, sebenarnya apa yang mengganjal RUU PPRT? Lita menegaskan, yang diperjuangkan PRT Indonesia tak muluk-muluk. PRT berharap adanya perlindungan upah bagi PRT berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, serta adanya jaminan sosial di mana majikan membayar Jamsostek sebesar Rp 36.800 per bulan.
Selain itu, ada waktu libur bagi PRT sesuai kesepakatan karena selama ini PRT bekerja tak mengenal waktu dan tak ada jam kerja. Tuntutan lain, PRT berharap waktu untuk beribadah. Pemerintah diminta menyediakan balai latihan kerja untuk PRT karena selama ini mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan kerja. Jika itu dipenuhi, tidak hanya pemberi kerja, semua pihak pun akan merasakan dampak positifnya.
Namun, sayangnya, justru di kalangan DPR ada isu yang beredar bahwa PRT di Indonesia ingin digaji sesuai upah minimum regional (UMR), hanya mau mengambil satu pekerjaan saja di rumah, dan tak mau membantu pekerjaan lain. ”PRT jelas dirugikan oleh embusan isu ini. Isu inilah yang disebarkan, yang membuat majikan atau pemberi kerja menjadi khawatir dan menolak, padahal kenyataannya tidak seperti itu,” ungkap Lita.
Kini, semuanya kembali lagi kepada anggota DPR. Nasib lima juta PRT dan PMI yang hampir semuanya perempuan kini berada di tangan para wakil rakyat. Semoga Gerakan Seribu Serbet Nusantara untuk mendukung agar RUU PPRT disahkan akan menggugah hati DPR.