Sebanyak 5.392 Anak Balita di Kota Bogor Alami Tengkes
Dari 68 kelurahan di Kota Bogor, tercatat ada 20 kelurahan dengan angka tengkes anak di atas 10 persen. Perlu intervensi dan penanganan intensif untuk pencegahan tengkes anak di 1.000 hari pertama sejak dari kandungan.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Sebanyak 5.392 anak di Kota Bogor, Jawa Barat, mengalami tengkes atau stunting. Pemerintah Kota Bogor melakukan langkah strategis sebagai upaya mencegah dan menangani tengkes sejak dini.
Sekretaris Daerah Kota Bogor Syarifah Sofiah mengatakan, dari 84.729 anak balita di Kota Bogor, tercatat 5.392 mengalami tengkes (gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi). Pencegahan tengkes pada anak perlu langkah intervensi dari pemerintah hingga komitmen bersama agar tidak semakin banyak anak mengalaminya.
Tengkes merupakan masalah gagal tumbuh pada anak. Salah satu penyebabnya akibat kekurangan gizi kronis pada 1.000 hari pertama kehidupan, yakni mulai dari masa kehamilan sampai anak berusia dua tahun. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kondisi fisik seseorang, tetapi juga tumbuh kembang otak.
”Satu dari 16 anak di Kota Bogor mengalami stunting (tengkes). Ini menjadi perhatian kita bersama. Tidak hanya kepada anak balita, tetapi ibu hamil juga harus diperhatikan,” kata Syarifah, Kamis (28/10/2021).
Intervensi ini untuk mencegah dampak negatif, seperti gangguan pertumbuhan anak.
Berdasarkan data, dari 68 kelurahan di Kota Bogor, tercatat ada 20 kelurahan dengan angka tengkes anak di atas 10 persen. Dari angka ini, kata Syarifah, perlu upaya intervensi dan penanganan yang intensif untuk pencegahan tengkes kepada ibu hamil, terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan.
Jika hal itu tidak dijalankan, akan berdampak pada tumbuh kembang anak di kemudian hari. Saat ini tercatat ada 19.238 ibu hamil yang harus mendapat perhatian kesehatannya sebagai upaya antisipasi pencegahan tengkes anak.
”Intervensi ini untuk mencegah dampak negatif, seperti gangguan pertumbuhan anak, menurunnya kecerdasan anak, kekebalan tubuh yang tidak maksimal, bahkan jangka panjangnya bisa menyebabkan disabilitas,” ujarnya.
Ada sejumlah langkah atau pendekatan dalam upaya pencegahan tengkes, yaitu konvergensi secara bersama-sama melalui intervensi gizi spesifik 30 persen dan intervensi gizi sensitif 70 persen.
Intervensi gizi spesifik 30 persen, yaitu dengan paket layanan kartu identitas anak (KIA) serta konseling kesehatan dan gizi oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor. Adapun intervensi gizi sensitif 70 persen, yaitu mengintegrasikan penanganan tengkes dengan berbagai pihak, khususnya terkait layanan air bersih dan sanitasi.
Saat ini, PDAM Kota Bogor melayani air bersih kepada warga sekitar 77,3 persen, sisanya masih belum menerima layanan air bersih. Sementara sanitasi, dari total 68 kelurahan, belum semua bebas open defecation free (ODF) atau buang air besar sembarangan (BABS).
Syarifah mengatakan, penanganan menjadi tantangan dan tanggung jawab dengan komitmen bersama publik agar penanganan terintegrasi dan sejalan sehingga tengkes anak bisa turun.
Melalui pencanangan program hingga sinergisitas semua lembaga terkait, lanjut Syarifah, Pemkot Bogor menargetkan capaian penanganan tengkse mencapai angka 14 persen dari target Pemerintah Provinsi Jawa Barat menargetkan 14,02 persen.
”Pemkot Bogor pada 2021 menargetkan penanganan 10 persen. Dari 12 lokasi stunting yang diamati sejak 2019 hingga Agustus 2021 terjadi penurunan (stunting) mencapai 7,71 persen. Semoga ke depan bisa dipertahankan atau diturunkan lagi,” katanya.
Wali Kota Bogor Bima Arya menambahkan, upaya pencegahan dan penanganan tengkes yang memiliki dampak multidimensi serta memiliki rentang waktu yang panjang merupakan tanggung jawab semua pihak. Selain itu, intervensi spesifik oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor dan intervensi sensitif oleh perangkat daerah non-kesehatan harus bersinergi.
Bima meminta, Sekretaris Daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta dinas terkait memastikan sinkronisasi pendataan hingga penanganan dari hulu ke hilir terintegrasi.
”Tiga kunci yang menjadi dasar penanganan adalah dasar hukum, penganggaran, dan kolaborasi. Khusus penganggaran, saya mohon untuk dicek kembali dan dalam penerapannya dikolaborasikan. Pemahaman tentang stunting dari hulu ke hilir agar memiliki satu frekuensi dan merapikan rencana kegiatan di lintas sektor,” kata Bima.
Pegiat Bunda Peduli Stunting Kota Bogor, Yantie Rachim, menambahkan, belum lama ini bersama Pemkot Bogor mendatangi enam kelurahan untuk membagikan telur sebagai upaya pencegahan tengkes anak.
”Ada 85 anak berpotensi stunting di enam kelurahan. Kemarin kami membagikan telur, susu, camilan sehat, dan lainnya. Bantuan ini akan menjadi kegiatan rutin,” kata Yantie.
Yantie menilai, masalah tengkes harus serius ditangani. Bukan hanya bantuan, melainkan juga edukasi kesehatan sedari sebelum hamil, saat hamil, pola hidup sehat, hingga asupan gizi ibu hamil dan anak juga harus menjadi perhatian keluarga di Kota Bogor.
Secara nasional, pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 menargetkan, angka prevalensi tengkes bisa turun menjadi 14 persen pada 2024. Target tersebut dinilai amat ambisius karena prevalensi tengkes pada 2019 tercatat 27,7 persen.
Meski prevalensi tersebut turun dari 37,2 persen pada 2013, berbagai kondisi di tengah masyarakat dan ditambah dengan situasi pandemi saat ini membuat target tersebut sulit dicapai. Penanganan tengkes bukan perkara yang mudah karena butuh intervensi yang kuat secara multidimensi (Kompas.id, 4/9/2021).