Berlari Mengejar Target Penurunan Tengkes
Upaya untuk mengatasi tengkes atau stunting yang sangat kompleks di Indonesia tidaklah mudah. Penyebabnya tidak hanya terkait gizi dan kesehatan, tapi juga ketahanan pangan, akses air, serta sanitasi.
Penanganan tengkes tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Tengkes bisa diatasi jika seluruh pihak dari lintas sektor sama-sama berkomitmen menanggulangi penyebabnya.
Mengapa tengkes harus diatasi? Tengkes merupakan masalah gagal tumbuh pada anak. Utamanya ini terjadi akibat kekurangan gizi kronis pada seribu hari pertama kehidupan, yakni mulai dari masa kehamilan sampai anak berusia dua tahun. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kondisi fisik seseorang, melainkan juga tumbuh kembang otak.
Kondisi tengkes tak bisa diperbaiki jika melewati masa seribu hari pertama kehidupan. Intervensi perlu dilakukan sejak remaja. Pastikan remaja atau perempuan usia subur memiliki status gizi yang baik. Kondisi ini perlu dilanjutkan ketika perempuan tersebut hamil dan melahirkan. Asupan gizi bayi juga harus tercukupi setidaknya sampai usia dua tahun.
Baca juga Perkuat Intervensi pada Perempuan dan Anak untuk Cegah Tengkes
Anak yang mengalami tengkes biasanya akan memiliki tubuh yang lebih pendek daripada anak umumnya. Tingkat kecerdasannya juga lebih rendah dari anak yang tidak mengalami tengkes. Tidak hanya itu, anak dengan tengkes memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit kronis di usia dewasa.
Berbagai dampak itulah yang membuat urgensi penanganan tengkes di Indonesia semakin tinggi. Kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan tidak akan optimal apabila banyak yang mengalami tengkes. Padahal, SDM merupakan investasi bangsa yang paling berharga. Jika kualitas sumber daya manusia tidak unggul, cita-cita Indonesia menjadi negara maju dan berdaya saing sulit dicapai.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi tengkes di Indonesia mencapai 30,8 persen. Artinya, satu dari tiga anak mengalami tengkes. Angka ini jauh dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni di bawah 20 persen.
Pada 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka tengkes turun menjadi 27,67 persen. Namun, angin segar tersebut terasa hanya sesaat. Angka tengkes diperkirakan kembali meningkat selama pandemi Covid-19. Para ahli memproyeksikan angka tengkes meningkat menjadi 32,5 persen.
Karena itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan, menangani tengkes tidak bisa lagi hanya sekadar wacana. Rencana dan program-program yang sudah disusun harus dipastikan terimplementasi dengan baik.
Baca juga Penurunan Tengkes Butuh Peran Multipihak
Semua pihak terkait harus bergerak lebih cepat, bahkan berlari kencang untuk menurunkan angka tengkes di Indonesia. Pemerintah telah menargetkan angka tengkes bisa mencapai 14 persen pada 2024.
“Waktu kita tinggal 2,5 tahun lagi untuk menurunkan angka stunting dari 27 persen ke 14 persen,” kata Hasto dalam acara forum jurnalis terkait “Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 72/2021 tentang Percepatan Penanganan Stunting” pada awal September 2021 lalu.
Strategi nasional
Kondisi tersebut kemudian mendorong pemerintah untuk memperkuat upaya percepatan pencegahan tengkes. Upaya tersebut juga telah dimasukkan ke dalam agenda prioritas nasional. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, ada lima pilar utama yang diusung dalam strategi nasional.
Lima pilar tersebut meliputi, peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/ lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah, dan pemerintah desa; peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif; peningkatan ketahanan pangan dan gizi; serta penguatan dan pengembangan sistem data, informasi, riset, dan inovasi.
Waktu kita tinggal 2,5 tahun lagi untuk menurunkan angka stunting dari 27 persen ke 14 persen.
Intervensi spesifik dilakukan dengan memberikan tambahan asupan gizi pada ibu hamil dan remaja perempuan. Anak usia 6-23 tahun juga perlu mendapatkan makanan pendamping ASI yang berkualitas. Sementara bayi usia kurang dari enam bulan mendapatkan ASI eksklusif dengan ibu yang mendapatkan asupan gizi cukup.
Untuk intervensi sensitif dilakukan dengan memastikan pelayanan keluarga berencana mudah diakses, akses sanitasi serta air minum yang layak dan aman tercukupi, bantuan sosial pangan diberikan pada keluarga miskin, serta pemeriksaan kesehatan dilakukan pada pasangan usia subur atau calon pengantin.
Baca juga Mencapai Target Ambisius Penurunan Tengkes
Untuk mencapai hal itu, rencana aksi nasional pun sudah disusun berdasarkan pendekatan keluarga berisiko. Itu antara lain melalui penyediaan data keluarga berisiko tengkes, pendampingan keluarga berisiko tengkes, pendampingan semua calon pengantin dan calon pasangan usia subur, surveilans keluarga berisiko tengkes, dan audit kasus tengkes. Seluruh upaya ini akan ditetapkan oleh Kepala BKKBN yang telah ditunjuk sebagai ketua pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting.
Hasto mengatakan, pendataan keluarga berisiko tengkes ditargetkan akan selesai pada 2021. Dengan begitu, intervensi bisa segera dilakukan oleh seluruh kementerian/ lembaga, pemerintah daerah, serta pemangku kepentingan lainnya.
Saat ini, setidaknya sudah ada 70 juta keluarga yang terdata dalam Pendataan Keluarga 2021. Dari jumlah itu, sekitar 17 juta keluarga di antaranya masuk dalam indikator keluarga berisiko tinggi tengkes.
Pemerintah juga telah menentukan wilayah prioritas dalam penanganan tengkes. Pada 2018, sebanyak 100 kabupaten/ kota masuk dalam wilayah prioritas. Jumlah ini terus meningkat menjadi 160 kabupaten/ kota pada 2019, 260 kabupaten/ kota pada 2020, 360 kabupaten/ kota pada 2021, dan diperluas ke seluruh wilayah di 514 kabupaten/ kota pada 2022.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan, kolaborasi dan kerjasama menjadi kunci terpenting dalam mempercepat penurunan angka tengkes di Indonesia. Oleh sebab itu, konvergensi program dari seluruh pihak diperlukan. Melalui konvergensi, capaian lebih terukur serta anggaran yang digunakan lebih efisien.
“Perlu komitmen yang tinggi dan terus menerus untuk mencapai target penurunan stunting menjadi 14 persen pada 2024. Saat ini masih ada beberapa daerah yang memiliki angka stunting tinggi, yakni, Kabupaten Nias Selatan di Sumatera Utara (57 persen), Kabupaten Jeneponto di Sulawesi Selatan (41,3 persen), dan Kabupaten Minahasa di Sulawesi Utara (38,6 persen),” ujarnya.
Baca juga Komitmen dan Kolaborasi, Kunci Atasi Tengkes
Selain itu, pelayanan yang dijalankan lebih terpadu dan berkelanjutan. Fokus pada upaya preventif dapat menjangkau lebih banyak keluarga yang masuk dalam kategori berisiko tinggi mengalami tengkes. Integrasi dalam intervensi penurunan tengkes dibagi ke dalam delapan aksi, yakni analisis situasi, rencana kegiatan, rembuk stunting, peraturan bupati/ walikota tentang peran desa, pembinaan keluarga penerima manfaat, sistem manajemen data, pengukuran dan publikasi stunting, dan review kinerja tahunan.
Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin pada Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan Pencegahan Stunting Tahun 2021 menyampaikan, pemantauan secara terpadu dan terkoordinir juga diperlukan untuk memastikan seluruh program dilaksanakan secara optimal. Seluruh pihak terkait pun diharapkan dapat berkolaborasi dengan baik dan menghilangkan ego sektoral.
“Konvergensi adalah kata yang mudah diucapkan, tetapi seringkali tidak mudah untuk diwujudkan. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya keras dari kita semua. Setiap lembaga yang terlibat diminta untuk menghilangkan ego sektoral karena konvergensi membutuhkan kerja kolaborasi berbagai pihak,” tutur dia.