Menolak Terhanyut dalam Pemeringkatan Kota-kota Dunia
Tiap kota punya keunikan, berbeda satu dengan yang lain. Proses menjadi lebih baik hanya bisa diukur berdasar konteks budaya, ekonomi, sosial, dan tradisi di kota itu sendiri. Sikap reaktif semata tak membawa perubahan.
Sepanjang tahun 2020 sampai saat ini, indeks kota-kota dari lembaga resmi di luar negeri dan dalam negeri terus digelar. Berbagai publikasi pemeringkatan kota menjadi selingan informasi untuk ”lari” melepaskan diri sejenak dari kelabunya situasi akibat pandemi Covid-19. Ramai sejenak sebelum lantas kembali mereda, sepi.
Setidaknya ada tiga kali publik jagat maya riuh merespons pemeringkatan kota oleh lembaga asing, saat Jakarta disebut dalam beberapa indeks kota sepanjang 2021. Pada awal Januari lalu, TomTom Index 2020 menempatkan Jakarta pada posisi ke-31 kota termacet di dunia. Pada 2019, Jakarta masih berada pada urutan ke-10 kota paling macet sedunia.
TomTom menyediakan informasi terkini kondisi lalu lintas di 416 kota di dunia. Secara berkala, perusahaan yang beroperasi sekitar 9 tahun terakhir itu mengunggah indeks kemacetan kota-kota. Berada pada nomor urut kepala tiga TomTom Index, hal itu sempat dinilai publik dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai prestasi bagi Ibu Kota.
UNESCO mengingatkan agar warga dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, agar lebih menempatkan diri sebagai kota pembelajar.
Di satu sisi, tidak dimungkiri program pembangunan dan penataan transportasi publik di Ibu Kota memang berlangsung cepat dalam satu dekade terakhir. Namun, berbagai pembatasan aktivitas masyarakat demi pengendalian penularan Covid-19 telah membuat lalu lintas Jakarta lengang berbulan-bulan. Fakta lain, rata-rata kemacetan di kota lain juga menurun di 2020 yang berlanjut sampai tahun ini.
Berikutnya, pada Juni dan Agustus, giliran The Economist mengumumkan The Global Liveability Index (Indeks Kota Layak Huni Global) 2021 dan Safe Cities Index (Indeks Keamanan Kota) 2021.
Dalam catatan The Economist, dari 140 kota sasaran penilaian pemeringkatan, hampir semuanya mengalami penurunan kualitas layak huni yang dilihat dari aspek stabilitas, layanan kesehatan, budaya dan lingkungan, edukasi, dan infrastruktur. Penurunan tersebut akibat gempuran pandemi yang tak berkesudahan.
Tim penilai menyatakan, Auckland dan Wellington di Selandia Baru, masing-masing berada pada nomor urut 1 dan 4 dalam lima besar kota paling layak huni. Posisi tersebut diraih selain karena nilai tinggi di semua aspek penilaian, juga karena kemampuan kota melindungi warganya dengan konsisten membatasi mobilitas orang dan menutup perbatasan daerahnya sehingga tingkat penularan Covid-19 tetap rendah.
Baca juga : Toko ”Pop Up”, ”Cloud Kitchen”, hingga Ruang Terbuka Penyelamat Mal
Osaka dan Tokyo di Jepang berada pada posisi kedua dan keempat karena mampu mempertahankan stabilitas di kelima aspek penilaian. Adelaide di Australia ada di peringkat kelima dengan jurus melarang perjalanan international di kotanya.
Tidak disebut dalam Indeks Kota Layak Huni Global, Jakarta kembali menarik perhatian publik dalam negeri karena masuk jajaran area urban dalam Indeks Keamanan Kota. Harian Kompas pada 25 Agustus lalu menuliskan bahwa tingkat keamanan Jakarta, menurut Indeks Keamanan Kota 2021, ada pada posisi ke-46 dari 60 kota. Posisi tersebut naik dibandingkan pada 2020 yang ada di urutan ke-53.
Namun, salah satu indikator, yaitu keamanan personal, menurun sehingga menjadi yang terendah dari lima indikator utama yang diperhitungkan. Indikator keamanan personal, antara lain mencatat prevalensi kejahatan ringan, terorganisasi, dan dengan kekerasan. Hasil dari perhitungan tersebut juga termasuk ketidaksetaraan pendapatan dan jumlah penduduk dalam ketidakstabilan pekerjaan.
Dari tiga indeks selama 2021 itu saja, beberapa pengamat menyatakan Jakarta masih jauh dari cita-cita kota ideal. Pengelola Jakarta juga warganya masih harus bekerja bersama lebih keras agar kotanya makin nyaman dan aman dihuni. Namun, apakah Jakarta dan kota lain di Indonesia harus menjadi seperti Auckland atau Tokyo jika ingin menjadi kota layak huni bagi warganya?
Kota pembelajar
Terkait pemeringkatan kota-kota, Institut Belajar Sepanjang Hayat yang merupakan bagian dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco The Lifelong Learning Institute/UIL) mengingatkan agar warga dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, lebih menempatkan diri sebagai kota pembelajar.
Menurut lembaga itu, pemeringkatan pada dasarnya bukan bertujuan membuat perbedaan makin menonjol, apalagi menyamaratakan kota-kota. Hal ini karena setiap kota memang berbeda satu sama lain, karena latar belakang sejarah dan tradisi budaya, serta ekonomi dan sosialnya sendiri. Yang terpenting justru pengelola kawasan dan warganya sama-sama memahami karakteristik kotanya. Dari sana akan muncul ide-ide otentik bagaimana membuat kotanya makin layak huni tanpa kehilangan identitas jati diri.
Pandemi yang memukul semua negara tanpa kecuali juga tetap dan justru memerlukan pendekatan budaya berbeda di tiap daerah untuk menyukseskan pengendalian penularannya.
Perusahaan konsultan Kearney yang secara berkala memublikasikan Laporan Kota-kota Global (The Global Cities Index/CGI) mengingatkan agar area urban —yang bermekaran di mana-mana—mulai berpikir bagaimana secara bertahap menata ulang kawasannya agar menjadi lebih tangguh dengan mengedepankan keunggulan masing-masing. Ke depan, tantangan yang ada kemungkinan makin tak terduga.
Dalam laporan CGI 2020, Kearney menyatakan, kota seperti Beijing di China mampu naik dari nomor 9 di 2019 menjadi nomor 5 berkat keseriusannya beradaptasi dengan perubahan dunia. Ada banyak investasi membenahi kawasan sehingga kota itu kini mampu menggoyang dominasi kota-kota Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. Meskipun masih belum tercapai sempurna, Beijing berambisi menjadi ramah lingkungan dengan menginisiasi penerapan konsep kota spons yang memberi ruang sebesar-besarnya untuk aliran sungai serta ruang terbuka hijau.
Baca juga : Pesisir yang Terendam dan Prediksi Dunia Tahun 2040
Senada dengan Beijing, keberhasilan Singapura selalu berada di 10 besar CGI juga karena keberpihakannya menjadi kota dengan lebih dari 80 persen areanya sebagai ruang terbuka hijau. Hunian, tempat bisnis, hingga fasilitas raksasa seperti pelabuhan dan bandar udara internasional menjadi lahan bagi berbagai pepohonan tinggi untuk hidup subur. Belakangan, London di Inggris juga Paris di Perancis turut menegaskan akan menjadikan kotanya sebagai kota hutan.
Kesuksesan Singapura dan Beijing tak bisa lepas dari peta jalan pembangunan kota yang jelas tujuan serta tahapan pelaksanaan programnya diiringi penganggaran yang tepat. Semua dirintis sejak puluhan tahun silam, bukan instan. Hasilnya, kedua kota di Asia itu kini setara, bahkan menjadi contoh bagi rekan-rekannya dari sesama dunia Timur, juga dari dunia Barat.
Namun, sekali lagi, kota-kota lain tidak seharusnya berusaha menjadi Singapura atau Beijing baru. UIL mendorong agar kota-kota lain belajar strategi dari kedua kota itu dan mencangkokkannya ke dalam strategi lokal sehingga akan tumbuh kawasan urban berkarakteristik kuat sekaligus layak huni.
Suatu saat bisa jadi kiblat untuk belajar itu bergeser ke kota berbeda. Karena menjadi kota belajar, berarti tak berhenti menyerap hal-hal baik dan berubah karena kota memang dinamis. Juga karena tidak ada satu konsep yang cocok untuk semua kondisi atau tantangan yang dihadapi tiap kota.
Kota belajar, menurut UIL, adalah kota yang secara efektif memobilisasi sumber dayanya di setiap sektor untuk mempromosikan pembelajaran inklusif dari dasar hingga pendidikan tinggi; merevitalisasi pembelajaran dalam keluarga dan masyarakat; memfasilitasi pembelajaran di tempat kerja; memperluas penggunaan teknologi pembelajaran modern; meningkatkan kualitas dan keunggulan dalam pembelajaran; dan menumbuhkan budaya belajar sepanjang hidup.
Cara-cara itulah yang akan menciptakan dan memperkuat pemberdayaan individu dan kohesi sosial, kemakmuran ekonomi dan budaya, dan pembangunan berkelanjutan.
Baca juga : Polemik Grafiti hingga Ruang Publik yang Terkunci
Fitur utama yang harus dimiliki untuk dapat menjadi kota pembelajar, menurut UIL, yaitu kota itu harus ambisius, tetapi realistis. Selain itu, mampu menentukan hal krusial yang mencerminkan nilai, prioritas, atau masalah kritis yang harus ditangani. Berbagai program kota harus relevan sesuai target dan mudah diukur dengan data yang tersedia atau yang didapatkan melalui survei yang dirancang baik. Dengan demikian, kebijakan dan program kota dapat dipastikan valid dan andal sehingga dipercaya warganya serta tentunya investor.
Semua itu dapat dicapai jika ada kemauan dan komitmen politik yang kuat; tata kelola dan partisipasi semua pemangku kepentingan; serta mobilisasi dan pemanfaatan sumber daya yang tepat.
Kini, daripada selalu hanyut sekadar menabuh gaung euforia tiap kali ada publikasi indeks kota yang lantas cepat memudar, mengapa tidak mulai komprehensif mengukur diri sendiri. Belajar menjadi kota pembelajar yang dinamis terus bergerak ke arah lebih baik. Reaktif semata tak akan membawa perubahan yang semestinya.
Baca juga : Inspirasi Rumah Kubus Kontrakan Elon Musk