Pesisir yang Terendam dan Prediksi Dunia Tahun 2040
Kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius diprediksi tak terhindarkan. Salah satu dampaknya, kota-kota pesisir pusat ekonomi dunia kian akrab dengan banjir. Tanpa intervensi, 20 tahun lagi kondisi bumi kian tak pasti.
Oleh
neli triana
·6 menit baca
Urbanisasi mengubah kebutuhan pembangunan. Perubahan ini bergeming meskipun sepanjang tahun lalu hingga kini pandemi Covid-19 menyita perhatian, sekaligus mengerem hampir semua aktivitas manusia di dunia. Sama halnya dengan kerusakan bumi akibat eksploitasi manusia yang juga tidak menunjukkan tanda-tanda melambat sedikit pun.
Laporan terbaru Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) pada 9 Agustus 2021, emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia bertanggung jawab atas meningkatnya 1,1 derajat celsius suhu bumi sejak 1850-1900. Selama 20 tahun ke depan, IPCC memperkirakan suhu global bakal kembali naik 1,5 derajat celsius, bahkan lebih.
Laporan tersebut memproyeksikan dampak perubahan iklim akan dirasakan meningkat di semua wilayah dalam beberapa dekade mendatang. Jika suhu bumi naik 1,5 derajat dari rerata saat ini, akan terjadi peningkatan gelombang panas, musim hangat lebih panjang, dan musim dingin lebih pendek. Jika suhu bertambah 2 derajat celsius, panas ekstrem akan lebih sering mencapai ambang batas toleransi kritis sektor pertanian dan kesehatan.
Peristiwa (bertambah tingginya) permukaan laut ekstrem yang sebelumnya terjadi sekali dalam 100 tahun dapat terjadi setiap tahun pada akhir abad ini.
Apa yang akan langsung dirasakan makhluk hidup kala bumi kian panas?
IPCC memaparkan perubahan iklim sudah pasti akan mengintensifkan siklus air. Ini berarti intensitas curah hujan lebih tinggi dan potensi banjir juga kekeringan lebih intens di banyak daerah. Tentu saja tak terkecuali di Tanah Air.
Bumi yang menghangat akan memperkuat pencairan lapisan es dan hilangnya es laut Arktik. Perubahan pada lautan berpengaruh pada tingkat keasaman maupun kadar oksigen di semua penjuru samudra di planet ini. Perubahan ini memengaruhi ekosistem laut dan orang-orang yang bergantung padanya.
Keluhan nelayan yang kian kesulitan mencari ikan dan harus semakin jauh ke tengah laut—hingga menabrak batas wilayah negara lain—akan bertambah santer terdengar. Konflik antarindividu, antarkelompok masyarakat, antardaerah, dan antarnegara berpeluang muncul sebagai bagian dari efek domino kenaikan permukaan laut.
”Peristiwa (bertambah tingginya) permukaan laut ekstrem yang sebelumnya terjadi sekali dalam 100 tahun dapat terjadi setiap tahun pada akhir abad ini,” demikian laporan IPCC.
Selain itu, daerah pesisir akan terus menerima dampak dari kenaikan permukaan laut. Kondisi tersebut sudah pasti berkontribusi terhadap bertambah sering dan lebih parahnya banjir pantai di dataran rendah. Abrasi atau erosi pantai diperkirakan makin masif, demikian pula rob.
Kota-kota pesisir, yang pertumbuhan dan perkembangannya paling tinggi sekaligus menjadi pusat ekonomi di banyak negara, tidak akan mampu terhindar sebagai daerah langganan banjir akibat intensitas curah hujan tinggi dan limpasan air pasang laut.
Makin tak pasti
Global Trend 2040, sebuah publikasi hasil riset dari Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (Kantor Direktur Intelijen AS/ODNI), secara khusus juga mengangkat isu dampak perubahan iklim. Laporan Maret 2021 ini adalah seri publikasi Global Trend ke-7 lembaga negara AS tersebut sejak 1997 yang terbit berkala setiap empat tahun.
Global Trend berisi paparan analisis data terkini serta rekomendasi sebagai panduan pembuat kebijakan di semua lini pemerintahan dan para ahli di AS. Namun, karena bisa diakses bebas oleh publik dan berkenaan dengan kondisi dunia, seri Global Trend ini bermanfaat pula bagi negara lain.
Global Trend 2040 secara spesifik melihat saat ini untuk memprediksi situasi pada dua dekade ke depan. Disebutkan ada kekuatan struktural, antara lain, demografi dan pembangunan manusia, tantangan kesehatan dunia, lingkungan, ekonomi, dan teknologi yang memengaruhi kondisi saat ini dan masa depan. Covid-19 membuat semua hal makin tak pasti dan sulit memastikan kekuatan struktural dapat bergerak positif bagi negara serta masyarakat.
Untuk itu, perlu diwaspadai dinamika di tengah masyarakat yang akan semakin terkotak-kotak karena disinformasi dan cara pandang berbeda tentang berbagai macam hal. Di tingkat negara, secara internal ada turbulensi, transformasi, serta memanasnya suhu politik dan perubahan kebijakan. Di kancah internasional, meskipun selalu ada peluang saling kerja sama antarnegara dan antardaerah, tingkat kontestasi pun meruncing yang menambah ketidakpastian sampai bisa memicu konflik.
Kondisi tersebut akan sangat dirasakan di banyak kota—sebagai sentra kegiatan politik, ekonomi, dan sosial—yang kini semakin menguasai bumi.
Global Trend 2040 juga menyebutkan bahwa ada gejala yang tengah berlangsung, yaitu melambatnya pertumbuhan jumlah penduduk. Bagi negara maju, pertumbuhan penduduk yang stagnan atau malah minus berarti akan ada pembengkakan jumlah penduduk berusia dewasa hingga tua. Dalam 20 tahun ke depan, hal ini akan membebani kota-kota dan negara karena kekurangan pekerja produktif. Hal berbeda terjadi di negara berkembang.
Akan tetapi, di sisi lain, angka pertumbuhan rendah bukan berarti tidak ada penambahan populasi manusia. Tahun lalu saja, populasi di kawasan perkotaan mencapai 56 persen dari total penduduk dunia. Dalam dua dasawarsa ke depan, dua pertiga populasi hidup di perkotaan dengan konsentrasi terbesar ada di negara-negara berkembang.
Dengan demikian, beban kota-kota semakin berat karena menanggung ancaman terbesar terdampak bencana akibat perubahan iklim.
”Bencana akibat perilaku manusia berpotensi besar terjadi di kawasan perkotaan dan area urban baru dengan kepadatan penduduk tinggi, terutama di pesisir dan daerah rentan lainnya. Sementara kecepatan pembangunan infrastruktur pengendalian banjir dan permukiman tahan bencana, selalu tidak dapat mengikuti pertumbuhan kebutuhan yang ada. Pusat pertumbuhan kota-kota di negara berpenghasilan menengah dan rendah di Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga Afrika Timur dan Selatan selama ini sudah dilanda bencana bertubi,” demikian salah satu kutipan di Global Trend 2040.
Sebenarnya, selama ini sudah cukup banyak kota dan negara yang berjuang mengentaskan warganya dari kemiskinan serta meningkatkan kualitas hidup dengan pembangunan, baik di sektor pendidikan maupun kesehatan, juga mempersiapkan diri khusus menghadapi dampak perubahan iklim.
Global Trend 2040 melaporkan, setidaknya 1,2 miliar orang bebas dari jeratan kemiskinan dan 1,5 miliar orang lolos masuk ke kelompok masyarakat berpenghasilan menengah sepanjang 20 tahun terakhir. Namun, mereka yang kini telah berpenghasilan 3,2 dollar AS (lebih kurang Rp 50.000) per hari dan tidak lagi miskin papa, kini terguncang kembali akibat terdampak pandemi. Demikian pula mereka yang berpenghasilan 10 dollar AS (Rp 150.000) per hari, tiba-tiba merosot dan masuk lagi ke kategori masyarakat berpenghasilan rendah.
Berbagai proses penanggulangan dampak perubahan iklim, termasuk rehabilitasi lingkungan dan implementasi kebijakan pembangunan rendah emisi melambat, bahkan terhenti selama hampir dua tahun terakhir di banyak kota juga negara.
Padahal, jika pemanasan global terus berlanjut, ancaman munculnya penyakit baru dan pandemi baru selalu ada. Pesan jelas dari IPCC dan Global Trend 2040 adalah penduduk bumi mau tidak mau harus memikirkan cara ”berdamai” dengan pandemi, menahan laju kerusakan tempat tinggal satu-satunya ini berikut semua dampaknya, serta memperbaiki kualitas hidup manusia.
Kembali ke dasar
Di sela-sela keterpurukan karena hantaman Covid-19, kota-kota dan negara-negara di dunia tanpa terkecuali perlu kembali mengerahkan daya upaya menggerakkan pembangunan untuk mencapai target produksi nol emisi karbon.
Seperti ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjuta (SDGs), itu dapat dilakukan dengan kembali fokus menangani isu dasar, antara lain, di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan gender. Dari tiga bidang itu saja, pencegahan meluasnya wabah korona dan peningkatan pendapatan per kapita dapat tercapai.
Global Trend 2040 juga memaparkan di kota-kota di negara berkembang perlu memperbaiki komitmennya dalam pembangunan infrastruktur perkotaan yang efisien, serta peningkatan peluang bagi perempuan dan kelompok minoritas. Selain itu, butuh segera mengatasi berbagai hambatan sosial, meningkatkan stabilitas politik, dan meningkatkan investasi pemerintah maupun swasta dalam layanan publik.
Di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, kesadaran pemerintah daerah juga masyarakatnya perlu digugah untuk kembali memahami persoalan mendasar di wilayahnya maupun dalam kaitan mendukung upaya bersama memerangi dampak perubahan iklim. Mendekati akhir tahun, ini menjadi momentum berbenah dalam pemetaan masalah, perencanaan, penganggaran, dan implementasi pembangunan di tahun mendatang.
Lebih baik bersulit-sulit sekarang dan menyalakan asa terang kemudian, daripada secara sadar membiarkan diri terseok-seok di tengah kabut gelap selamanya. Jangan sampai terjadi.