World Cities Summit: Ajang Pengelola Kota Berbagi Solusi Pandemi
Setelah tertunda satu tahun, World Cities Summit digelar pada 21-23 Juni 2021 ini. Diselenggarakan secara hibrida, tatap muka dan daring, 2.500 delegasi dari 377 kota berbagi ide dan pengalaman agar selamat dari pandemi.
World Cities Summit atau WCS diadakan pertama kali pada 2008. KTT kota dunia ini adalah ajang pertemuan tiap dua tahunan bagi para pemimpin pemerintah dan pakar industri untuk mengatasi tantangan menjadi kota layak huni, berkelanjutan, dan berketahanan.
Mereka berbagi solusi perkotaan terintegrasi yang biasa berlanjut dengan menjalin kemitraan baru. Tiap pengelola kota selalu dapat menggali lebih detail kiat keberhasilan kota lain dan membawa oleh-oleh gagasan baru yang dapat diterapkan dan disesuaikan untuk mengatasi isu lokal.
WCS diselenggarakan bersama oleh Centre for Liveable Cities (CLC) dan Urban Redevelopment Authority (URA), dua lembaga Pemerintah Singapura untuk mewujudkan kota berkelanjutan.
Di WCS, ada Lee Kuan Yew World City Prize yang menilai dan memberi anugerah bagi kota-kota yang memiliki terobosan dalam membenahi serta membuat warganya terlayani lebih. New York di Amerika Serikat, Medellin di Kolombia, dan Seoul di Korea Selatan adalah beberapa kota yang pernah mendapat penghargaan ini.
Untuk menjaga agar orang-orang kita tetap bersatu, perlu komunikasi teratur dan transparan, membuat keputusan yang jelas berdasarkan bukti ilmiah dan faktual, lawan penyebaran informasi yang salah.
Medellin menyabet penghargaan ini pada 2016 karena usahanya selama lebih dari 10 tahun mengurangi tingkat kekerasan di salah satu pusat kartel narkoba dunia. Selain itu, Medellin menata dan menghadirkan fasilitas publik, seperti transportasi umum berupa jaringan bus ataupun cable car, di tengah kawasan kumuh.
Kota-kota di Indonesia tergolong aktif dalam forum WCS. Dalam catatan Kompas, setidaknya ada Ridwan Kamil saat menjabat Wali Kota Bandung, Jawa Barat, menghadiri WCS tahun 2014. Kala itu, selain menjadi pembicara, Ridwan Kamil juga terpilih menjadi bagian dari World Cities Young Leaders.
Pada tahun yang sama, Wali Kota Tangerang (Banten) Arief R Wismansyah dan Wali Kota Jambi Syarif Pasha juga diundang serta menjadi pembicara di KTT Kota Dunia ini. Tri Rismaharini yang saat memimpin Surabaya di Jawa Timur berhasil membawa kota itu bertransformasi dari kumuh dan gersang menjadi bersih serta hijau amat tenar di forum-forum diskusi WCS.
Jakarta pun tak ketinggalan aktif di WCS. Sebagai Ibu Kota negara dan provinsi dengan lima kota serta satu kabupaten administrasi, Jakarta dipandang sebagai kawasan metropolitan raksasa sejajar dengan Tokyo Raya (The Greater Tokyo Area, yang terdiri dari Chiba, Kanagawa, Saitama, dan Tokyo) di Jepang dan New York beserta aglomerasi kawasan urban di sekitarnya. Persoalan perkotaan yang dihadapi dipastikan jauh lebih kompleks dari kota-kota lain di Indonesia.
Baca Juga: Cara Pandemi Mendongkrak Ketahanan Kita
Gubernur DKI Jakarta atau yang mewakilinya sejak era Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, hingga Anies Baswedan rutin hadir di WCS. Berbagai pengalaman dan tantangan menata Ibu Kota membuat diskusi dengan pembicara dari Jakarta cukup diminati.
Sejak keikutsertaan pertama DKI di WCS sampai tahun ini, sekaligus menjadi catatan perjalanan kota metropolitan terbesar di Nusantara ini dari baru dalam tahap merintis transportasi publik sampai jaringan bus Transjakarta meluas.
Ada sukses-sukses kecil yang cukup berharga untuk dibagikan dalam forum diskusi WCS sejak sekitar 10 tahun silam sampai sekarang. Di masa kini, kemajuan itu terasa makin komplit meskipun masih jauh dari sempurna, dengan hadirnya MRT Jakarta dan LRT Jakarta, pembenahan trotoar, hingga jalur sepeda.
Musuh bersama
WCS kali ini berbeda dengan sebelumnya karena ada musuh bersama, yaitu pandemi Covid-19. Desmond Lee, Menteri Pembangunan Nasional Singapura, pada sesi pembukaan WCS, Senin (21/6/2021), menyatakan, mengatasi pandemi yang efektif mengharuskan warga untuk berkorban. Hal itu hanya akan mereka terima jika mereka percaya ini adalah untuk kebaikan yang lebih besar.
”Kepercayaan sulit dibangun, tetapi mudah hilang. Dan, krisis dapat dengan mudah memecah masyarakat jika setiap orang hanya memperhatikan diri mereka sendiri. Untuk menjaga agar orang-orang kita tetap bersatu, perlu komunikasi yang teratur dan transparan, membuat keputusan yang jelas berdasarkan bukti ilmiah dan faktual, lawan penyebaran informasi yang salah,” tutur Lee.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh CLC Singapura pada November 2020, Direktur Eksekutif UN Habitat Maimunah Mohd Sharif menggarisbawahi pentingnya kemitraan dalam menghadapi pandemi.
Dia menggambarkan Covid-19 sebagai wake up call di semua tingkatan, tidak hanya untuk pemerintah, tetapi juga lembaga global, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), masyarakat sipil, perusahaan swasta, dan komunitas untuk bekerja sama membuat kota inklusif, aman, tangguh juga berkelanjutan.
Maimunah yang juga diundang menjadi salah satu pembicara kunci di salah satu panel diskusi WCS pada 22 Juni 2021 menyampaikan, UN-Habitat memiliki rencana tanggap Covid-19 UN-Habitat yang dirilis pada April 2020. Rencana ini melibatkan 64 negara dan membutuhkan dana 72 juta dollar AS untuk implementasi. Dengan dukungan lebih dari 28 donor dan lebih dari 250 mitra, 71 proyek telah dilaksanakan setelah 6 bulan aksi, memberi manfaat bagi sekitar 6,8 juta orang di 37 negara dan 262 kota.
Baca Juga: Berbagi Cerita Reklamasi Belanda
Dalam perjalanannya membantu sebagian kawasan di dunia menghadapi pandemi, UN-Habitat melihat perlu memikirkan kembali perencanaan yang mampu membuat kota dan negara berketahanan dalam menghadapi Covid-19 ataupun pandemi lain nanti.
”Selain berinvestasi dalam layanan dasar, bidang yang perlu mendapat perhatian termasuk pembangunan kesehatan masyarakat, kesetaraan jender, pemulihan lingkungan hijau, kebutuhan akan keahlian teknologi dan solusi berbasis data, serta pembuatan data perkotaan,” tutur Maimunah.
Secara khusus, dia menyatakan ada kesenjangan digital yang harus diatasi karena setengah dari populasi perkotaan dunia tidak terhubung. Maimunah menyimpulkan harus ada cara baru karena kota-kota tidak dapat kembali ke format lama dan harus bergerak maju.
Kata kuncinya, kota dengan lebih banyak ruang publik, memiliki layanan air bersih perpipaan memadai, mengurangi dan mengelola sampah perkotaan, lebih banyak jalur bersepeda ataupun trotoar, serta lebih banyak ”kota 15 menit” akan menjadi kota yang mampu mengatasi dampak pandemi dengan lebih baik. Kota 15 menit adalah sebutan populer untuk tren kawasan urban yang memiliki jaringan angkutan umum massal luas serta memungkinkan warga bertransportasi nyaman, aman, cepat ke berbagai tujuan di dalam wilayahnya.
Baca Juga: Akankah Megakota Jakarta Menggeser Tokyo Tahun 2030?
Elija Hutchinson, Wakil Presiden Waterfronts, perusahaan pengembangan ekonomi Kota New York, saat diskusi pra-WCS pada 29 Januari 2021 memperingatkan, tidak ada satu solusi yang bisa berlaku atau cocok untuk semua kota. Perlu dihitung dengan pendekatan ilmu pengetahuan saat akan mencontoh program kota lain.
Kolaborasi
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat menjadi pembicara di sesi diskusi WCS dengan tema ”Liveable and Sustainable Cities: Adapting to Disrupted World”, Senin (21/6), mengatakan, setahun ini memberikan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Kami mengambil kesempatan ini untuk menciptakan visi perkotaan baru dan bekerja keras mengubah setiap tantangan menjadi peluang,” katanya.
DKI selama ini terdepan di jajaran provinsi lain di Indonesia dalam mengendalikan penyebaran Covid-19 melalui 3T (testing, tracing, dan treatment), dan mendorong masyarakat melakukan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas).
Meskipun demikian, Badan Pusat Statistik menunjukkan, akibat pandemi, pada September 2020 sebanyak 4,69 persen warga Jakarta atau sekitar 480.860 jiwa masuk kategori miskin. Ada kenaikan 1,2 persen lebih penduduk miskin dari tahun lalu. Demi mengatasi itu, selain dengan program bantuan dari anggaran pemerintah pusat dan daerah, DKI membantu kelompok masyarakat rentan melalui platform kolaborasi sosial berskala besar (KSBB).
”Kami menggandeng semua pihak untuk gotong royong membantu sesama. Selain itu, pembangunan tetap dilakukan, seperti pengendalian banjir, instalasi pengolahan air limbah, infrastruktur pengelolaan sampah, dan sebagainya,” katanya.
Pandemi masih belum terlihat ujungnya. Pengelola kota yang kini melayani lebih dari 50 persen penduduk dunia dan akan terus membengkak jumlahnya itu perlu lebih peka dalam mengambil kebijakan dan menciptakan terobosan untuk menyelamatkan warganya. Wadah seperti WCS untuk saling bertemu, berbagi, dan bekerja sama akan sangat membantu mewujudkan misi mulia itu.
Baca Juga: Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan