Inspirasi Rumah Kubus Kontrakan Elon Musk
Elon Musk menjual propertinya lalu tinggal di hunian mungil sewaan. Aksinya mengamplifikasi tren kaum urban penikmat rumah kecil. Tren yang sejak lama mengakar di banyak kota dan bisa menyumbang solusi di masa sulit ini.
Sejak tahun lalu, Elon Musk melempar janji akan melepas semua asetnya. Seusai secara bertahap menjual rumah hingga vila mewah di Los Angeles, Amerika Serikat, orang kaya ketiga di dunia tersebut pada pertengahan tahun ini pindah ke Texas. Ia menetap di rumah kubus sewaan buatan Boxabl, bisnis rintisan di bidang perumahan.
Sebuah ulasan di Forbes menyebutkan, rumah kotak minimalis Musk hanya seluas 37 meter persegi. Ada kamar tidur, ruang menonton televisi, dapur kecil, dan kamar mandi. ”Entahlah, apakah istri dan anaknya juga tinggal di sana,” tulis Sergei Klebnikov, reporter Forbes.
Arsitek mobil listrik Tesla supercanggih itu kini masih berproses menjual asetnya yang lain. Klebnikov tak lupa menyebut Musk menyewa kotak hunian barunya dari perusahaan miliknya sendiri.
Mungkin saja memiliki rumah mewah megah melebihi luas lapangan sepak bola bukan lagi gaya hidup menyenangkan bagi triliuner yang juga bos perusahaan roket SpaceX itu. Baginya, melepas semua keterikatan dengan rumah berharga hingga ratusan juta dollar AS berarti menanggalkan beban yang tak perlu. Dengan menyewa rumah yang uangnya juga mengalir ke keuntungan perusahaannya, jelas bukan kerugian di pihak Musk.
Dengan tempat tinggal yang tidak menyita banyak waktu dan biaya perawatan, penghuninya lebih bebas melakukan hal lain. Kesempatan menabung, menekuni pekerjaan dan hobi yang digandrungi, lalu travelling terbuka lebar.
Tinggal di hunian kubus dengan kebutuhan dasar sehari-hari terpenuhi, dekat tempat kerja, dan fokus mengelola SpaceX sungguh praktis dan bermakna. Toh, dengan kekayaannya, segala kebutuhan pribadi dan keluarga Musk tetap tercukupi dengan sangat memadai.
Terlepas dari Musk yang sejak dulu mengundang perhatian publik, gaya hidup praktis di rumah mungil memang tengah menjangkiti sebagian manusia di planet ini. Alasan paling utama penganutnya adalah agar hidup tanpa atau minim utang.
Selain itu, dengan tempat tinggal yang tidak menyita banyak waktu dan biaya perawatan, penghuninya lebih bebas melakukan hal lain. Kesempatan menabung, menekuni pekerjaan dan hobi yang digandrungi, lalu travelling terbuka lebar. Ruang hidup mini berarti pula tidak rakus ruang dan tak banyak menimbun barang yang kurang fungsional. Ini diyakini turut menjaga kelestarian Bumi.
Gejala umum
Rumah kubus Musk dan tren tempat hidup kecil bukan barang anyar di lautan permukiman metropolitan dunia. Sering kali dan umumnya, hunian sempit melekat pada kelompok masyarakat miskin dan sangat miskin perkotaan. Rumah-rumah berukuran 1x3 meter berimpitan adalah pemandangan biasa di kawasan padat penduduk di Jakarta. Ruang serupa peti dengan tinggi dan lebar kurang dari 1 meter dan panjang 2 meter jamak dijumpai di Hong Kong.
Meski demikian, hunian mungil tidak selalu berasosiasi dengan warga urban tak berpunya. Di New York dan metropolitan lain, ada apartemen seluas 7 meter persegi di pusat kota yang disewakan atau dijual dengan menyasar kelas menengah dan kaum muda kelas pekerja.
Baca Juga: Hunian Vertikal atau Rumah Tapak, Mana Lebih Baik?
Di Jakarta dan sekitarnya, makin banyak unit apartemen seluas 18 meter persegi di tengah kota seharga ratusan juta rupiah dan tetap tinggi peminatnya. Rumah tapak dengan luas tanah di bawah 60 meter persegi dilengkapi bangunan kecil tak kalah tumbuh subur di sekeliling Ibu Kota hingga pelosok jauh. Harga dua rumah mungil berukuran sama bisa berbeda puluhan hingga ratusan juta rupiah, tergantung lokasi dan kualitas bangunan. Target pasarnya masyarakat berpenghasilan rendah sampai di atas rata-rata.
Di luar itu, yang kurang disadari arti pentingnya adalah selama berpuluh tahun terakhir di Indonesia telah ada tren rumah atau kamar sewa. Istilah kamar kos, kos-kosan, indekos, rumah petak muncul mengakrabi kehidupan masyarakat urban dari berbagai kelas sosial ekonomi.
Potensi tak terlihat
Pascakemerdekaan sampai sekarang, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan papan bagi rakyatnya. Permintaan tempat tinggal pada akhirnya lebih banyak dipenuhi sendiri oleh khalayak ramai.
Pemodal besar yang bisa menguasai ribuan hektar lahan membuka kawasan perumahan baru. Berbagai fasilitas publik termasuk akses langsung ke kota induk bisa dibangun, yang sekaligus menaikkan harga jual properti mereka. Sementara masyarakat umum yang jeli melihat peluang bisnis menyediakan kamar kos dan rumah petak dengan memanfaatkan lahan terbatas mereka.
Berbeda dengan perumahan yang dikelola pengembang, sejauh ini sulit melacak jumlah pasti unit rumah petak dan kamar kos. Belum ditemukan juga data berapa persen kebutuhan hunian yang terserap penyedia kos dan rumah petak ini. Namun, hunian swadaya publik ini hampir pasti ada di semua perkampungan padat sampai perumahan berkelas di Jakarta dan sekitarnya.
Kontrakan di pusat keramaian, dekat kawasan perkantoran, pabrik, pusat jual beli, kompleks pendidikan, biasanya tak pernah kekurangan penyewa. Harga sewa bersaing dilengkapi fasilitas dasar, seperti listrik dan air bersih. Perantau berpendapatan pas-pasan sampai kelas menengah ke atas yang butuh ruang istirahat memadai, dekat lokasi kerja, tetapi tak sampai menguras pendapatan terwadahi oleh beragamnya pilihan kamar dan rumah sewa.
Walau sedemikian menjamur dan sangat kasatmata, kos dan rumah sewa belum menjadi andalan untuk dirangkul dalam program pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, penataan ruang, juga pendapatan daerah.
Dari beberapa peraturan terkait hunian dan rumah sewa, untuk di Jakarta, diketahui surat izin rumah kos (SIRK) akan diberikan kepada pemilik tempat dan berlaku 2 tahun setelah melalui serangkaian proses pengecekan oleh instansi terkait. Bagi yang memiliki 10 kamar kos atau lebih diwajibkan membayar pajak yang masuk kategori pajak hotel. Jika kurang dari 10 kamar, hanya berlaku pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan layaknya hunian biasa.
Akan tetapi, mudah pula membuktikan bahwa banyak sekali pemilik kos dan rumah petak yang tidak berizin. Bahkan, perjanjian sewa antara penyewa dan pemilik kos/rumah petak saja sering tidak ada. Sementara itu, penertiban rumah kontrakan hampir tidak pernah terjadi.
Pada masa pandemi ini, saat banyak usaha warga terdampak, bisnis kamar dan rumah sewa turut terganggu. Ada penghuni kesulitan membayar sewa karena penghasilannya terpangkas. Ada pula kos-kosan bertingkat dan rumah petak seketika kosong karena para penyewanya memilih pulang kampung.
Baca Juga: Rumah Impian Terbang Kian Menjauh
Pemilik rumah sewa tiba-tiba kehilangan uang yang biasanya mengalir rutin tiap bulan atau periode waktu pembayaran sesuai kesepakatan dengan penyewa. Karena banyak yang tak mengantongi izin, pemilik rumah sewa sulit mengajukan bantuan bagi pengusaha kecil yang terdampak pandemi ke pemerintah.
Akibatnya, banyak pemilik rumah sewa menyerah. ”Dijual cepat kos-kosan enam pintu, masing-masing ada kamar mandi di dalam”. ”Dijual cepat rumah petak empat pintu, masih baru”. Dari Yogyakarta, Bali, sampai Jakarta dan sekitarnya, iklan-iklan serupa bertebaran di media sosial dan diulas di media massa.
Dari informasi mulut ke mulut dan melalui grup percakapan media sosial, teman mengabarkan sudah berbulan-bulan rumah kos mereka kosong. Ada yang menawarkan potongan harga sewa asalkan ada yang menghuni kontrakan mereka dan membantu membayar tagihan listrik bulanan.
Masalah jadi jalan keluar
Situasi buruk ini tak selalu berujung buntu, malahan bisa memicu peluang baru. Tak ada salahnya pemerintah daerah mendata rumah sewa milik warga dan diresmikan sebagai bagian dari potensi daerah. Dapat digalang upaya membentuk standar pelayanan minimum (SPM) hunian sehat urban. Selanjutnya, dipikirkan cara memanfaatkan ruang-ruang layak huni itu di tengah keterpurukan hampir semua sektor kegiatan publik di masa pagebluk.
Dalam jangka pendek, kos dan rumah petak dapat disiapkan dan difungsikan sebagai lokasi isolasi mandiri bagi pasien Covid-19 tanpa gejala. Bahkan, bisa menjadi tambahan ruang perawatan bagi pasien bergejala. Hunian sewa yang berada dalam radius terjangkau dari puskemas dan rumah sakit umum daerah, misalnya, berpotensi direkrut sebagai fasilitas kesehatan darurat atau sementara. Asalkan ada pengorganisasian dan dalam koridor prosedur penanganan wabah yang tepat, alternatif ini bisa diterapkan.
Baca Juga: Menanti Gedung-gedung Jangkung Ibu Kota ”Terbangun” dari Tidurnya
Di sisi lain, kos dan rumah petak dapat menjadi pilihan hunian bagi orang-orang yang terhantam pandemi dan terdepak dari rumah atau apartemen mereka karena tidak mampu lagi membayar cicilan mahal. Data warga penerima bantuan sosial, bantuan bagi pengusaha kecil, juga data kredit macet di bank dapat dielaborasi untuk mendistribusikan bantuan dalam bentuk lain, seperti akses ke rumah sewa terjangkau bagi para warga terdampak.
Untuk jangka panjang, tetap dengan kunci pendataan dan penerapan aturan tegas, termasuk memperhitungkannya dalam rencana tata ruang wilayah urban, kos dan rumah petak sangat mampu menjawab backlog alias kekurangan hunian layak di perkotaan. Setidaknya, ini akan meringankan beban pemerintah pusat dan daerah yang selalu kesulitan menyiapkan lahan juga menyediakan dana untuk pengadaan perumahan rakyat.
Elon Musk berani mengambil ”jalan pembebasan” dengan tinggal di rumah kubus sewaan. Baik juga realistis melihat apa yang kita miliki, lalu memilah apa yang benar-benar diperlukan untuk menentukan sumbangan terbaik memuluskan upaya membebaskan diri dari situasi serba susah kali ini.
Apa perasaan Musk atas pilihan pindah hunian itu? ”Ini agak luar biasa,” kata Musk seperti dikutip Klebnikov.