Kota-kota Spons Merangkul Banjir Menepis Bencana
Belajarlah sampai negeri China. ”Negeri Tirai Bambu” itu pencetus kota spons yang tidak menolak banjir, tetapi menyerapnya untuk menepis bencana. Dari sana, konsep spons diadopsi kota lain, termasuk Berlin dan Singapura.
Wuhan tak cuma lekat dengan Covid-19 dan dinilai telah mampu mengatasi pandemi. Wuhan kini juga satu dari puluhan kota di China yang mencoba mentas dari banjir bertubi-tubi dengan cara mengembalikan tempat-tempat tampungan air di dalam area metropolitannya.
Terletak di dataran yang dibentuk dua daerah aliran sungai besar, yaitu Han dan Yangtze, Wuhan pernah dikenal sebagai kota dengan ratusan danau. The Guardian memaparkan sejak 1980-an hingga 2010, pembangunan yang masif hanya menyisakan 30 persen dari 127 danau di sentral kota berpenduduk 9,1 juta jiwa tersebut. Itu baru di pusat Wuhan, belum lagi alih fungsi lahan di pinggiran kota dan kawasan pemekaran urban di sekitarnya.
Taburan area abu-abu berisi gedung tinggi beton bertulang baja berdinding kaca, dalam sekejap menggantikan sebagian besar lahan hijau basah. Kota ini pun sukses menjadi pusat industri dan hub transportasi penghubung berbagai daerah di dalam negeri ataupun negara-negara lain sehingga berjuluk ”Jalan Raya China”.
Namun, kisah manis itu diiringi cacat yang makin lama kian menggerogoti ibu kota Provinsi Hubei, China, tersebut. Bencana terus mengikis kemampuannya sebagai mesin ekonomi untuk daerahnya sendiri ataupun bagi China. Banjir adalah salah satu bencana yang menjadi langganan datang setiap kali musim hujan menyambangi.
Ide kota spons itu sederhana. Mengapa tidak bekerja dengan alam untuk menyerap, membersihkan, dan memanfaatkan air. Banjir bukanlah musuh. (Kongjian Yu)
Wuhan bukan satu-satunya wilayah di China yang dieksplorasi dan dieksploitasi atas nama pembangunan demi mencapai kemakmuran seluruh negeri. Ada kota-kota besar lain yang dalam tempo 2-3 dekade menjelma menjadi area metropolitan kaya nan gemerlap sekaligus akrab dirundung bencana. Banjir dan krisis air bersih juga polusi udara membayangi wilayah-wilayah pemroduksi ”uang” di negara adikuasa tersebut.
Tahun 2013, tekanan internal ataupun eksternal menyoroti degradasi lingkungan di ”Negeri Panda” itu membuat pemerintah pusat gerah dan mencanangkan pembenahan besar-besaran. Presiden Xi Jinping membubuhkan istilah baru ke dalam kosakata desain perkotaan global saat menyatakan kota masa kini dan masa depan harus mampu bertindak seperti spons. Tahun itu juga, ia meluncurkan program Kota Spons di China. ”Jalan Raya China” menjadi bagian dari 16 area metropolitan di China yang akan dikembangkan menjadi kota-kota spons pada tahun 2015.
Saat sedang menyiapkan transformasi menjadi kota spons, banjir besar melanda Wuhan pada 2016. Setidaknya 14 orang meninggal, banyak kawasan permukiman dan industri terkurung genangan tinggi. Total kerugian 2,3 triliun yuan atau setara 356 juta dollar Amerika Serikat.
Hantaman dahsyat itu kian menyadarkan pemerintah dan warga di sana bahwa banjir dan bencana lain dampak dari perubahan iklim akan bertambah hebat jika mereka tidak menyelesaikan akar masalah pemicu bencana. Program kota spons diputuskan diperluas hingga ke 30 kota. Sungguh ambisius.
Kota spons disebut perwujudan prinsip hidup kuno masyarakat China yang selaras dengan alam dan memberi tempat semestinya bagi sumber air dan semua alirannya. ”Ide kota spons itu sederhana. Mengapa tidak bekerja dengan alam untuk menyerap, membersihkan, dan memanfaatkan air. Banjir bukanlah musuh,” kata Kongjian Yu, arsitek kota spons seperti dikutip dari video World Economic Forum di kanal Youtube.
Profesor lulusan Universitas Harvard, AS, yang sekarang mengajar di Universitas Peking, Beijing, itu menegaskan bahwa kota dan kebutuhannya untuk selalu tumbuh bisa dikelola, sehingga tidak berseberangan dengan kepentingan menjaga keseimbangan lingkungan. Ia menggarisbawahi bahwa kota spons mengadopsi sistem agar curahan hujan semaksimal mungkin merasuk terserap ke dalam tanah perkotaan. Dengan demikian, air hujan mengisi ulang lapisan-lapisan akuifer yang selama ini kosong. Untuk itu, perlu adaptasi terhadap penataan dan pembangunan area urban.
Lapisan akuifer bisa kosong karena masifnya sumur pompa milik perorangan maupun tempat usaha. Saat air di lapisan akuifer kosong dan tanah di atasnya terbebani bangunan, lapisan beton, dan jalan kedap air, itu bisa memicu turunnya permukaan daratan. Fenomena yang juga terjadi di Jakarta dan banyak kota besar lain di Indonesia maupun dunia.
Mengelupas semua lapisan kedap air di area perkotaan jelas bukan pekerjaan mudah dan murah. Kongjian Yu menyiasatinya dengan mulai merealisasikan konsep kota sponsnya di lokasi-lokasi yang selama ini terbengkalai dan tidak bernilai ekonomi. Di setiap kota, sepadat apa pun, selalu ada area-area ”tak bertuan” ini. Jika itu tanah pemerintah, mudah menerapkan fitur spons. Jika itu milik swasta, skema kerja sama dan pemberian insentif oleh pemerintah dilakukan. Langkah ini tahap awal program yang didesain berkesinambungan dan seiring waktu, proyek percontohan terus diduplikasi dan meluas.
Baca juga: Tawaran Legit Kota Donat Amsterdam
Selain itu, dalam prinsip kota spons, kawasan yang dulunya tempat air sedapat mungkin dikembalikan pada fungsinya. “Di masa lalu, manusia mengambil tanah (tempat) dari air, sekarang kita perlu mengembalikan tanah itu,” kata Profesor Hui Li, ahli bidang infrastruktur berkelanjutan dan lingkungan buatan dari Universitas Tongji, Shanghai, yang turut mengawal realisasi kota spons di Shanghai seperti dikutip dari The Guardian.
Lalu, bagaimana jika di lahan yang dimaksud sekarang telah berdiri bangunan permanen? Di sepanjang bantaran sungai yang telah diokupasi, pembebasan lahan tetap satu-satunya pilihan. Justru dari titik ini, proyek pembangunan kota spons yang sekaligus menjadi alat untuk peremajaan kota, dapat dimulai. Melalui pemetaan kawasan dan pendataan cermat, maka akan selalu ada celah lokasi di mana program ini bisa dimulai.
Jika dikaitkan dengan masa pandemi yang memukul mundur semua proyeksi pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek dengan konsep berkelanjutan mampu menjadi jalan keluar terbaik untuk menggeliatkan kembali kegiatan perkotaan yang akan berdampak positif, baik bagi daerah maupun secara nasional.
Alasannya, pertama, proyek dan anggaran dari pemerintah tetap menjadi sumber utama penggerak ekonomi di masa sulit, karena perusahaan besar sampai usaha mikro pun sempoyongan terdampak pandemi. Kedua, jika dilakukan benar, mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan terhitung lebih murah dibandingkan non-berkelanjutan.
Kunci sukses Wuhan
Di Wuhan, menurut laporan riset Universitas Leeds, Inggris dan Coalition for Urban Transition, "Building Climate Resilience and Water Security In Cities: Lessons From The Sponge City Of Wuhan, China" (2020), program kota spons lebih murah 4 miliar Yuan atau hampir 600 juta dollar AS daripada jika memakai pendekatan alternatif berbasis infrastruktur abu-abu. Infrastruktur abu-abu bisa diartikan sebagai solusi rekayasa manusia yang seringkali melibatkan dominasi penggunaan beton dan baja.
Di Wuhan, fitur spons mulai digarap pada 2016 dengan menyasar kawasan seluas 38,5 kilometer persegi yang dulunya terbengkalai di dekat pusat industri. Kawasan Qingshan dan Sixin itu diperbaiki dan dijadikan ruang publik, sekolah, dan area perumahan dengan fitur spons. Dana sebesar 11 miliar Yuan atau 1,7 milliar dollar AS digelontorkan.
Semua permukaan kawasan itu dibangun dengan bahan dan teknik yang mampu mengalirkan air ke dalam tanah. Taman Nanganqu, terletak di dekat perusahaan besi dan baja besar di Wuhan yang dulu saluran drainase kotor, misalnya, diubah menjadi situs spons, dengan trotoar permeabel, taman hujan, terasering rumput, kolam buatan, dan lahan basah.
Taman Nanganqu menjadi bukti, ketika konsep spons diwujudkan baik, lahan buruk rupa bisa bermetamorfosa menjadi kawasan cantik dengan pelbagai fungsi, seperti permukiman, pusat bisnis, taman publik, dan sekolah. Upaya pemerintah akhirnya meyakinkan sektor swasta untuk berpartisipasi dan kini wilayah Nanganqu menjadi sentra kegiatan publik yang mampu menambah pundi-pundi pemasukan daerah.
Untuk bangunan seperti hunian dan area bisnis, dalam konsep spons diartikan dengan mengalokasikan ruang di lantai bawah sebagai penampung luapan air sungai atau saat curah hujan tinggi. Pada saat normal, lantai bawah bisa digunakan sebagai ruang terbuka multifungsi oleh pemilik atau penghuninya.
Baca juga: Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
Di bawah skema kota spons, Wuhan dan daerah lain yang berpartisipasi memastikan 20 persen lahan perkotaan mereka memiliki fitur spons pada tahun 2020. Dengan fitur spons seperlima area urbannya, setiap kota ditargetkan mampu menyerap 70 persen air hujan.
Wuhan tidak main-main. Targetnya mewujudkan 170 kilometer persegi dari total 860 kilometer persegi wilayahnya bertransformasi menjadi kota spons. Pada tahun 2018, dari dua distrik, Wuhan meluaskan proyek sponsnya menjadi sembilan distrik.
Dari laporan yang sama, diketahui bahwa program ini memberi manfaat dalam aspek sosial dan lingkungan yang lebih luas, seperti pengurangan emisi karbon, peningkatan kesehatan masyarakat, peningkatan pendinginan alami, dan peningkatan konservasi keanekaragaman hayati. Keberhasilan kota ini dimungkinkan oleh kerangka implementasi yang diberlakukan pemerintah pusat dengan memberi insentif dan memungkinkan pemerintahan daerah mengadopsi praktik kota spons.
”Ini mencakup penetapan hukum dan peraturan dasar yang berkaitan dengan infrastruktur spons; menguraikan standar wajib dan target yang harus dipenuhi; pemberian dukungan berupa pedoman teknis, pendanaan langsung, dan instrumen pembiayaan yang menguntungkan; dan pembelajaran peer-to-peer lintas kota,” demikian salah satu kalimat yang menyatakan kunci sukses kota spons Wuhan.
Diingatkan pula bahwa kota spons bukan jurus satu-satunya dalam kerangka kerja pembangunan kota berkelanjutan. Meski demikian, fitur spons menjadi kunci pendekatan pengelolaan air secara terpadu dalam skala kesatuan daerah aliran sungai (DAS) dan menggabungkannnya ke dalam infrastruktur lain serta perkembangan perkotaan di wilayah tersebut. Ini penting karena efek perubahan iklim semakin lama menjadi lebih akut.
Untuk mewujudkannya, mengambil contoh di China, pemerintah pusat mengamanatkan bahwa demi mendapatkan pendanaan pusat, proyek kota spons harus terhubung dengan program terkait. Di Wuhan, program terkait yang dimaksud adalah membangun dan memperluas jaringan terowongan untuk infrastruktur utilitas. Selain itu, berkaitan pula dengan proyek peningkatan kualitas air sungai.
Baca juga: Raih Peluang Setangguh Kerbau Logam
Agar kota spons dan proyek terintegrasi lain berjalan baik, pemerintah pusat dan daerah sepakat memiliki badan koordinasi. Wewenangnya mengawasi dan mengintervensi saat ada program yang melenceng atau terjadi miskoordinasi antarpihak dalam proyek-proyek yang saling terkait.
Dengan program yang jelas sasaran, anggaran, dan kerja sama serta koordinasinya, para pemangku kepentingan dipaksa melepas kacamata kudanya dan terdorong bekerja lintas divisi dan disiplin ilmu. Para aparatur sipil negara alias ASN dibiasakan bergerak menuju rencana yang lebih holistik untuk pengelolaan air perkotaan.
Pola kerja dan program penanggulangan bencana berbasis riset dengan perencanaan detil disertai penganggaran jelas menjadi penentu keberhasilan kota spons China yang kini diadopsi kota-kota lain, seperti Berlin di Jerman dan Singapura. Pengerahan sumber daya manusia berbasis kerja sama dan koordinasi erat lagi kokoh antara pemerintah pusat dengan daerah semakin menentukan kesuksesan program ini.
Kota spons menjadi sebuah respons yang sungguh diperlukan dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Sebuah acuan yang patut dicontoh negara-negara yang masih kedodoran mengatasi bencana, seperti Indonesia ini.