Lagi-lagi Soal Oksigen Langka, Bima Arya Pun Desak Pusat Segera Beraksi
Jika tidak ada langkah cepat dari pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan oksigen medis, maka kondisi di rumah sakit akan semakin kritis, seperti lonjakan kasus kematian.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Wali Kota Bogor Bima Arya mendesak pemerintah pusat untuk bergerak lebih cepat mengatasi kelangkaan oksigen. Ketersediaan oksigen di rumah sakit di Kota Bogor semakin kritis dan pasokan dari stasiun pengisian oksigen pun menipis. Belum selesai urusan kebutuhan oksigen, kini stok obat pun ikut langka.
Bima Arya khawatir jika tidak ada langkah cepat dari pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan oksigen medis, kondisi di rumah sakit akan semakin kritis. Pihaknya juga akan terus berusaha keras untuk cepat mencari oksigen.
Jadi, situasinya memang sangat darurat. Semuanya menyiasati dengan cara membagikan dulu (oksigen) bagi RS yang membutuhkan.
Dari peninjauan di tiga titik stasiun pengisian (filling station) oksigen, Jumat (16/7/2021), yaitu di PT Sandara Baswana Gas di Citeureup, PT Rezki Gasindo Jaya di Gunung Putri, dan PT Aneka Gas Industri (Samator) Cileungsi, Kabupaten Bogor, pasokan oksigen untuk rumah sakit di Kota Bogor semakin menipis.
”Tiga titik itu memasok oksigen ke semua RS di Kota Bogor. Kondisinya masih kritis dan darurat. Semua mengeluhkan pasokan di pabrikan yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan saat ini sehingga jalur distribusi ke RS terhenti. Jadi, masuk sedikit-sedikit dan dipaksa dibagi ke rumah sakit yang betul-betul membutuhkan,” kata Bima, Sabtu (17/7/2021).
Kondisi kedaruratan dan kekritisan oksigen itu membuat rumah sakit semakin sulit menerima pasien. Misalnya, instalasi gawat darurat (IGD) di sejumlah rumah sakit di Kota Bogor tidak bisa melayani pasien, salah satunya karena oksigen terus menipis dan habis. Sementara filling station juga pasokannya tergantung dari pabrikan yang ternyata kapasitas produksinya pun terbatas.
”Jadi, situasinya memang sangat darurat. Semuanya menyiasati dengan cara membagikan dulu bagi RS yang membutuhkan,” lanjut Bima.
Untuk itu, Bima mendesak kepada pemerintah pusat untuk bergerak lebih cepat mengatasi kelangkaan oksigen. ”Karena dampaknya banyak. Berdampak pada lonjakan angka kematian warga isoman, berdampak juga pada keterisian tempat tidur. Tempat tidur di RS pun tidak bisa digunakan karena oksigennya juga tidak ada. Jadi, semua harus bergerak cepat,” katanya.
Saat ini Kota Bogor, lanjut Bima, sudah membeli 150 tabung oksigen yang akan diprioritaskan untuk kebutuhan rumah sakit. Selain itu, disiapkan pula skema agar pasokan oksigen dapat terpenuhi dari beberapa sumber lain, seperti bantuan Krakatau Steel sebanyak 200 tabung per hari melalui Gerakan Anak Negeri dan Relawan Siaga, bantuan Posko Oksigen Provinsi Jawa Barat, dan CSR swasta.
Sejauh ini, kerja sama itu cukup membantu kebutuhan oksigen di rumah sakit meski masih sangat terbatas dan belum mengatasi persoalan kelangkaan oksigen. ”Sekali lagi saya mendesak kepada pemerintah pusat untuk bergerak lebih cepat lagi. Kita berpacu dengan waktu, untuk selamatkan sebanyak mungkin nyawa manusia,” lanjutnya.
Kota Bogor baru saja mendapat bantuan 20 konsentrator oksigen dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai pengganti oksigen tabung untuk pasien Covid-19.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim menuturkan, bantuan 20 konsentrator oksigen tersebut dialokasikan ke rumah sakit perluasan RSUD Kota Bogor, seperti di Rumah Sakit Lapangan sebanyak 15 unit. Adapun sisanya untuk IGD RSUD Kota Bogor.
”Paling tidak dengan adanya oksigen konsentrator ini banyak warga Kota Bogor yang terbantu. Sementara kita masih menunggu pasokan oksigen yang seharusnya memang kebutuhannya sangat tinggi di RSUD,” kata Dedie.
Dedie menjelaskan, kebutuhan oksigen di RSUD Kota Bogor setidaknya lebih dari 4,8 ton per hari untuk menangani pasien Covid-19. Di RSUD Kota Bogor juga memerlukan 210 tabung oksigen berukuran 6 meter kubik.
”Jadi, dengan kelangkaan dan kesulitan distribusi atau pasokan mengakibatkan penurunan kapasitas daya tampung sehingga mengakibatkan banyak orang melakukan isolasi mandiri,” tuturnya.
Di luar kelangkaan oksigen, lanjut Dedie, saat ini timbul permasalahan baru, yaitu soal ketersediaan obat-obatan. Pemkot Bogor meminta khusus kepada para penegak hukum untuk mencari permasalahan kelangkaan obat-obatan itu. Diduga, ada oknum yang bermain atau memanfaatkan situasi untuk keuntungan.
”Ke mana sebetulnya obat-obatan itu. Jangan sampai ada yang menimbun. Jika sampai terjadi penimbunan, harus segera ditindak karena masyarakat dalam kondisi darurat tidak bisa menunggu dan harus ada ketegasan dari aparat,” ujar Dedie.
Untuk kebutuhan obat di RSUD Kota Bogor, lanjutnya, didistribusikan langsung dari Kementerian Kesehatan. Namun, fakta yang terjadi, jika masyarakat mempunyai resep dan mencari ke apotek, justru tidak menemukan obat dari resep itu.
Dedie juga berharap warga untuk tidak membeli secara berlebih atau hanya sekadar untuk persediaan. Dedie tidak ingin dalam kondisi kedaruratan penanganan pasien tidak tertangani karena obat tidak tersedia.
”Saya pikir pemerintah pusat dan daerah komitmen untuk membantu semaksimal mungkin keselamatan masyarakat, tetapi jangan ada oknum-oknum yang bermain. Dalam kondisi ini, kita tidak bisa menoleransi orang orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan,” tuturnya.
Direktur Utama RSUD Kota Bogor Ilham Chaidir melanjutkan, pasien Covid-19 dengan gejala berat rata-rata perlu pemakaian oksigen hampir 5 ton per hari. Oksigen menjadi salah satu penanganan yang paling penting.
”Kemudian, karena obat-obatan terbatas, kami ada sekitar 200 lebih pasien atas rujukan dari rumah sakit yang pasiennya dalam kondisi sangat berat sehingga kebutuhan oksigennya bukan lagi 5 liter per menit, tetapi sudah minimal 15 liter per menit,” kata Ilham.
Selain pemakaian oksigen semakin banyak setiap harinya, kata Ilham, para pasien juga sangat membutuhkan obat-obatan. Kebutuhan satu pasien bisa mencapai 16 tablet setiap hari selama 5 hari.
”Sekarang dengan tidak ketersediaan obat ini, tentu kebutuhannya penanganan sangat banyak. Karena obat-obatan ini tidak terpenuhi, terpaksa kami memakai plasma konvalesen. Ini pun sangat lambat dalam mencari para donor. Mungkin bagi para penyintas bisa mendonorkan darahnya sehingga kami lebih mudah menolong orang,” katanya.