Penanganan dampak Badai Katrina yang melanda Amerika Serikat pada 2005 memberi pelajaran penting bagi dunia. Saat pusat dan daerah tidak bicara dalam ”bahasa yang sama” menanggulangi bencana, akibatnya fatal.
Oleh
neli triana
·5 menit baca
Campur aduk. Dua kata itu gambaran perasaan banyak orang, setidaknya dua pekan ini. Pengeras suara dari masjid-masjid makin sering mengabarkan warga yang berpulang. Berita duka silih berganti di grup-grup percakapan di telepon genggam. Diselingi informasi pencari donor konvalesen, nomor telepon untuk bantuan oksigen, hingga ambulans. Tak ketinggalan permintaan nomor florist yang masih bisa menerima pesanan papan bunga ucapan duka.
Tak henti, publik disuguhi unggahan video aparat menertibkan kerumunan dan tempat usaha agar menutup lapaknya mematuhi aturan jam operasional selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Ada yang sopan meminta segera tutup warung sembari membeli dagangan agar rezeki pedagang kecil hari itu tak cekak. Ada juga yang gahar sampai memberi ”bogem mentah” agar pemilik usaha patuh.
Emosi kian teraduk-aduk mengetahui banyak warga yang nyaris tak memiliki penghasilan, apalagi tabungan, bingung bagaimana menopang hidup sehari-sehari ketika semua aktivitas di luar sektor esensial dan kritikal dibatasi ketat.
Lembaga-lembaga yang seharusnya saling bekerja sama dan cepat merespons bencana ini tidak ”berbicara dengan bahasa yang sama”.
Pemerintah daerah banyak yang menjerit meminta limpahan dana dari pusat, karena tak lagi punya cukup uang membiayai pelaksanaan PPKM darurat dan berbagai dampaknya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun baru berencana membagikan bantuan sosial tunai pada pekan ketiga Juli. Itu pun ada sebagian jatah warga miskin yang belum bisa dipenuhi, menunggu datangnya dana dari Kementerian Sosial.
Tidak cukup itu saja. Masyarakat kelas ekonomi bawah ini pun tak luput dari serbuan SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19. Banyak dari mereka sulit mengakses fasilitas kesehatan dan obat-obatan. Kematian dengan dugaan Covid-19 di permukiman padat miskin, khususnya di Jakarta Utara saja, menurut Jaringan Rakyat Miskin Kota terjadi setiap hari.
Bingung sekaligus geram. Apakah ini semua sebelumnya tidak diprediksi dan diantisipasi?
Contoh paling sederhana, kasus aparat Pemprov DKI Jakarta yang berkumpul tanpa masker, tidak jaga jarak, seusai menertibkan kerumunan dan menutup sejumlah tempat usaha sesuai PPKM darurat. Meskipun mereka akhirnya diberi sanksi, kejadian ini tetap menunjukkan bahwa dalam tubuh pemerintah sendiri, pesan penting disiplin protokol kesehatan mencegah penyebaran Covid-19 belum tertanam baik dan menyeluruh.
Diakui atau tidak, ada proses yang tak berjalan baik terkait penyampaian dan penerimaan informasi atau komunikasi antarlembaga pemerintah, juga antara pemerintah dan publik. Ini turut berdampak pada penentuan dan pelaksanaan kebijakan yang jauh dari baik. Akibatnya pun bisa dibilang fatal.
Duka Katrina
Sebuah pelajaran yang relatif baru sebenarnya didapat publik dunia sebelum pandemi Covid-19 tiba, yaitu dari kasus penanganan dampak Badai Katrina di Amerika Serikat.
Badai Katrina yang terjadi pada 29 Agustus 2005 adalah bencana besar di New Orleans, AS. Badai ini memangkas tempat tidur rawat inap dari 2.269 unit menjadi 453 unit dan mengurangi jumlah dokter dari 2.664 menjadi 1.200. Secara keseluruhan, badai membuat 780.000 orang di New Orleans mengungsi, merusak 200.000 rumah, menghancurkan 18.700 bisnis, dan mematikan 220.000 pekerjaan.
Laporan Dave Philipps di The New York Times menyebutkan, empat hari setelah badai besar yang merenggut sedikitnya 1.800 jiwa, bantuan masif baru digerakkan pemerintah federal. Pemerintah negara bagian dan tingkat kota tidak lagi mampu menangani mega bencana yang tak terperikan itu. Kesaksian para sukarelawan kala itu, mereka melihat jalinan miskomunikasi dan penundaan penanganan yang berakibat fatal, serta ketidakmampuan dalam manajemen bencana.
Louise K Comfort dan Thomas W Haase, peneliti di University of Pittsburgh, dalam jurnalnya menyatakan, dalam kasus Katrina ada kesenjangan antara desain organisasi dan investasi pada sumber daya dan pelatihan. Kesenjangan ini menyebabkan para personel tidak dapat melaksanakan fungsi organisasi yang seharusnya bertanggung jawab mengurangi risiko dan mengatasi perbedaan persepsi publik tentang bencana. Pimpinan organisasi atau instansi yang seharusnya bertanggung jawab tak punya kapasitas mengambil tindakan demi mengurangi risiko di berbagai tingkatan.
”Di bawah tekanan bencana yang mendesak, butuh desain aliran komunikasi yang tepat. Konsep tindakan kolektif berfungsi secara konsisten hanya jika didukung sistem informasi yang dirancang baik, yang memfasilitasi pencarian dan pertukaran informasi di antara organisasi yang bertanggungjawab menangani bencana,” tulis Comfort dan Haase.
Masih dari artikelnya yang terbit 7 September 2017, Philipps menyebut, saat menghadapi Katrina, lembaga-lembaga yang seharusnya saling bekerja sama dan cepat merespons bencana ini tidak ”berbicara dengan bahasa yang sama”. Setiap lembaga, bahkan dari pemadam kebakaran dan penanganan darurat 911, tidak merespons secepat yang diharapkan. Mereka terjebak dalam urusan memenuhi syarat administrasi sebelum mengerahkan bala bantuan.
Philipps merangkumkan dalam tulisannya bahwa dalam penanganan bencana besar, setidaknya harus dijamin tujuh hal, yaitu pertama, masalah urusan administrasi sudah terselesaikan dini atau telah ada kesepakatan awal dengan aturan hukum kuat. Dengan demikian, membuat para perespons awal dalam penanggulangan bencana tak lagi khawatir terancam sanksi di kemudian hari.
Bencana seperti badai dan banjir di AS bukan hal baru yang tidak bisa diprediksi. Kurang lebih sama dengan banjir di Jakarta dan kawasan lain di Indonesia. Dalam kurun 1,5 tahun terakhir, gelombang lonjakan kasus pandemi Covid-19 pun sudah dapat masuk kategori bencana yang berulang kali dialami semua negara. Berkaca lagi pada kasus Katrina, setelah urusan administrasi dan dasar hukum, hal kedua, agar penanganan bencana efektif adalah memastikan perespons pertama memiliki perencanaan dan keterampilan tersendiri.
Terkait hal itu, dalam kasus penanganan pandemi di Indonesia misalnya, fungsi pengurus RT/RW dan lurah serta camat yang diharapkan adalah sosok-sosok yang menguasai data warga dan menjalin relasi baik dengan puskesmas dan fasilitas kesehatan lain terdekat. Mereka juga diajari agar dapat memobilisasi swadaya masyarakat untuk saling membantu saat diperlukan.
Hal ketiga yang krusial adalah harus ada kerja sama baik serta kesepakatan menjalankan kebijakan ataupun program bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Di sini, termasuk perlu ada kejelasan kewajiban masing-masing. Agar semua itu berjalan, Philipps menekankan pentingnya hal keempat, yaitu pimpinan satuan tugas nasional penanganan bencana yang berpengalaman di bidangnya dan memiliki jiwa kepemimpinan yang mampu mengelola satgas di tingkat daerah satu visi dan satu misi bersamanya.
Di luar empat hal itu, hal lain yang disiagakan sedini mungkin adalah pasokan perlengkapan untuk kondisi darurat mencakup bahan pangan dan barang kebutuhan sehari-hari warga. Selain itu, penambahan ruang perawatan dan tenaga kesehatan beserta obat-obatan maupun alat kesehatan disiapkan. Dua hal terakhir ini dapat dikalkulasi sejak dini dengan beberapa skenario.
Jika mengacu pada pandemi Covid-19, misalnya, sejak dua bulan lalu di Indonesia sudah diketahui kecenderungan pergerakan masyarakat yang sulit direm, ada varian virus baru yang lebih ganas, dan kesadaran warga menerapkan protokol kesehatan masih rendah. Dari kondisi itu, epidemiolog sudah sangat bisa memprediksi lonjakan kasus yang terjadi saat ini.
Disambung lagi dengan analisis ekonom, ahli kesehatan, dan ahli lain, kebutuhan tempat tidur perawatan, oksigen, bantuan sosial bagi warga terdampak sudah sangat bisa dipetakan. Pemerintah sewajarnya dapat menyiapkan berbagai hal yang dibutuhkan sebagai langkah antisipasi.
Dari berbagai perhitungan tersebut, Philipps menegaskan bahwa tidak perlu segan merangkul solidaritas publik untuk membantu pemerintah sejak dini. Tentukan sederet daftar kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh kolaborasi antarelemen masyarakat. Gotong royong warga ini adalah perpanjangan tangan strategi penanggulangan pandemi pemerintah agar dampak bencana dapat ditekan seminimal mungkin.
Bagi negara seperti Indonesia, juga kota seperti Jakarta, yang terbiasa dengan bencana alam mulai dari banjir, longsor, hingga tsunami, menerapkan tujuh langkah spesifik antisipasi bencana ini seharusnya bukan masalah sulit. Sayangnya, yang terjadi hampir dua pekan ini, adalah sebaliknya.
Oh tidak..., cerita duka serupa Katrina terulang lagi.