Fasilitas Kesehatan Tak Mampu Lagi, Kota Bogor Tunggu Pengetatan Makro
Wali Kota Bogor Bima Arya mendapat laporan warga sulit mendapat tempat perawatan. Namun, faktanya semua tempat telah penuh. Tenaga kesehatan juga bertumbangan tertular Covid-19.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kota Bogor, Jawa Barat, mencatat angka tertinggi konfirmasi kasus positif harian, yaitu 447 kasus, Selasa ini. Pemerintah Kota Bogor saat ini menunggu keputusan pemerintah pusat terkait pengetatan makro di Jabodetabek. Pemkot Bogor siap menjalankan kebijakan pengetatan makro karena kondisi kasus positif Covid-19 sudah sangat mengkhawatirkan.
”Kami terus meminta pemerintah pusat mengambil kebijakan cepat dan tegas terkait pengetatan makro di Jabodetabek. Saya mendengar akan segera ada keputusan pegetatan itu, semoga hari ini. Apakah pengetatan jam operasional atau penutupan, kita tunggu,” kata Wali Kota Bima Arya saat meninjau kesiapan tenda instalasi gawat darurat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor, Selasa (29/6/2021).
Faktanya penuh. Tidak usah bicara angka BOR (keterisian tempat tidur) lagi, faktanya penuh.
Menurut Bima, pihaknya mengusulkan pengetatan karena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro tidak bisa berjalan sendiri. Oleh karena itu, butuh kebijakan dari atas berupa pengetatan makro sehingga PPKM mikro sebagai penopang upaya penanganan kasus Covid-19 yang semakin darurat bisa maksimal.
”Tidak bisa berjalan sendiri. Salah kaprah PPKM mikro bisa berjalan sendiri. Jika di atas atau makronya tidak ketat, PPKM mikro keteteran dan tidak maksimal. Yang ada justru aparatur sipil negara terpapar, polisi terpapar, dan tenaga kesehatan bertumbangan semua. Itu bahaya karena memengaruhi pelayanan dan target vaksinasi. Untuk itu kami siap jika ada pengetatan makro,” tutur Bima.
Kondisi kedaruratan itu semakin terlihat dari angka konfirmasi positif Covid-19. Berdasarkan data pembaruan Dinas Kesehatan Kota Bogor pada Senin (28/6/2021), ada penambahan sebanyak 447 kasus sehingga total konfirmasi positif mencapai 20.015 kasus.
Adapun pasien sembuh atau selesai isolasi mencapai total 16.341 kasus, masih sakit 3.391 kasus, dan meninggal mencapai 283 kasus. Kedaruratan juga terjadi di rumah sakit rujukan yang tidak lagi mampu menampung pasien Covid-19.
”Faktanya penuh. Tidak usah bicara angka BOR lagi, faktanya penuh. Semua sulit untuk akses perawatan dan tempat tidur. Saya banyak dapat laporan warga tidak mendapat ruang perawatan, tetapi saya tidak bisa apa-apa. Wali kota pun tidak bisa apa-apa karena kondisi sudah penuh. Oleh karena itu, kita semua warga juga agar berempati kepada tenaga kesehatan. Ayo kita disiplin protokol kesehatan ketat dalam situasi kenaikan kasus saat ini,” tegas Bima.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim menambahkan, pihaknya menunggu keputusan pemerintah pusat terkait pengetatan makro di Jabodetabek dan menunggu petunjuk teknis dan pelaksanaannya untuk kemudian akan disesuaikan dengan kondisi di Kota Bogor.
”Saat ini memang kondisi sangat darurat, BOR sudah sangat tinggi sehingga memang perlu langkah lain berupa pembatasan mobilitas masyarakat, jam operasional unit usaha, dan hal lainnya yang juga harus diatur. Dengan demikian, kita bisa menurunkan tingkat risiko paparan dan kasus Covid-19. Kita bersama menyelamatkan warga dan tenaga kesehatan secara maksimal dari penanganan kuratif hingga preventif dan promotif,” tutur Dedie.
Dedie melanjutkan, untuk pembatasan aktivitas perkantoran, Pemkot Bogor sudah memberlakukan 100 persen bekerja dari rumah untuk ASN, kecuali kantor atau dinas yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik seperti dinas kesehatan.
Untuk perkantoran swasta atau sektor lainnya dibutuhkan atau didorong langsung oleh kebijakan pemerintah pusat sehingga ada kesesuaian aturan di seluruh wilayah, khususnya di Jabodetabek sebagai wilayah aglomerasi.
”Perlu ada aturan yang komprehensif dan sama di setiap wilayah agar tidak menjadi celah. Tidak bisa aturannya hanya satu daerah saja. Harus serentak di semua wilayah, khususnya di Jabodetabek,” kata Dedie.