Pemda: Situasi Genting, Kami Butuh Bantuan Pusat
PPKM mikro di wilayah tidak akan mampu mengatasi persoalan ketika tidak diimbangi kebijakan lebih tegas dan ketat di wilayah makro. Harus ketat dalam hal pembatasan aktivitas warga di tingkat aglomerasi Jabodetabek
BOGOR, KOMPAS — Setelah Kota Bogor di Jawa Barat, kini Pemerintah Kota Tangerang di Banten meminta pemerintah pusat untuk mengeluarkan kebijakan ketat di aglomerasi Jabodetabek karena kondisi Covid-19 sudah sangat darurat dan kritis.
Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 yang semakin darurat, pemerintah kota dan daerah, khususnya di Jabodetabek, perlu dukungan kebijakan tegas dan ketat di level atas agar penanganan lebih komprehensif. Apalagi saat ini Kota Tangerang sudah masuk zona merah.
”Ini tidak hanya sekadar kewenangan kami kepala daerah yang terbatas, tetapi juga terkait kolaborasi dan koordinasi di Jabodetabek. Belum lagi kami masih harus mengurusi rumah tangga masing-masing karena memang lagi tinggi kasusnya. Oleh karena itu, perlu ada payung kebijakan lebih besar dari pusat untuk Jabodetabek agar aturan serentak dan rata,” kata Arief saat dihubungi, Senin (28/6/2021) malam.
Contoh nyata lagi di lapangan, kami buka ruang isolasi terkonsentrasi. Baru sehari buka langsung penuh. Sekarang sudah 97,32 persen.
Menurut Arief, tidak mungkin baginya bisa melakukan pengetatan makro di Kota Tangerang tanpa dukungan pemerintah pusat. Jikapun bisa, masih banyak celah kebocoran penularan sehingga mata rantai penularan sulit diputus.
”Makanya, kebijakan pengetatan makro di Jabodetabek sangat penting. Itu perlu kekuatan dari atas lalu dibantu dengan penanganan lokal atau mikro di wilayah. Yang terjadi saat ini, misalnya kami ketat, tetapi daerah lain longgar, itu tidak akan maksimal penanganannya. Arus mobilitas ini yang perlu diperkuat dan dibatasi,” ujar Arief.
Berdasarkan data terbaru, lanjut Arief, tren kasus positif masih meningkat. Ada tambahan konfirmasi 129 kasus sehingga total konfirmasi mencapai 11.185 kasus.
”Sekarang rumah sakit sudah darurat, sudah 93,46 persen. Di ICU bahkan 96 persen. Contoh nyata lagi di lapangan. Kami buka ruang isolasi terkonsentrasi. Baru sehari buka langsung penuh. Sekarang sudah 97,32 persen. Dari kondisi ini saja, perlu penanganan komprehensif level mikro dan juga kebijakan pusat yang makro. Kita tidak ingin warga atau tenaga kesehatan semakin banyak yang terpapar. Perlu langkah kuat dan tegas,” kata Arief.
Wakil Bupati Bogor Iwan Setiawan mengatakan, kebijakan pengetatan makro di aglomerasi Jabodetabek penting untuk diambil sebagai penanganan Covid-19 yang terus meningkat. Namun, kebijakan itu tidak serta-merta bisa diterapkan di Kabupaten Bogor yang lebih luas daripada kota-kota di Jabodetabek.
”Tentu pasti ada pertimbangan ekonomi jika pengetatan makro di Jabodetabek. Itu perlu dipikirkan pula. Khusus Kabupaten Bogor tentu tidak semua daerah bisa diterapkan pengetatan aglomerasi makro karena wilayah kami luas, ada 40 kecamatan,” kata Iwan.
Meski begitu, lanjut Iwan, kebijakan pengetatan makro bisa diterapkan di wilayah yang dekat dengan wilayah perbatasan Kota Bogor dan Kota Depok, seperti di Cibinong Raya.
”Kami kepala daerah tentu perlu juga saling koordinasi untuk menentukan kebijakan atau jika ada keputusan kebijakan dari pusat karena terkait ekonomi tadi. Selain itu, penanganan level lokal juga perlu jalan terus. Kami saat ini fokus pada fasilitas kesehatan,” kata Iwan.
PPKM mikro tak efektif
Sebelumnya, Wali Kota Bogor Bima Arya mengusulkan pemerintah pusat mengambil langkah cepat berupa kebijakan tegas pengetatan makro atau regional di aglomerasi Jabodetabek. Keputusan itu sangat dibutuhkan karena terjadi lonjakan kasus positif, tenaga kesehatan bertumbangan, dan keterisian kamar di rumah sakit semakin penuh.
Di Kota Bogor, kasus Covid-19 masih menunjukkan tren meningkat. Sepekan terakhir ada peningkatan 78 persen sehingga berdampak pada tingkat keterisian tempat tidur di 21 rumah sakit rujukan hingga 81,6 persen atau terisi 782 dari 958 tempat tidur. Sementara angka tenaga kesehatan yang terpapar juga bertambah menjadi 336 orang. Kasus kematian naik 125 persen dalam sepekan.
Kasus positif pada anak-anak juga tinggi dalam sepekan, meningkat 18 persen. Berdasarkan data Jumat (25/6/2021), anak umur 6 tahun ke bawah yang terpapar mencapai 92 kasus. Rentang usia 6-19 tahun mencapai 427 kasus, usia 20-29 tahun 568 kasus, dan usia 30-39 tahun mencapai 510 kasus.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bogor pada Minggu (27/6/2021), ada penambahan konfirmasi positif harian sebanyak 262 kasus sehingga totalnya 19.568 kasus. Adapun yang masih sakit 3.003 kasus, selesai isolasi atau sembuh 16.287 kasus, dan meninggal 278 kasus.
Dari data dan pemantauan di lapangan, menurut Bima, perlu ada kebijakan langkah yang luar biasa karena situasi sudah mengkhawatirkan. Belum lagi ada virus Covid-19 varian baru yang bisa memperburuk situasi penanganan pandemi.
Baca juga: PPKM Mikro Tak Efektif, Bima Minta Pemerintah Lakukan Pengetatan Makro
Kebijakan PPKM mikro yang selama ini berjalan dinilai belum menunjukkan hasil maksimal mengatasi atau menekan penambahan kasus yang semakin hari semakin meningkat.
Tidak hanya itu, langkah penanganan seperti percepatan vaksinasi serta penambahan tempat tidur dan ruang isolasi juga dinilai belum cukup karena tidak bisa mengimbangi jumlah tenaga kesehatan yang banyak terpapar Covid-19. Semakin banyaknya tenaga kesehatan terpapar berdampak atau memengaruhi target vaksinasi karena mereka merupakan vaksinator dan tentu memengaruhi pelayanan pasien Covid-19.
”PPKM mikro di wilayah tidak akan mampu mengatasi persoalan ketika tidak diimbangi kebijakan lebih tegas dan ketat di wilayah makro. Harus ketat dalam hal pembatasan aktivitas warga di tingkat yang lebih makro. Pemerintah pusat harus berani mengambil langkah kebijakan lebih ketat. Tidak dipukul rata secara nasional, tetapi bisa diberlakukan sesuai kedaruratan wilayah, misalnya pembatasan lebih ketat di Jabodetabek atau berbasis pengetatan regional,” kata Bima, Minggu (27/6/2021).
Bima sudah berkomunikasi dengan Kementerian Kesehatan serta menyampaikan data dan kondisi situasi lapangan di Kota Bogor. Dari komunikasi itu, ia berharap bisa segera direspons lebih luas.
Kewenangan daerah terbatas
Menurut Bima, harus ada kebijakan langsung dari pemerintah pusat dan kementerian lain karena pemerintah kota atau daerah memiliki kewenangan terbatas dalam mengambil kebijakan memperkuat pembatasan, seperti PSBB atau PPKM makro. Selain itu, pemerintah daerah juga tidak mungkin melakukan pembatasan jam operasional, jam kantor, hingga aktivitas atau mobilitas warga tanpa instrumen kebijakan tingkat nasional.
Jabodetabek sebagai wilayah aglomerasi membutuhkan kebijakan lebih luas dalam penanganan pandemi Covid-19, khususnya pengetatan aktivitas dan mobilitas warga antarwilayah Jabodetabek. Bogor tidak bisa berdiri sendiri dalam penanganan lonjakan kasus karena penambahan kasus berasal dari kluster perjalanan luar kota dan perkantoran. Dari kluster itu meluas ke kluster keluarga yang saat ini menyumbang kasus tertinggi sehingga anak-anak berpotensi terpapar.
Meski begitu, kata Bima, bukan berarti pemerintah daerah tidak bisa mengambil kebijakan terkait penanganan di level daerahnya. Misalnya di Kota Bogor, selaku kepala daerah sekaligus Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Bima memutuskan menerapkan 100 persen bekerja dari rumah atau work from home bagi seluruh ASN, kecuali kantor atau dinas yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, seperti dinas kesehatan.
Baca juga : Tenaga Kesehatan Kelelahan dan Makin Rentan Tertular Covid-19
Selain itu, Pemkot Bogor juga segera mengaktifkan kembali rumah sakit lapangan di Tanah Sareal, pusat isolasi di BNN Lido, hingga akan mengaktifkan pusat isolasi berbasis masyarakat di tingkat kelurahan.
”Namun, sekali lagi, upaya pemerintah daerah tidak akan maksimal ketika tidak diiringi kebijakan lebih tegas dan lebih ketat dalam hal pembatasan aktivitas warga di tingkat lebih makro. Jadi, sebaiknya mengambil keputusan cepat. Jika tidak, semakin banyak korban berjatuhan, semakin banyak tenaga kesehatan yang terpapar. Kita harus berempati kepada tenaga kesehatan yang terus bertumbangan,” tuturnya.