Kisah Tikno, Evita, dan Hasyeti Mendamba Bansos yang Tak Kunjung Datang
Sebagian warga miskin di DKI Jakarta luput dari bantuan sosial karena data kependudukan yang tidak akurat.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY/STEVANUS ATO
·5 menit baca
Nama sejumlah warga miskin hilang dari daftar penerima bantuan sosial di DKI Jakarta. Mereka pasrah di tengah kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19. Hal tersebut dialami warga miskin di RT 009 RW 007 Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. Nama mereka tidak ada dalam daftar penerima bantuan sosial alias bansos.
Salah satunya Tikno (62), mantan petugas kebersihan salah satu rumah sakit di Slipi, Jakarta Barat, yang tinggal di Kelurahan Palmerah, masih di kota yang sama. Namanya tidak muncul sebagai penerima bantuan sosial tunai (BST) Rp 300.000 setiap bulan yang bergulir sejak awal 2021.
”Saya tidak dapat BST karena status pekerjaan di KTP-el sebagai pensiunan. Padahal, saya dulu jadi petugas kebersihan kontrak,” ujarnya kepada Kompas, Senin (14/6/2021).
Penerima BST adalah warga terdampak pandemi Covid-19 yang tidak termasuk dalam penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Sembako. Penerima BST mendapat Rp 300.000 per bulan selama empat bulan.
Keluarga Bapak (Tikno) dan saya tidak ada yang dapat bansos. Sudah lapor ke RT/RW, tetapi belum ada hasil.
Skema pertama, memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta dengan cara transfer ke anjungan tunai mandiri (ATM) Bank DKI. Skema kedua melalui PT Pos Indonesia dengan cara diantar langsung ke rumah penerima manfaat. Pada tahun 2021, pemerintah menargetkan 10 juta penerima manfaat dengan total anggaran Rp 12 triliun.
Adapun jumlah penerima BST di Jakarta sebanyak 1.055.216 keluarga yang ditanggung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui transfer ke rekening Bank DKI dan 750.000 keluarga yang ditanggung oleh Kemensos melalui PT Pos Indonesia. Semua penerima manfaat tercatat sebagai pemilik KTP Jakarta.
Tikno menuturkan, kekeliruan data status pekerjaan itu terjadi ketika dia berganti KTP konvensional ke KTP-el. Operator perekam data kependudukan keliru memasukkan status pekerjaannya. Akibatnya, ia kini masih terdata sebagai warga yang memiliki pendapatan dari pensiunan, bukan sebagai pengangguran selepas kontrak kerjanya diputus.
Bapak tiga anak ini sudah berbicara kepada pengurus warga hingga kelurahan. Namun, tidak ada solusi karena data sudah terekam dalam sistem kependudukan yang jadi acuan penerima bansos.
Evita Therena (33), salah satu putri Tikno yang sudah berkeluarga sekaligus tulang punggung keluarga, juga tidak mendapatkan bansos. Itu terjadi lantaran dia dan suami sempat pindah domisili ke Meruya Selatan. ”Keluarga Bapak (Tikno) dan saya tidak ada yang dapat bansos. Sudah lapor ke RT/RW, tetapi belum ada hasil,” ucapnya.
Praktis selama ini, baik Tikno maupun anak-anaknya, menggantungkan hidup kepada Evita dan suami. Ibu dua anak itu berdagang minuman dan es. Sementara suaminya bekerja sebagai pengojek daring.
Tidak lancar
Masih di wilayah yang sama. Ada juga warga miskin yang mengeluhkan bansos tidak lancar. Hasyeti (62) salah satunya. Pedagang pakaian bekas keliling yang tinggal bersama dua anaknya yang salah satunya menderita gangguan jiwa.
Dia menggantungkan harapan pada bansos. Sebab, selama pandemi Covid-19 ini dagangannya tidak lancar. ”Bansos PKH terima pada Lebaran kemarin. Belum terima lagi sampai sekarang. Dari RT/RW bilang Juli baru terima lagi,” katanya.
PKH merupakan bantuan dari pemerintah pusat yang cair pada Januari, April, Juli, dan Oktober. Pemerintah menargetkan 10 juta penerima dengan besaran anggaran Rp 28,71 triliun. Ibu dua anak ini biasa menerima bantuan Rp 300.000 per bulan. Namun, jumlah bantuan tersebut beberapa kali dirapel untuk dua bulan atau tiga bulan sekali.
Padahal, kebutuhan harian tidak bisa ditunda-tunda. Misalnya untuk mandi, cuci, kakus (MCK) harus membayar karena menggunakan fasilitas umum. Setidaknya ada lima bilik MCK untuk ratusan warga di kawasan permukiman padat dekat Kali Grogol itu.
Mandi dan buang air dikenai biaya Rp 2.000. Sementara untuk cuci mulai dari Rp 4.000 hingga Rp 8.000. ”Kalau sudah kepepet, saya minta tolong anak yang bekerja sebagai tenaga harian lepas di Dinas Lingkungan Hidup,” katanya.
Hilang
Ketua RT 009 Harto Kaseha memastikan nama warga miskin yang hilang dari daftar penerima bansos. Padahal, nama-nama tersebut sudah diajukan ke RW hingga kelurahan.
Total 96 keluarga dari 120 keluarga di RT 009 RW 007 menjadi penerima bansos. Sebanyak 91 keluarga mendapatkan bansos dan pemerintah pusat dan lima keluarga dari pemerintah provinsi. Namun, ketika bansos cair, ada sejumlah nama warga miskin yang hilang. Misalnya penerima BST hanya 71 keluarga. Lalu sepuluh keluarga lain mendapatkan bantuan susulan dari pemerintah provinsi.
Sama halnya dengan bantuan untuk warga lanjut usia. Awalnya ada 48 warga yang mendapatkan bantuan Kartu Lansia Jakarta. Namun, belakangan berkurang satu orang tanpa alasan yang jelas.
”Semua warga miskin terdata, tetapi sekitar lima keluarga namanya yang hilang. Ada yang kepala keluarga meninggal, kena pemutusan hubungan kerja, anaknya nikah ganti keluarga, dan ibu yang sebatang kara. Saya juga bingung nama mereka bisa hilang ketika bantuan cair,” ucapnya.
Situasi tersebut membuatnya memecah bantuan yang tidak diambil warga kepada warga yang memang membutuhkan. Warga yang tidak mengambil bantuan biasanya karena pindah domisili.
”Beras 20 kilogram (kg) dibagikan 5 kg per keluarga yang luput dari bansos. Selama ini dilakukan begitu karena distribusi dari kecamatan atau kelurahan sesuai data penerima,” katanya.
Acuan dan terbatas
Hasil kajian bersama antara Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia dan Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial menemukan bahwa masalah bansos terjadi karena persoalan data acuan dan alokasi anggaran yang terbatas.
Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia Dika Moehammad menyebutkan, penyaluran bansos tidak optimal karena pencatatan kependudukan belum rapih dan pemutakhiran data acuan berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak melibatkan warga sasaran penerima bantuan.
Misalnya penduduk miskin yang hidupnya berpindah-pindah, kepala keluarga meninggal, dan warga terkena pemutusan hubungan kerja. Mereka harus melakukan pembaruan data KK atau KTP-el supaya situasi terkini sesuai dengan pencocokan data.
”Masyarakat tidak tahu proses pemutakhiran data. Mereka tahunya daftar dan dapat bantuan. Padahal, ada proses dan kriteria atau syarat penerima bantuan,” katanya, Jumat (18/6/2021).
Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia juga menemukan bantuan seperti PKH yang belum menjangkau seluruh warga miskin karena keterbatasan kuota bantuan. Setidaknya 30.000 KK miskin di DKI Jakarta yang luput dari bansos tersebut.
Sama halnya dengan Program Sembako. Temuan di lapangan, RT/RW kerap memecah satu bantuan untuk tiga hingga empat orang karena bantuan yang turun tidak sesuai dengan jumlah penerima.
”Jumlah penerima banyak, tetapi yang turun sedikit. Alokasi anggaran dan kuota harus ditingkatkan,” ujarnya.
Karena itu, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia menyarankan Pemprov DKI membuat PKH lokal untuk menjangkau 30.000 KK miskin yang luput dari bansos. Sumber dananya dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.