Kolong Kemiskinan Jakarta Tidak Pernah Sepi
Selama kolong-kolong jembatan dan pemukiman kumuh masih dihuni warga, itu pertanda Jakarta belum terlepas dari persoalan kemiskinan yang diderita oleh sebagian warganya
Di pinggir aliran Sungai Ciliwung yang berbentuk setengah lingkaran, para gelandangan menghuni celah dinding mirip goa tersebut. Untuk naik-turun dari jalan raya ke huniannya, mereka harus berakrobat dahulu. Itulah potret kaum miskin Ibu Kota sejak lebih dari setengah abad lalu.
Potret gelandangan di sekitar Jalan Ir H Djuanda dan di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, tersebut diabadikan wartawan Kompas, Go Joe Kiat, pada edisi 13 Agustus 1969. Tidak ada keterangan jelas dari mana para gelandangan ini berasal, entah penduduk asli Jakarta ataupun pendatang dari desa. Pastinya lebih dari setengah abad kaum miskin sudah mengisi sudut-sudut Jakarta.
Sepuluh tahun berselang, Kompas kembali memuat potret kemiskinan di bantaran sungai, kali ini di sepanjang Kali Ciliwung, Kampung Pulo, Jakarta Timur (9/6/1979). Hunian kumuh kaum terpinggirkan ini berada di kolong jembatan sampai bantaran sungai. Pekerjaan mereka bermacam-macam, mulai dari penarik becak hingga membuka ”pabrik” seadanya untuk membuat tempe.
Seakan tidak pernah sepi, bantaran sungai Ciliwung pun hingga hari ini masih dihuni kaum miskin dan beberapa penghuninya mengharapkan rezeki yang mengalir dari sungainya. Seperti Suparno (69) atau yang akrab dipanggil Pak Kentir, yang tiap hari mengais sejumput barang dari dasar Sungai Ciliwung. Sebagai pendatang Jakarta sejak 1967, pria sebatang kara ini sudah terbiasa hidup menggelandang di Ibu Kota.
Cuplikan-cuplikan kisah setengah abad lebih ini dapat menyiratkan bahwa kemiskinan penduduk sudah melekat sejak lama bagi kota besar seperti Jakarta. Pertanyaannya, mengapa persoalan kesejahteraan warga ini terus terjadi dan tidak pernah tuntas hingga kini?
Merujuk pada laporan Badan Pusat Statistik di Februari 2021, jumlah penduduk miskin di Jakarta mengalami peningkatan signifikan di 2020, tentu karena pandemi Covid-19. Tercatat, pada September 2017 jumlah penduduk miskin mencapai 393.000 orang dan kemudian terus menurun jumlahnya hingga September 2019 yang menjadi 362.000 orang. Pandemi Covid-19 memang memukul sektor perekonomian sehingga pada Maret 2020 jumlah penduduk miskin naik menjadi 481.000 orang dan di September 2020 menjadi 497.000 orang.
Sementara itu, berdasarkan indeks kedalaman kemiskinannya, Kepulauan Seribu menjadi wilayah administrasi DKI Jakarta yang paling besar persentasenya, yakni 2,31 persen. Indeks kedalaman kemiskinan ini merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan sehingga bukan berarti paling banyak penduduk miskin berada di daerah tersebut. Di Kepulauan Seribu, sebenarnya hanya ada 3,6 ribu penduduk miskin.
Jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu tentu tidak sebesar wilayah Jakarta lainnya. Kantong-kantong penduduk miskin di Ibu Kota justru berada di tiga wilayah administrasi DKI jakarta lainnya, yakni di Jakarta Utara, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat. Berdasarkan data September 2020, jumlah penduduk miskin di Jakarta Utara sebanyak 124.000 orang dan di Jakarta Timur sebanyak 123.000 orang, dan di Jakarta Barat ada 111.000 orang.
Memang, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat membentengi diri dengan alasan pandemi Covid-19 yang berdampak parah pada perekonomian. Alasan lainnya, persentase penduduk miskin DKI Jakarta jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan persentase nasional, hanya 4,69 persen di September 2020. Dengan angka itu, DKI Jakarta berada di posisi kedua setelah Bali yang memiliki persentase penduduk miskin paling kecil skala nasional.
Namun, persoalan kesejahteraan penduduk tidak cukup apabila dilihat sebatas angka saja karena lebih jauh lagi, ini adalah persoalan kemanusiaan. Kehadiran warga miskin di Jakarta menjadi sebuah kontradiksi bagi kota yang gemerlap sekaligus pengingat bagi para pendatang yang mengadu nasib dari tahun ke tahun. Akar permasalahan kemiskinan di Jakarta haruslah diuraikan.
Akar masalah
Melalui jajak pendapat pada 15-17 Juni 2021, Litbang Kompas mencoba menggali akar permasalahan ini dengan melihat persepsi publik. Hasilnya, penilaian publik dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yakni penyebab kemiskinan muncul dari faktor eksternal dan faktor internal. Di setiap aktor, dapat ditemukan dua jawaban yang paling banyak dipilih responden.
Untuk faktor eksternal, paling banyak responden menilai penyebab kemiskinan di perkotaan disebabkan karena kurangnya lapangan pekerjaan dengan 51,7 persen suara responden. Sementara itu, 14,3 persen responden berpendapat bahwa kaum miskin kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya.
Menariknya, kurangnya lapangan pekerjaan ini dominan dipilih oleh responden dari semua latar pendidikan, dari pendidikan rendah hingga tinggi. Rincinya, jawaban ini dipilih oleh 53,2 persen responden yang berlatar pendidikan rendah (lulusan SD-SMP), 51 persen responden berlatar pendidikan menengah (lulusan SMA/sederajat), dan 44,2 persen responden dengan latar pendidikan tinggi (lulusan perguruan tinggi).
Hal senada juga terjadi ketika dilihat dari berbagai latar status sosial ekonomi responden yang terlibat jajak pendapat di 34 provinsi kali ini. Uniknya, sebagian besar responden yang memiliki latar sosial ekonomi tinggi memilih jawaban kurangnya lapangan pekerjaan, yakni sebanyak 66,7 persen responden. Lainnya, jawaban ini dipilih 53 persen responden dengan latar sosial ekonomi menengah dan 49,3 persen responden dengan latar sosial ekonomi bawah.
Jika dicermati, publik secara tidak langsung menyatakan ketidakpuasan terhadap peran pemerintah dalam mengatasi kemiskinan penduduknya. Dalam jajak pendapat ini pula, sebanyak 69 persen responden menyatakan bahwa kinerja pemerintah daerah belum memadai dalam mengentaskan masyarakat dari kemiskinan di perkotaan.
Kemudian untuk faktor internal, 17,2 persen responden menilai karena kaum miskin di perkotaan tidak mau atau kurang bekerja keras. Jawaban lainnya adalah rendahnya pendidikan yang diperoleh kaum miskin (7,3 persen responden). Kedua jawaban faktor eksternal ini tentu secara kuantitas jauh lebih sedikit dipilih oleh responden dibandingkan faktor internal.
Hal menarik dari temuan ini, baik faktor internal maupun eksternal, adalah masyarakat mulai memahami bahwa masalah kemiskinan ini adalah persoalan yang kompleks. Di balik itu, mulai tumbuh kesadaran di tengah masyarakat bahwa kemiskinan bukan semata-mata tergantung pada individu atau kelompok yang bersangkutan. Kemiskinan yang terjadi sering kali terjadi karena kesenjangan dan ketimpangan akses untuk memperoleh hak-hak hidup layak.
Baca juga: Ruang Sempit Musisi di Kala Pandemi Covid-19
Persoalan ini sesungguhnya sudah disorot oleh Bank Dunia sejak 2015 lalu. Melalui laporan analisis dari Bank Dunia berjudul ”A Perceived Divide: How Indonesian Perceive Inequality and What They Want Done About It” (2015) menunjukkan kondisi paradigma masyarakat Indonesia secara jelas mengenai konsep kesuksesan seorang individu. Intinya, kesuksesan seseorang terkait erat dengan kerja keras dan menisbikan faktor kesempatan (akses informasi, relasi, hingga latar finansial) yang dimiliki individu.
Bank Dunia mengacu pada ketimpangan sosial ekonomi dari rasio gini sejak 2000 hingga 2013 yang kian timpang. Di 2014, survei dilakukan mengacu pada Susenas 2014 dan hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat tidak menganggap ketimpangan yang ada tidaklah selebar ketimpangan yang terjadi di lapangan. Padahal, ketimpangan ini membentuk sekat antarkelompok sosial dan akhirnya berpotensi cenderung membentuk masyarakat untuk berinteraksi dengan kelompoknya saja.
Kondisi ini diperparah dengan adanya stigma meritokrasi (faktor kerja keras dan bakat) serta kegemaran pada hal-hal terkait motivasi. Masyarakat Indonesia umumnya menggandrungi pada prinsip psikologi populer tentang motivasi, usaha terus menerus, atau bakat yang diasah. Lihat saja tayangan motivator, buku bertema motivasi, atau seminar-seminar motivasi yang selalu saja ada peminatnya.
Sayangnya, kondisi ini acapkali mengabaikan faktor-faktor eksternal seperti kondisi struktural sosial ekonomi yang dimiliki oleh anak atau individu. Dalam dunia akademis, istilah ini dikenal sebagai grit. Mudahnya, grit adalah kombinasi antara bakat dan usaha terus-menerus dalam jangka waktu lama untuk mencapai tujuan.
Praktik dari konsep grit ini dijelaskan dengan baik dalam jurnal yang ditulis Ethan Ris, peneliti pendidikan dari Stanford University. Pada penelitiannya di AS, grit cenderung mendewakan usaha keras anak-anak untuk sukses. Sebaliknya, faktor kapital dan eksternal lainnya tidak diperhitungkan sehingga kemiskinan dianggap karena individu tersebut tidak mau berusaha.
Baca juga: Pudarnya Senyum Bahagia Anak-anak Metropolitan
Memang, untuk kondisi di Indonesia ada saja kisah-kisah inspiratif tentang seseorang yang mampu mencapai kesuksesan dengan memulainya dari bawah. Mulai dari sosok Bob Sadino hingga Chelsea Nindya Pramesthi, anak tukang becak yang mengenyam pendidikan hingga S-3 di Inggris. Masalahnya, kisah-kisah ini berlaku kasuistis dan tentu tidak banyak jika dihitung secara persentase dari masyarakat kelompok sosial rendah.
Bahayanya, jika paradigma ini terus-menerus tertanam di masyarakat, lebar ketimpangan sosial ekonomi kian sulit dipersempit. Situasi masyarakat akan terus berlomba untuk memperoleh kesuksesan secara individu. Dengan begini, cita-cita bersama untuk mencapai kehidupan yang setara atau sekadar memajukan kondisi demi kebaikan bersama (bonum commune) akan utopis.
Ibarat lingkaran setan, penduduk yang sejak lahir memperoleh kemapanan akan melahirkan generasi yang dapat menikmati berbagai akses atau previlese. Begitu sebaliknya, terjadi bagi penduduk yang sejak lahir sudah harus ditampar oleh realitas hidup.
Praktis
Terkait akses, langkah Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk mengupayakan pemerataan bantuan sosial bagi masyarakat kurang mampu patutlah diapresiasi. Risma berjanji akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memfasilitasi penduduk miskin, terutama penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) untuk mendapatkan data kependudukan. Dengan data kependudukan yang jelas, seperti KTP, mereka mendapatkan akses untuk menerima program bantuan dan pemberdayaan dari pemerintah provinsi.
Persoalan kemiskinan di perkotaan bukanlah hal yang mudah dan cepat untuk diatasi. Di Jakarta saja, misalnya, kemiskinan yang telah terjadi sejak lebih dari setengah abad lalu tentu tidak dapat diatasi dengan program-program yang instan. Hal ini makin diperburuk dengan kasus-kasus di tataran elite, seperti korupsi bantuan sosial yang secara nyata makin menyulitkan hidup orang-orang yang membutuhkan.
Terlepas dari kemiskinan adalah harapan bagi semua negara sehingga upaya ini tidak cukup diupayakan segelintir pihak saja. Setidaknya, pemerintah provinsi atau daerah perlu memiliki rencana matang dan menggandeng segenap pihak untuk mencapai kesejahteraan penduduk yang merata. Hingga akhirnya, tidak ada lagi kaum miskin yang menghuni dan mengais rezeki di sudut-sudut perkotaan.