Sebagian warga mempertimbangkan ulang rencana mudik Lebaran tahun ini. Keharusan melengkapi dokumen bepergian, ditambah risiko menyebarkan Covid-19, jadi pertimbangan mereka.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan mudik dari pemerintah membuat sebagian warga mempertimbangkan ulang rencana mudik saat Lebaran. Selain larangan mudik, kewajiban melengkapi dokumen perjalanan juga jadi pertimbangan.
Warga Jakarta, Ritma (20), memutuskan tidak mudik ke kediaman keluarga besarnya di Surakarta, Jawa Tengah, tahun ini. Ia dan keluarganya memilih merayakan Lebaran di Jakarta. Salah satu alasannya, karena pemerintah melarang mudik pada 6-17 Mei 2021.
”Selain itu, kantor tidak memperbolehkan karyawan mudik atau bepergian ke luar kota. Cuti pun dipangkas mengikuti aturan pemerintah. Kami bisa ambil cuti Lebaran asal dihabiskan di dalam kota saja. Jadi, lebih baik tidak usah mudik,” katanya di Jakarta, Senin (19/4/2021).
Di sisi lain, dokumen perjalanan yang harus dilengkapi jika ingin mudik pun membuatnya repot. Surat hasil tes Covid-19 pun ia nilai cukup mahal, yakni sekitar Rp 250.000 untuk tes antigen. Belum lagi, surat itu hanya berlaku beberapa hari.
Mengurus dokumennya ribet. Begitu kembali ke kantor dari luar kota, kami perlu menunjukkan surat keterangan sehat dan harus bekerja dari rumah beberapa saat. Ribet, jadi lebih baik tidak usah mudik.
Ritma pun kemungkinan perlu mengurus surat izin keluar masuk (SIKM) jika mudik. Tahun lalu, warga wajib menunjukkan SIKM ketika masuk dan keluar DKI Jakarta, terutama pada masa mudik Lebaran. Saat itu, publik dapat mengurus perizinan SIKM secara daring. SIKM dikelola dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu (DPM PTSP).
”Mengurus dokumennya ribet. Begitu kembali ke kantor dari luar kota, kami perlu menunjukkan surat keterangan sehat dan harus bekerja dari rumah beberapa saat. Ribet, jadi lebih baik tidak usah mudik,” katanya.
Karyawan swasta, Santo (28), juga urung mudik ke Ambon, Maluku, tahun ini. Padahal, dia sudah mengajukan cuti Lebaran sejak Januari 2021. Rencana cuti tanggal 9-15 Mei 2021 terpaksa dibatalkan.
”Sebenarnya bisa cuti lebih awal untuk ke Ambon. Tapi, tujuan saya, kan, menghabiskan Lebaran bersama keluarga. Ada juga ketentuan karantina mandiri lima hari di kota tujuan. Kalau begitu, cuti saya bisa habis untuk karantina saja,” tutur Santo.
Ia pun memutuskan untuk bertemu keluarga setelah Lebaran. Ia memindahkan jadwal cuti dari Mei 2021 ke awal Juni 2021. ”Sudah tiga tahun Lebaran saya habiskan di Jakarta. Lebaran tahun ini mungkin saya habiskan bersama teman indekos dan menelepon keluarga serta teman,” katanya.
Adapun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mengkaji SIKM bagi warga yang hendak mudik. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengimbau warga untuk tidak mudik sebelum 6 Mei 2021 ataupun menyiasati larangaan mudik dengan mencari jalan tikus (Kompas, 17/4/2021).
”Kami masih mengkaji apakah bentuknya persis seperti SIKM atau ada bentuk lain,” katanya.
Tahun lalu, SIKM berlaku pada 15 Mei-17 Juli 2020. SIKM wajib ditunjukkan di titik-titik pengawasan arus mudik. SIKM saat itu dapat diurus secara daring di laman Corona.jakarta.go.id.
Sedikitnya ada 1,8 juta orang yang meninggalkan Jabodetabek tahun 2020 pada masa Lebaran. Sekitar 50.000 orang pergi menggunakan angkutan umum dan sisanya mudik memakai 465.500 kendaraan pribadi (Kompas, 29/5/2020).
Saat dihubungi terpisah, epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, mengatakan, SIKM yang berlaku hanya untuk penduduk Jakarta tidak efektif menahan laju penularan Covid-19. Sebab, selain SIKM, warga seharusnya diwajibkan membawa surat keterangan negatif Covid-19.
Ia menambahkan, tes antigen Covid-19 seharusnya jadi standar persyaratan yang harus dipenuhi publik. Ini berlaku bagi semua penumpang kendaraan, baik pesawat, kereta, bus, maupun kendaraan pribadi.
”Seharusnya buat semua moda transportasi. Menurut saya, peraturan (larangan mudk) tidak sempurna,” kata Tri.
Pengamat transportasi Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai, kebijakan untuk membatasi mobilitas warga pada masa pandemi perlu dibuat secara menyeluruh. SIKM sepatutnya berlaku tidak hanya pada masa Lebaran, tetapi juga sepanjang pandemi.
Menurut Djoko, larangan mudik dan SIKM saja tidak cukup. SIKM perlu diperkuat dengan kewajiban karantina mandiri dengan pantauan RT/RW di kota tujuan.
”Daripada melarang, lebih baik membuat peraturan yang membuat masyarakat berpikir (dua kali) untuk bepergian,” ujarnya.