Bayangan tentang nasib Jakarta muncul dari benak publik seiring pemindahan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan Timur. Ada asa dan cemas, tapi kita bisa berkaca pada negara yang melakukan langkah serupa sebelumnya.
Oleh
ADITYA DIVERANTA/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski sempat tertunda sejak diumumkan pada Agustus 2019, proyek pemindahan ibu kota negara nyatanya terus berlanjut. Dalam situasi pandemi Covid-19 sekalipun, pemindahan ibu kota ke sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur dipastikan akan dimulai dengan peletakan batu pertama istana presiden pada April 2021.
Bayangan tentang nasib Jakarta juga muncul dari benak publik seiring berjalannya pemindahan ibu kota negara (IKN). Ada asa serta cemas yang menyertai dalam progres itu, terutama terkait masa depan kota dengan penduduk 10,56 juta jiwa menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2020.
Berry Choresyo (27), warga Depok, Jawa Barat, yang rutin bekerja di Jakarta beberapa tahun terakhir melihat kemungkinan perlahan orang akan berpikiran mengadu nasib di ibu kota baru. Meski begitu, dia masih akan bertahan karena kelengkapan fasilitas serta layanan di Jakarta.
”Saya pikir fasilitas di Jakarta masih yang terlengkap, mulai dari mal, kuliner, toko musik, dan lain-lain. Karena hal ini pula, saya pikir banyak warga pendatang masih akan tertarik dengan Jakarta,” ujar pekerja di perusahaan teknologi pendidikan ini, Sabtu (3/4/2021).
Galih (33) yang lahir dan besar di Bambu Apus, Jakarta Timur, memandang Jakarta mungkin tidak banyak berubah setelah pemindahan IKN. Dia membayangkan rute perkantoran mungkin masih akan macet hingga beberapa tahun mendatang. Kepadatan di angkutan umum saat jam berangkat dan pulang kantor pun mungkin akan tetap menyusahkan.
Saya pikir fasilitas di Jakarta masih yang terlengkap, mulai dari mal, kuliner, toko musik, dan lain-lain. Karena hal ini pula, saya pikir banyak warga pendatang masih akan tertarik dengan Jakarta.
Di tengah bayangan persoalan tersebut, Galih berharap berbagai infrastruktur di Jakarta juga menjadi makin baik. Akses trotoar yang ramah pejalan kaki akan semakin luas, integrasi angkutan umum massal semakin baik, dan ruang publik diharapkan bertambah dengan alih fungsi gedung-gedung kosong yang ditinggal pindah pekerjanya ke ibu kota baru.
Dalam progres pemindahan IKN, ada pula kalangan aparatur sipil negara (ASN) yang bersiap mendapat jatah pemindahan personel. Dina (32), aparatur sipil negara di Kementerian Kesehatan, sudah mendengar rencana pemindahan ibu kota. Meski begitu, belum ada keputusan waktu dan mekanisme kepindahan di tempat kerjanya.
”Galau kalau harus pindah, tapi fasilitasnya belum memadai. Di sana (ibu kota baru) sudah ada tempat untuk tinggal atau belum, aksesnya (transportasi) juga bagaimana,” kata Dina.
Sama halnya dengan Bhayangkara Dua Vicky, anggota kepolisian dari Mabes Polri. Ia sudah mendengar kabar pemindahan meski belum tahu kapan tanggal persisnya. Informasi dari atasannya, mutasi atau perpindahan akan berlangsung ketika sarana dan prasarana telah siap.
”Kata atasan, mutasi anggota tunggu bangunan selesai dibangun. Tapi, itu (pembangunan) masih lama. Sebagai anggota, siap ditugaskan ke mana saja,” ucap Vicky.
Agustus tahun 2019 lalu, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, yang masih menjadi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, menyampaikan, satuan kerja Polri yang pindah ke ibu kota baru terdiri dari pimpinan institusi kepolisian dan staf pendukung, seperti sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta asisten operasi.
Tidak berubah
Meski ibu kota berpindah, kondisi Jakarta mungkin tidak akan banyak berubah. Guru besar tata ruang sekaligus Chairperson Department of Community and Regional Planning College of Agricultural, Life, and Natural Science Alabama A&M University, Amerika Serikat, Deden Rukmana, menilai seperti itu karena melihat kecenderungan serupa dari negara lain.
Deden melihat Jakarta perlu berkaca pada Lagos. Kota di Nigeria itu bernasib sama seperti Jakarta saat tidak lagi berstatus sebagai ibu kota dan digantikan oleh kota Abuja pada 1975 (Kompas, 23/8/1996). The New York Times pun mencatat, Murtala Mohammed, kepala negara pada masa itu, memutuskan pemindahan ibu kota dari Lagos ke Abuja karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah karena kepadatan populasi.
Lagos hingga 2020, menurut catatan Macrotrends, terhitung sebagai kota besar atau megacities dengan 14,3 juta penduduk. Lagos dan Jakarta sama-sama tergolong sebagai megacities dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa. Selain itu, Lagos juga mirip dengan Jakarta yang punya daerah pesisir.
Deden menyatakan, perjuangan kota Lagos hingga kini masih berkutat pada persoalan yang sama. Menurut dia, Lagos tetap padat meski setelah berpuluh tahun tidak lagi menjadi ibu kota. Sementara perkembangan di Abuja yang menjadi ibu kota saat ini juga terhitung lamban.
”Berkaca pada Lagos, saya yakin Jakarta akan tetap berkembang sebagai megacities, tidak tertutup kemungkinan menjadi lebih padat. Seiring dengan pemindahan IKN, orang mungkin akan berpindah peraduan nasib, tetapi prosesnya pasti sangat lamban,” ujarnya saat dihubungi, di Alabama, Amerika Serikat, Jumat (2/4/2021).
Menurut dia, Jakarta masih akan menghadapi berbagai masalah ketimpangan khas kota besar. Persoalan populasi penduduk, lingkungan, perumahan, hingga air bersih untuk masyarakat harus dijawab pada tahun-tahun mendatang.
”Tantangan Jakarta selanjutnya adalah mengelola pertumbuhan dan ketimpangan di kota besar. Persoalan penduduk, lingkungan, hingga perumahan dan air bersih yang mudah dijangkau, itu yang harus segera dituntaskan,” ujar penyunting buku The Routledge Handbook of Planning Megacities in the Global South ini.
Dari sisi bisnis, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi menyatakan, Jakarta masih akan menjadi tumpuan perekonomian selepas pemindahan IKN. Ke depan, Jakarta akan bergerak menuju kota bisnis yang menjadi pusat perdagangan dan niaga, pusat finansial, perbankan, dan riset internasional.
Tantangan Jakarta selanjutnya adalah mengelola pertumbuhan dan ketimpangan di kota besar. Persoalan penduduk, lingkungan, hingga perumahan dan air bersih yang mudah dijangkau, itu yang harus segera dituntaskan.
Menurut Diana, dampak yang akan terasa secara langsung oleh Jakarta adalah dengan adanya wacana pemindahan aparatur sipil negara tingkat pusat ke ibu kota baru. Hal ini akan mengurangi tingkat konsumsi dan berdampak ganda bagi beberapa sektor.
Setelah pemindahan IKN, secara berangsur-angsur industri padat karya akan meninggalkan Jakarta dan pindah ke beberapa kota di Jawa Barat dan Banten.
Hal itu membentuk kluster bidang-bidang usaha. ”Hal ini saya lihat sudah mulai terjadi dan akan meluas menjadi lingkup Greater Jakarta,” ujar Diana.
Sementara Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi, meyakini Jakarta akan terus berdenyut kendati tak lagi berstatus sebagai ibu kota. ”Jakarta sudah dari zaman dahulu sampai sekarang jadi kota bandar yang senantiasa dikunjungi banyak orang untuk berbagai tujuan. Salah satunya mengadu nasib untuk memperbaiki hidup,” ucapnya.
Perpindahan ibu kota baginya justru membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk lebih fokus membina budaya Betawi. Pemerintah bisa mulai dengan membina bahasa daerah serta membangun sekolah berbasis budaya dan kesenian.
Terlepas dari semua asa dan cemas, Jakarta sejauh ini bisa berkembang dengan melihat negara-negara yang telah lebih dulu melakukan pemindahan ibu kota. Jangan sampai kesalahan sama dari negara lain terulang, bagaikan keledai jatuh di lubang yang sama.