Antara Senang dan Khawatir Menyambut Ibu Kota Baru
Pembenahan menyeluruh, baik lingkungan nonperkotaan maupun perkotaan, menjadi pekerjaan rumah demi mewujudkan ibu kota baru yang berdampak baik bagi semua pihak.
Oleh
Sucipto/Dionisius Reynaldo Triwibowo/Neli Triana
·5 menit baca
Perubahan besar diperkirakan bakal terjadi di kawasan calon lokasi ibu kota negara baru di Kalimantan Timur. Warga bersukacita karena fasilitas publik yang selama ini diimpikan diharapkan bakal tersedia melimpah untuk mereka. Namun, cemas turut terbit karena takut kalah bersaing dengan pendatang baru. Di sisi lain, Kota Balikpapan dan Samarinda yang akan menjadi kawasan segitiga pengembangan baru bersama ibu kota baru masih diterpa masalah mendasar yang perlu solusi secepatnya.
Azmir (69) duduk di depan warung kelontongnya sambil mengobrol dengan tetangganya, Teguh Prasetyo (62), di RT 010 Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (11/3/2021). Kabar pemindahan ibu kota negara atau IKN yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2019 adalah angin segar bagi Azmir. Sebab, sejak 1979, pembangunan infrastruktur, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi dinilainya lambat masuk.
Tempat mereka tinggal terletak sekitar 300 meter dari PT ITCI Hutani Manunggal, kawasan hutan tanaman industri yang direncanakan pemerintah menjadi lokasi IKN baru. Pada Desember 2019, Presiden menengok menara pantau Bukit Soedarmono di kawasan PT ITCI Hutani Manunggal. Saat itu, jalan utama di Sepaku banyak yang berlubang. Kini, jalan sudah mulus sejak Kilometer 38 Samboja, Kutai Kartanegara, hingga pintu masuk PT ITCI Hutani Manunggal. Bersama Sepaku, Kecamatan Samboja dan Muara Jawa di Kutai Kartanegara akan berbagi lahan untuk IKN.
Kami mempersiapkan pengembangan sumber daya manusia dengan memberi Beasiswa Kaltim Tuntas untuk jenjang SD hingga perguruan tinggi. Pada 2020 dananya Rp 163 miliar untuk 20.202 warga. (Aswin)
Azmir ikut memimpikan desanya yang baru menikmati listrik pada 2016 itu akan menjadi kota besar. Ia disebut warga sekitar sebagai ”orang Paser” yang merujuk pada salah satu subsuku Dayak. Sebagai orang Dayak, ia biasa ke hutan mencari hasil hutan bukan kayu, seperti madu. Namun, sejak perkebunan sawit meluas di Kaltim, ia kemudian membeli beberapa bidang tanah lalu menanam sawit.
”Kami senang, tetapi enggak heboh. Saat ini, kami harap sertifikat tanah bisa diurus lebih cepat,” katanya.
Kehidupan warga mungkin semakin berubah kala desa-desa itu menjadi kota kelak. ”Pasti akan ramai di sini. Awal-awal pasti ada pekerjaan angkut-angkut untuk saya yang tidak lulus SD. Ke depan ya ndak tahu kerja apa,” kata Kamri (35), warga Kelurahan Pemaluan, Sepaku, yang juga keturunan Dayak Paser.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim pada 2019 berstatus tinggi, yaitu di angka 76,61. Rata-rata penduduk usia 25 tahun ke atas setara tamat SMP, sedangkan anak usia 7 tahun ke atas berpeluang menempuh pendidikan hingga diploma I.
Akan tetapi, ada sebagian dari total 3,77 juta penduduk Kaltim yang berpendidikan rendah dan minim keterampilan. Wajar jika ada kekhawatiran sebagian warga bahwa mereka bakal tergilas oleh sedikitnya 800.000-1,5 juta penghuni baru di wilayah IKN nanti.
Mengenai masalah ini, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kaltim Aswin, Senin (8/3/2021), mengatakan, pemerintah pusat berkomunikasi dengan Pemerintah Provinsi Kaltim dalam penyusunan dokumen rencana pemindahan IKN.
”Kami mempersiapkan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan memberi Beasiswa Kaltim Tuntas untuk jenjang SD hingga perguruan tinggi. Pada 2020 dananya Rp 163 miliar untuk 20.202 warga,” katanya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Selasa (2/3/2021), menjelaskan, sejak awal sudah ada identifikasi SDM dan diinventarisasi komposisinya. ”Mirip dengan Jakarta, suku Jawa terbanyak ada di Kalimantan Timur,” katanya.
Warga Kaltim disebut sangat heterogen dan mudah menerima pendatang. Menurut Suharso, masih ada waktu sekian bulan persiapan bagi masyarakat sekitar untuk menjadi tenaga pekerja lokal dalam konstruksi proyek fisik maupun kluster-kluster ekonomi yang akan dikembangkan.
Alam dan masyarakat
Selain itu, disusun pula kajian lingkungan hidup strategis dan rehabilitasi hutan, lahan, serta pemulihan ekosistem di sekitar calon lokasi ibu kota negara. Hal tersebut, menurut Suharso, disesuaikan dengan arah pembangunan Kalimantan untuk mempertahankan fungsinya sebagai jantung borneo dengan meningkatkan pelestarian lingkungan dan konservasi. Namun, pemerintah belum mengumumkan rincian rencana itu, seperti pohon apa saja yang akan ditanam untuk rehabilitasi lahan.
Suharso menambahkan, pengembangan wilayah IKN, terutama pengembangan kluster ekonomi industri bersih dan berkelanjutan, akan bertumpu pada kerja sama tiga kota, yaitu Balikpapan-IKN-Samarinda.
Namun, pengembangan segitiga Balikpapan-IKN-Samarinda tak berarti minim kendala. Secara kasatmata, Balikpapan dengan penduduk 688.318 jiwa dan Samarinda dengan 886.806 jiwa masih berkutat dengan isu perkotaan, di antaranya sistem drainase buruk dan lingkungan alam terusik. Akibatnya, antara lain, bencana banjir menjadi langganan.
Lahan yang rusak karena pembalakan liar hingga tambang ilegal memang mengakrabi sekitar kawasan pengembangan IKN. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat, di dalam kawasan yang akan dikembangkan menjadi IKN baru, ada 162 konsesi pertambangan, kehutanan, sawit, PLTU batubara, hingga properti. Sebanyak 158 dari 162 konsesi itu adalah konsesi batubara yang menyisakan 94 lubang tambang.
Meskipun demikian, harapan baik tetap tumbuh di benak masyarakat. Berjarak sekitar 95 kilometer dari menara pantau PT ITCI Hutani Manunggal di Sepaku, misalnya, warga suku Dayak Paser Mului di Kabupaten Paser berharap pemindahan IKN meningkatkan kualitas hidup mereka. Suku yang berdiam dan bergantung hidup di hutan adat seluas 7.722 hektar di kawasan Gunung Lumut itu kelak berpotensi menjadi bagian dari 256.142,74 ha area IKN.
Syahroni (53), salah satu warga suku Dayak Paser Mului, hanya meminta agar hutan adat mereka tidak diusik. Di hutan adat itu terdapat berbagai pohon khas, seperti ulin, meranti, kapur, ruwali, bungur, dan sungkai, untuk menjaga kualitas air dan tanah.
Antropolog Dayak dari Universitas Mulawarman, Simon Devung, mengungkapkan, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, usaha kayu, dan tambang sudah banyak merenggut hak masyarakat adat maupun warga lokal, jauh sebelum pemindahan IKN. ”Jangan terburu-buru, siapkan kebijakan yang melindungi hak-hak hidup masyarakat di sini. Lihat saja Betawi atau Aborigin di Australia, di mana mereka tinggal sekarang,” katanya.
Pembenahan menyeluruh, baik lingkungan nonperkotaan maupun perkotaan, menjadi pekerjaan rumah demi mewujudkan ibu kota negara baru yang berdampak baik bagi semua pihak.