Perantau dan Warga di Jabodetabek Hindari Mudik Lebaran
Lebaran bersama keluarga terdekat menjadi pilihan sebagian perantau yang tak bisa kembali ke daerah asal karena pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian perantau dan warga di Jabodetabek menghindari mudik Lebaran karena khawatir penularan SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Sebagai gantinya, bagi yang memilih tidak mudik, mereka akan berlebaran bersama keluarga terdekat. Ada pula yang akan mudik setelah H+7 Lebaran.
Pilihan tersebut dinilai paling aman di tengah belum terkendalinya situasi pandemi Covid-19.
Salah satunya Fino Valico Waristi (35), pegawai kementerian di Jakarta Pusat. Sama seperti tahun 2020, saat pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia, ia memilih di rumah saja ketika Lebaran ketimbang mudik ke Padang, Sumatera Barat, karena masih khawatir terhadap penularan Covid-19. Kalaupun bepergian, ia berencana hanya untuk mengunjungi keluarga terdekat di Jakarta.
”Saya tidak mudik. Lebih baik di rumah saja. Masih pandemi begini dan ada imbauan dari kantor untuk tidak bepergian yang jauh,” ujar Fino, Rabu (24/3/2021).
Pada 2020, pemerintah melarang mudik guna memutus mata rantai penularan Covid-19. Transportasi umum yang mengangkut pemudik dicegat dan diputarbalikkan kembali ke Jakarta. Warga yang melakukan mudik juga diwajibkan isolasi mandiri setibanya di kampung halaman.
Saya tidak mudik. Lebih baik di rumah saja. Masih pandemi begini dan ada imbauan dari kantor untuk tidak bepergian yang jauh. (Fino Valico Waristi)
Radiansyah Ramadhan (24), warga Tangerang Selatan, Banten, juga berencana hanya mengunjungi keluarga terdekat di Depok, Jawa Barat, saat Lebaran nanti. Keputusan itu berkaca pada pengalamannya Lebaran setahun lalu yang harus isolasi mandiri dan lebih banyak di rumah saja ketika mudik ke Tasikmalaya, Jawa Barat.
”Menurut rencana cuma ke rumah saudara di Depok. Untuk jalan-jalan atau liburan belum kepikiran karena harus tes usap antigen dan isolasi mandiri,” kata Radiansyah.
Baca juga: Mudik Lebaran 2021, Perjalanan Penuh Risiko
Berbeda dengan Abdullah (30), pedagang kopi keliling alias starling, pelesetan dari Starbucks keliling, di Jakarta Pusat ini. Ia tidak mudik ke Pamekasan, Madura, Jawa Timur, karena belum punya cukup uang. Omzetnya anjlok karena sepi pembeli semenjak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dari kisaran Rp 700.000 per hari di kondisi normal menjadi Rp 250.000 per hari.
”Ongkos naik bus ke sana (Pamekasan) Rp 1 juta. Itu sudah termasuk makan dan rokok. Pusing, lebih baik uangnya dikirim ke keluarga ketimbang habis di jalan,” ucap Abdullah.
Baca juga: Masyarakat Kembali Dianjurkan Tidak Mudik Saat Lebaran
Menghindari
Sementara itu, Muhamad Rendy (29), pekerja kantoran kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, bakal mudik Lebaran kali ini. Ia berencana pulang menggunakan kereta jarak jauh ke Jawa Tengah setelah H+7 Lebaran, persisnya pada akhir Mei.
Menurut dia, pada akhir Mei para pemudik sudah kembali ke Jakarta sehingga perjalanan ke luar kota tak begitu ramai. Dengan begitu, ia bisa menghindari kerumunan selama dalam perjalanan mudik sehingga risiko penularan Covid-19 lebih kecil.
”Akhir Mei kemungkinan perjalanan dan di kampung tak begitu ramai,” ujar Rendy.
Saat ini, pemerintah belum memutuskan bakal mengizinkan atau melarang mudik Lebaran seperti tahun 2020. Keputusan itu masih dalam pembahasan antara kementerian dan lembaga dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Belum melayani
PT Kereta Api Indonesia (Persero) belum melayani penjualan tiket untuk mudik Lebaran. PT KAI masih menunggu keputusan pemerintah terkait mudik.
Dihubungi di Jakarta, VP Public Relations PT KAI Joni Martinus menyebutkan, penjualan tiket mudik Lebaran masih dalam pembahasan di pemerintah. Sambil menunggu kepastian dari pemerintah, PT KAI tetap melayani pelanggan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat sesuai dengan aturan pemerintah, baik saat dalam perjalanan maupun berada di stasiun.
”Terkait angkutan Lebaran pada moda transportasi kereta api, masih dalam pembahasan. KAI akan mematuhi seluruh aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Satgas Covid-19 dan Kementerian Perhubungan,” kata Joni.
Baca juga: Soal Mudik, Menteri Kesehatan Minta Masyarakat Tunda Mobilitas
Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Marta Hadisarwono dalam acara kampanye keselamatan jalan di Terminal Tidar, Kota Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (20/3/2021), menganjurkan warga untuk menahan diri bepergian pulang kampung, termasuk saat mudik Lebaran. Risiko penularan Covid-19 saat melakukan perjalanan ke sejumlah daerah hingga kini masih tinggi (Kompas, 20 Maret 2021).
”Kondisi kesehatan setiap orang dalam perjalanan atau angkutan tidak bisa dipastikan. Terlihat sehat, setiap orang bisa berpotensi sebagai OTG (orang tanpa gejala),” ujar Marta.
Marta mengatakan, upaya mitigasi di jalan tetap dilakukan dengan pemeriksaan kondisi kesehatan pengguna angkutan. Salah satunya dengan deteksi Covid-19 melalui GeNose yang kini menjadi pemeriksaan wajib untuk pelaku perjalanan menggunakan kereta api. Tes GeNose juga sudah dilakukan bagi penumpang bus di sejumlah terminal.
Baca juga: Pertimbangkan Kembali Kebijakan Mudik Lebaran
Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, berpendapat, pemerintah daerah mesti memperhatikan beberapa indikator sebelum membuat kebijakan terkait mudik. Salah satu indikator itu adalah angka rasio positif (positivity rate) Covid-19 di suatu wilayah (Kompas, 20 Maret 2021).
”Kalau rasio positif lebih dari 10 persen, sebaiknya (pemda) jangan (memperbolehkan) mudik dulu,” kata Yunis.
Menurut dia, perlu juga diperhatikan potensi warga membawa pulang virus saat kembali dari daerah tujuan mudik. Itu bisa mengakibatkan kasus Covid-19 kembali melonjak seperti libur panjang hari raya keagamaan yang cenderung diikuti oleh lonjakan kasus positif Covid-19.
”Kalau sudah begitu, yang nanti harus membayar akibatnya, ya, masyarakat dan pemerintah daerah. Biaya penanggulangan Covid-19 itu jauh lebih mahal,” ucapnya.