Menanti Ide ”Out of the Box” Para Pemimpin Daerah
Kota-kota adalah pusat perubahan untuk mengatasi berbagai krisis. Kini, setelah setahun berlalu, pemerintah daerah perlu mengingatkan dirinya untuk bangkit dari dampak pandemi dengan berbagai inisiatif dan inovasi baru.
Pandemi mendesak setiap individu sampai negara untuk mengubah kebiasaan lama dalam menjalani hari, membuat rencana ataupun kebijakan dan program kerja, serta strategi untuk mencapai sesuatu dengan pendekatan yang benar-benar baru. Boleh dikatakan, budaya masyarakat di seluruh dunia didesak berubah dalam kurun masa singkat.
Desakan itu belum berbuah seperti harapan. Sekian lama memupuk, membentuk, dan menjalani budayanya, tidak heran jika masyarakat, juga para pemegang kuasa kebijakan publik, gagap untuk dapat mewujudkan kondisi normal baru di masa pagebluk ini.
Namun, dalam sejarah peradaban-peradaban dunia selama ribuan tahun, trauma perang, bencana alam, juga wabah terbukti dapat mengubah perilaku masyarakat dalam tempo lebih pendek. Di era modern ini, dengan bantuan teknologi, transfer informasi, dan pengetahuan begitu cepat, perubahan budaya pun logikanya makin cepat terjadi.
Meskipun demikian, negara-negara berkembang memiliki posisi lemah dibandingkan dengan negara maju dalam merespons berbagai tekanan. Jauh sebelum pandemi, bangsa-bangsa di belahan selatan yang rata-rata memang lebih miskin dibandingkan dengan yang di belahan utara Bumi, lebih dulu berkubang masalah dan terbentur keterbatasan akses, baik mengakses pengadaan dana maupun teknologi, untuk dapat melepaskan diri dari dampak perubahan iklim. Posisi tersebut menambah beban ketika harus berjuang mengatasi masalah berat di tahun hawar ini.
Sudah waktunya gubernur, wali kota, dan bupati menelurkan ide out of the box saling bersaing, tetapi juga bekerja sama untuk bisa menjawab berbagai permasalahan sekaligus.
Untuk itu, merujuk pada laporan Climate Change and Urbanization: Effects and Implications for Urban Governance oleh David Satterthwaite untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (2008), disebutkan bahwa mengatasi bencana global tidak lagi bisa bergantung pada kebijakan di tiap negara. Justru pemerintah daerah di tingkat kota ataupun provinsi menjadi ujung tombak karena bisa lebih lincah berinovasi dan mewujudkan program-program dalam lingkup wilayah lebih kecil sehingga mudah dikelola dengan tingkat keberhasilan tinggi.
Di masa wabah global ini, pemerintah daerah tetap diyakini lebih gesit melepaskan diri dari berbagai masalah.
Sebelum ”negara api” korona menyerang, di Indonesia sudah banyak contoh keberhasilan daerah membuat perubahan yang berdampak baik di tingkat nasional. Masih ingat, kan, pro kontra awal ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai menggulirkan pembangunan transportasi massal berbasis bus (bus rapid transit/BRT) bernama Transjakarta yang dikenal publik sebagai ”busway” pada 2004 lalu. Dalam 17 tahun, dengan dinamika yang jauh dari mulus, saat ini ”busway” memiliki 13 koridor utama dan banyak lagi layanan rute sempalan.
Baca Juga: Cara Medellin Menghapus Jejak Hitam Pablo Escobar
Sistem BRT Transjakarta kini diadopsi pemerintah pusat dan bekerja sama dengan pemerintah daerah lain, adik-adik busway Ibu Kota bermunculan di kota-kota lain. Masyarakat kian terbiasa dengan bus bersih bertiket murah meriah yang membawa mereka ke banyak sudut kota dengan aman dan nyaman. Transjakarta juga mulai menggunakan dan mengembangkan penggunaan bus bertenaga listrik yang kian ramah lingkungan.
Ada pula inisiatif pemimpin lokal, seperti di Surakarta di Jawa Tengah dan di Surabaya di Jawa Timur yang bisa disebut sebagai pihak yang lebih dulu mengenalkan taman-taman kota hijau yang bisa diakses gratis dan dilengkapi jaringan internet nirkabel. Tak lupa trotoar lebar yang membuat kaki leluasa melangkah. Pedagang kaki lima ditata dan menjadikannya mereka tuan di kota sendiri, bukan lagi dikejar-kejar ditertibkan aparat. Sukses membangun taman dan menata PKL membawa kota bergeser ke program-program lain guna makin memajukan kota.
Pemimpin daerah lain, seperti di Banyuwangi, Jawa Timur, sempat dikabarkan memilih lebih dulu fokus memperbaiki layanan kesehatan masyarakat sebelum meluas ke program-program lain untuk peningkatan kesejahteraan warga.
Dari kota-kota pionir itu, sejumlah kota lain di Indonesia tersulut untuk bergerak. Para pemimpin kabupaten/kota ataupun provinsi berlomba menelurkan program unggulan. Ada proyek kereta ringan perkotaan di Palembang, Sumatera Selatan, lalu replikasi penataan pasar, taman kota, hingga pusat kesehatan masyarakat yang makin modern di Sabang sampai Merauke. Memang hasilnya tidak selalu memuaskan, tetapi sudah ada langkah awal.
Baca Juga: Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
Sayangnya, virus korona jenis baru menggempur, yang para pemimpin daerah di negeri ini seperti mati kutu. Memang, saat ada hantaman telak, normal saja ketika terkaget-kaget, melemah, dan tidak berdaya. Namun, setelah satu tahun berlalu, pemerintah daerah perlu kembali mengingatkan diri untuk bangkit dengan berbagai inisiatif. Sudah waktunya gubernur, wali kota, dan bupati menelurkan ide out of the box saling berlomba sekaligus bekerja sama untuk bisa menjawab berbagai permasalahan sekaligus.
Di luar sana, kota-kota dunia mencoba lepas dari dampak pandemi ataupun perubahan iklim dengan menerapkan program-program pembangunan sekaligus mendorong perputaran ekonomi publik.
Kota Paris, Perancis, mengentak dengan pembangunan transportasi publik yang mengantisipasi datangnya pandemi berikutnya. Pada 2020, kota ini telah memulai melebarkan lagi trotoarnya, mengurangi lebar jalan untuk kendaraan pribadi, menambah armada serta cakupan layanan jaringan bus kota maupun kereta perkotaan, dan membuka lebih banyak akses untuk bersepeda. ”Kota 15 Menit” menjadi predikat baru ibu kota Perancis ini dengan target setiap warga dari rumah atau tempat kerjanya maksimal 15 menit untuk mencapai halte, stasiun, pusat layanan kesehatan terdekat, pasar, juga taman kota.
Kota London, Inggris, merangkul konsep yang kurang lebih sama dengan Paris, tetapi lebih menekankan pada penambahan jalur hijau demi menuju menjadi Kota Taman Nasional (London National Park City). Program ini bertujuan untuk mendorong lebih banyak orang menikmati alam bebas dan mendukung semua warga ibu kota Inggris, serta bisnis dan institusi kota, membuat kota lebih hijau, lebih sehat, dan lebih alami.
Di masa serba tak pasti ini, pemimpin yang mau maju bersuara dengan ide dan mimpinya serta menawarkan harapan akan membawa semangat positif yang mendorong perubahan baik yang lebih cepat bagi seluruh negeri.
Kota Amsterdam di Belanda memilih mengusung pembangunan ekonomi perkotaan sirkular dengan nama Kota Donat. Area urban yang dikenal dengan dominasi pesepeda dan kanal-kanalnya ini mengutamakan mereduksi jejak karbon warga kota dengan menerapkan semaksimal mungkin mendaur ulang, mulai dari pakaian sampai bahan bangunan. Mereka mencanangkan ada usaha-usaha baru berupa industri bersih di kotanya yang tidak hanya membuat wilayahnya ramah lingkungan, tetapi juga secara ekonomi tetap mapan.
Di China, bencana alam bertubi juga pandemi membuat mereka makin kukuh beralih ke industri bersih, seperti rencana menghentikan penggunaan batubara sebagai sumber energi industrinya dan memasang target bebas karbon pada 2060. Seiring itu, puluhan kawasan urban menerapkan konsep kota spons dalam merevitalisasi sebagian areanya atau dalam membangun perluasan wilayahnya.
Kota spons merujuk pada membangun kawasan selaras dengan daerah aliran sungai (DAS) alami dan membiarkan air berlama-lama di tempatnya agar bisa merasuk ke dalam tanah. Selain lebih sehat seiring makin banyaknya kawasan hijau di tepian aliran sungai, banjir dan krisis air bersih perkotaan dapat diatasi.
Melihat Paris, London, Amsterdam, dan kota-kota di China, pelajaran yang dapat dipetik adalah ketegasan pemerintah daerah dalam menelurkan ide mengatasi pandemi ataupun isu perkotaan lain agar kotanya berkelanjutan. Dengan program yang jelas target dan cara mencapainya, didukung pemerintah pusat dan warga kota, bukan hal sulit untuk diraih. Mereka juga bisa mengolah programnya menjadi kegiatan-kegiatan ekonomi baru berkelanjutan yang menggeser pola ekonomi lama yang cenderung eksploitatif dan berisiko bagi masa depan.
Baca Juga: Raih Peluang Setangguh Kerbau Logam
Apa yang terjadi di kota-kota rujukan dunia itu sekali lagi mengingatkan pada sepak terjang Joko Widodo semasa menjadi Wali Kota Surakarta, juga Tri Rismaharini saat menjabat Wali Kota Surabaya. Indonesia membutuhkan lagi lahirnya pemimpin-pemimpin lokal ”muda dan berbahaya dalam arti positif” dengan ide-ide baru yang orisinal sesuai kondisi dan kebutuhan area perkotaan yang memang berbeda-beda dari ujung timur hingga di ujung barat di Indonesia.
Di masa serba berkabut ini, pemimpin yang mau maju dengan ide, mimpi, dan menawarkan harapan akan membawa semangat positif. Itu juga yang akan mendorong perubahan baik yang lebih cepat bagi seluruh negeri. Tak ada kata terlambat untuk memulai.