”Panic at The Toilet” di Kapal Baruna Jaya IV
Meliput di medan yang tak biasa, persiapan tak hanya soal materi penunjang berita. Informasi seperti cara menggunakan toilet juga penting agar tak dilanda kepanikan dan terjebak satu jam memandangi kloset.
Ini kisah tentang saya dan toilet di sebuah kapal laut canggih yang pernah saya temui: Kapal Riset Baruna Jaya IV. Namun, sebelum saya berkisah tentang toilet, ada baiknya saya menceritakan dulu tentang upaya kapal ini dalam mencari kotak hitam pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang hilang di perairan Kepulauan Seribu.
Kapal Baruna Jaya IV adalah satu dari empat kapal buatan Perancis milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Kapal ini dibeli pemerintah khusus untuk kepentingan riset kelautan Nusantara.
Sebagai gambaran kecanggihannya, kapal inilah yang menemukan sinyal kotak hitam pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 31 Oktober 2018. Kemampuan kapal ini didukung keberadaan USBL (ultrashort base line) sebagai pendeteksi awal keberadaan kotak hitam.
Pada tahun yang sama, peralatan canggih yang ada di Kapal Riset Baruna Jaya IV, yaitu ROV (remotely operated vehicle), berhasil menemukan KM Sinar Bangun yang tenggelam di dasar Danau Toba, Sumatera Utara. Robot bawah laut ROV ini memiliki kemampuan menyelam hingga kedalaman 1.000 meter.
Di kapal canggih inilah, saya dan sejumlah wartawan lain menumpang untuk meliput proses pencarian kotak hitam pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh pada 9 Januari 2021.
Baca juga: Robot Bawah Laut Kembali Diterjunkan Mencari CVR SJ-182
Saya berada di Kapal Baruna Jaya IV selama tujuh hari sejak 12-18 Januari 2021. Kami berlayar dari Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman dan tiba di lokasi pencarian atau titik jatuhnya pesawat pada 12 Januari sekitar pukul 12.00.
Saat tiba, tim pencarian masih terus mempersiapkan berbagai peralatan yang akan digunakan. Tim beranggotakan total 40 orang dengan 20 orang di antaranya kru dan 20 orang lainnya tim engineering dengan peran dan keahlian masing-masing.
Sekitar pukul 14.00, suasana yang ramai dengan kesibukan sejak kapal berangkat hingga kapal memasang jangkar di lokasi jatuhnya pesawat tiba-tiba berubah. Anggota tim terlihat berkumpul di salah satu sudut dek kapal dan tampak berdiskusi serius.
Baca juga: Disangka Korban Prostitusi yang Kabur
Kami, para jurnalis, menduga kalau kotak hitam sudah ditemukan. Temuan itu tentu saja bukan dari Baruna Jaya IV lantaran peralatan di kapal ini belum digunakan. Dugaan kami benar. Pada pukul 16.00, kami mendapat kabar kotak hitam telah ditemukan tim penyelam dari Kopaskal Armada I TNI Angkatan Laut.
Dari informasi yang kami peroleh, kotak hitam yang ditemukan merupakan bagian dari rekaman data penerbangan atau FDR. Sementara, rekaman percakapan di kokpit (cockpit voice recorder/CVR) belum ditemukan. Ini artinya, misi pencarian kotak hitam masih berlanjut.
Dari hasil wawancara saya dengan Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT Djoko Nugroho, pencarian CVR sebenarnya bisa dikatakan misi yang mustahil. Ini karena perangkat underwater locator beacon dari CVR yang memancarkan sinyal bunyi ditemukan terpisah sehingga pencarian CVR yang sebesar gelas minum ini harus mengandalkan kemampuan visual dari robot bawah laut (ROV).
Baca juga: Operasi Pencarian CVR dan Korban Sriwijaya Air SJ-182 Terus Dilanjutkan
ROV memiliki kemampuan melacak secara detail setiap benda yang ada di dasar laut. Kerjanya dikendalikan oleh alat kontrol jarak jauh. Robot ini juga dilengkapi dengan kamera yang mampu mengidentifikasi setiap obyek atau benda yang ditemukan di dasar laut. Meski begitu, kerja ROV perlu dibantu oleh perangkat USLB untuk mendeteksi keberadaan kotak hitam, dalam hal ini CVR yang belum ditemukan.
”Kita tahu bahwa CVR yang dicari ini sudah tidak ada beacon-nya. Jadi, CVR tidak lagi memancarkan sinyal. Karena itu, bisa dikatakan misi ini impossible atau seperti mencari jarum di tumpukan jerami,” kata Djoko.
Meski sulit, Kapal Baruna Jaya IV tetap bekerja siang dan malam menggunakan teknologi ROV untuk mencari kotak hitam itu. Hingga 18 Januari saat Kapal Baruna Jaya IV harus kembali bersandar di Pelabuhan Muara Baru, CVR kotak hitam SJ-182 masih belum ditemukan.
Baca juga: Berburu Harimau Lepas yang Menerkam Penjaga
Gagap toilet
Bukan hanya teknologi peralatannya, toilet kapal ini pun boleh dibilang canggih bagi saya yang gagap teknologi. Karena itu, tentu saja saya tak ingin menemui kendala ketika suatu saat nanti perut bergejolak dan memerlukan toilet.
Saya mengantisipasinya dengan banyak-banyak menyerap informasi tentang toilet. Terlebih setelah mendengar kisah Bang BT, kamerawan TV One, yang mengungkapkan dirinya terpaksa harus berlama-lama di toilet karena kerepotan mengoperasikan keran.
”Bro, cara mengoperasikan keran toilet tuh bagaimana sih? Gue 30 menit di dalam, tetapi kotoran tidak kunjung bersih?” kata Bang BT.
”Abang putar keran merah sedikit saja. Nanti toilet menyedot kotorannya,” timpal wartawan detik.com.
Baca juga: KR Baruna Jaya IV Gunakan ROV Cari Kotak Hitam Sriwijaya Air
Mendengar itu, saya berusaha mengingat-ingat ”rumus bertoilet” tersebut. Saya juga mengantongi informasi lain dari hasil ngobrol dengan wartawan lain yang sudah menggunakan toilet. Keran berwarna hijau untuk menyiram kotoran dan keran merah berfungsi menghasilkan udara untuk menyedot kotoran.
Sejak awal sebenarnya kami sudah diingatkan oleh seorang awak kapal bahwa toilet di Kapal Baruna Jaya IV ini sensitif. Saya hanya merespons sekenanya meskipun belum paham detail makna sensitif tersebut. Yang saya ingat, kami dilarang membuang benda asing ke kloset.
Akhirnya, kebagian juga saya pengalaman kurang enak pada hari kedua berada di kapal. Perut saya terasa bergejolak. Saya bergegas ke toilet canggih itu. Ini bakal menjadi pengalaman pertama saya.
Baca juga: Belajar Berbagi dan Menjadi Tangguh di Tengah Bencana
Meski tak luas, hanya 1 meter x 1 meter, toilet itu cukup nyaman laiknya toilet di pesawat. Ada dua keran melengkapi. Setelah lega mengeluarkan isi perut, tiba waktunya mempraktikkan ”rumus bertoilet” di Kapal Baruna Jaya IV.
Tak ada benda asing yang saya buang ke kloset. Aman. Saya amati dua keran di atas kloset. Keran merah saya putar sedikit ke atas. Tak terjadi apa-apa sampai beberapa detik. Saya tak ingin seperti kucing yang buang air sembarangan di atas kasur. Misi buang air secara manusiawi harus tuntas.
Saya coba kali ini memutar keran merah ke bawah. Seperangkat alat canggih itu tetap bergeming. Saya lakukan hal itu berulang kali tetapi tak terjadi apa-apa. Akhirnya saya memberanikan diri memutar keran hijau. Sambil garuk-garuk kepala kebingungan, keringat mulai bercucuran.
Baca juga: Kemampuan Teknologi di Balik Kredibilitas Tinggi Baruna Jaya
Air sempat mengalir ke kloset saat saya putar salah satu keran. Namun, ternyata tindakan itu kemudian menimbulkan masalah baru. Bukannya surut, air di kloset malah semakin bertambah volumenya. Tangan saya gemetar lalu dengan panik memutar asal-asalan kedua keran. Beruntung, aliran air kemudian berhenti dan isi kloset belum sampai meluber.
Setelah terus mencoba, tiba-tiba alat penyedotnya berfungsi dan hanya butuh waktu kurang dari satu menit klosetnya kembali bersih. Lega, tetapi persoalan lain tiba.
Setelah kloset bersih, penyedotnya masih terus bekerja. Sedotannya berbunyi kian nyaring karena tak ada lagi benda yang bisa disedot. Bunyinya mirip petasan yang meletus bertubi-tubi.
Baca juga: Acungan Senjata dan Rindu Dendam di Myanmar
Saya panik, takut jika terus seperti itu, lama-lama klosetnya bisa meledak! Saya berlari keluar untuk mencari pertolongan. Salah satu kru kapal dengan santai menyarankan saya untuk memutar kran berwarna merah.
”Putar saja keran warna merah. Sedikit kuat, ya, Mas, karena kadang diputar pun tak jalan,” katanya.
Baca juga: Baruna Jaya Temukan 34 Titik Puing Pesawat SJ-182
Masih setengah panik, saya memutar keran itu sekuat tenaga. Bunyi letupan berhenti seketika. Saya lihat jam di gawai, ternyata sudah sekitar satu jam saya habiskan di toilet canggih itu. Sialnya, pengalaman itu saya alami kembali saat ke toilet pada hari ketiga dan keempat!
Pengalaman tujuh hari bersama Kapal Baruna Jaya IV mengajarkan saya hal penting. Untuk meliput di medan yang tak biasa, persiapan tak melulu soal data dan informasi awal penunjang berita. Saya juga perlu belajar menggali informasi lain, salah satunya cara menggunakan toilet agar tak perlu dilanda kepanikan dan terjebak satu jam memandang nanar ke arah kloset.