Belajar Berbagi dan Menjadi Tangguh di Tengah Bencana
Meliput di daerah bencana, seperti gempa Majene dan Mamuju, mempertemukan saya dengan orang-orang berhati mulia yang tegar dan tak kehilangan semangat untuk tetap saling menolong dan menguatkan di tengah situasi sulit.
Menghabiskan 10 hari meliput dampak gempa di Majene, Sulawesi Barat, saya menemukan banyak penyintas yang tetap tangguh, tegar, dan mau menolong di tengah kondisi mereka yang juga patut ditolong. Mereka yang membantu walau juga layak dibantu.
Hari masih gelap, Minggu (24/1/2021), saat saya meninggalkan Mamuju. Sebenarnya wilayah liputan saya Majene karena saya berbagi tugas dengan rekan saya, Videlis Jemali, wartawan harian Kompas yang berbasis tugas di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Videl—begitu kami memanggilnya—yang meliput di Mamuju. Berbagi wilayah tugas ini tidak saja agar semua wilayah bisa dijangkau, tetapi beberapa hari pertama pascagempa, jalur Majene-Mamuju terputus oleh longsor di beberapa lokasi.
Liputan hari kesembilan di perbatasan Majene-Mamuju pada Sabtu membuat saya memutuskan masuk Mamuju dan menginap.
Sudah beberapa hari saya merasa ada gangguan di perut. Salah satunya gangguan mag. Namun, ada sakit lain yang tidak terkait urusan lambung. Minggu pagi itu sekitar pukul 05.30 Wita, saat meninggalkan Mamuju, sakitnya makin menjadi. Rasanya duduk ataupun berdiri jadi tak nyaman.
Baca juga : Bertemu Para Malaikat Penolong di Lokasi Gempa Mamuju
Selama liputan, saya memang menempuh perjalanan cukup panjang. Saya menginap di kota Majene dan setiap hari saya meliput di wilayah Kecamatan Malunda dan Ulumanda. Jarak kota Majene ke Malunda lebih dari 90 kilometer. Artinya, hampir setiap hari saya menempuh perjalanan bolak-balik lebih dari 180 kilometer.
Sebenarnya dalam liputan ke Majene, saya membawa tenda, kompor, dan beragam perlengkapan luar ruang lainnya. Namun, kondisi di Malunda dan Ulumanda yang menjadi episentrum gempa tidak memungkinkan saya menginap di sana.
Saat pertama kali tiba, sebagian jaringan listrik masih putus, jaringan internet juga terganggu. Air bersih dan MCK juga jadi masalah. Saat itu, perkampungan dan desa-desa di Malunda, Ulumanda, Tubo Sendana, dan beberapa kecamatan lain layaknya desa mati ditinggal warganya mengungsi.
Maka, saya memutuskan menginap di kota Majene dan memilih bolak-balik Malunda dan Ulumanda hampir setiap hari. Agaknya ini yang membuat sakit di perut saya menjadi makin parah.
Baca juga : Warga Mengungsi, Korban Jiwa Gempa di Sulbar Masih Didata
Minggu pagi itu, saat meninggalkan Mamuju, adalah hari terakhir saya bertugas meliput gempa. Jelang lepas dari kota Mamuju, tepat di jalan poros, saya melihat sebuah warung kecil. Agak berantakan dengan barang di sana-sini. Saya minta Akbar yang menyetir mobil untuk singgah. Selama liputan, saya memang hanya ditemani Akbar, anggota staf bagian rumah tangga di kantor. Biasanya saat liputan luar kota, Akbar pula yang merangkap menjadi sopir.
Seorang ibu tampak sibuk membereskan dapur sembari menyiapkan air panas untuk seorang pengunjung lain.
Sakit perut yang tak tertahan membuat saya langsung berbaring di sebuah bangku kayu panjang setelah meminta segelas teh. Ibu pemilik warung bernama Eny itu juga menawarkan mi instan. Saya sebenarnya tidak lapar, tetapi saya mengiyakan saja.
Melihat saya berbaring, dia lalu menanyakan kondisi saya. Saya menjelaskan sembari tetap berbaring menahan sakit. Saya juga menjelaskan kegiatan saya bolak-balik Majene-Malunda-Majene.
”Mungkin kandungan Ibu turun karena kerja berat. Coba nanti saya lihat, ya. Saya urut, barangkali bisa enakan,” kata Eny.
Saat duduk dan menikmati teh panas, saya melihat sekeliling. Warung itu berada di sebuah teras rumah. Seluruh bangunan rumah sudah ambruk. Hanya teras itu dan dinding retak yang tersisa. Di teras itu terdapat barang-barang dari dalam rumah. Tiga anak Eny, yang duduk di bangku SMA dan SMP serta satu masih balita, tidur di atas dipan di antara tumpukan pakaian.
Di dinding retak di salah satu sisi teras, saya melihat baliho bertuliskan ”Melayani pijat refleksi, stroke, reumatik, dan pijat penyembuhan lainnya”. Saya jadi sadar mengapa Bu Eny menawarkan untuk memijat saya.
Saya kemudian bertanya tentang kondisi rumahnya yang hancur. Eny menuturkan bagaimana gempa membuat mereka yang tengah tidur subuh itu seperti terangkat. Lantai rumah pecah, dinding ambruk.
Baca juga : Warga Masih Bertahan di Pengungsian
”Beruntung kami semua langsung sadar dan keluar. Alhamdulillah tidak ada yang luka. Beruntung juga teras tak ikut ambruk sehingga kami semua masih bisa tidur disini, tak perlu ke tenda pengungsian. Saya juga masih bisa tetap membuka warung,” katanya sembari tersenyum.
Eny bercerita, pascagempa, hari itu juga dia mengambil barang yang masih bisa diselamatkan, termasuk panci dan piring. Keesokan harinya, dia mulai membuka warung. Hal semacam itu tidak banyak dilakukan penyintas, terutama pemilik warung, pascagempa. Bahkan, hingga hari kesepuluh pascagempa, di sepanjang jalan poros Majene-Mamuju, terutama di kecamatan terdampak, hanya ada satu-dua warung yang buka. Selebihnya hanya ada tenda-tenda pengungsian atau posko-posko logistik.
Daripada meratapi rumahnya yang hancur dan menunggu pembagian logistik yang kacau dan tidak merata, Eny memilih membuka warungnya. Dia sendiri pun sebenarnya ragu apakah akan ada yang singgah. Namun, sebagaimana keyakinannya, rezeki tidak ke mana, memang ada saja sukarelawan atau orang-orang yang membawa bantuan singgah ke warungnya.
Saat hari beranjak terang, saya melihat tulisan posko pengungsi yang ditulis dengan arang di atas papan tipis bekas dari reruntuhan. Papan ini disimpan di sudut terasnya, agak keluar ke tepi jalan. Saya bertanya tentang papan bertuliskan posko pengungsian itu.
”Ada tetangga saya, enam keluarga. Semua punya anak. Salah satunya orang buta yang punya enam anak. Rumah mereka semua hancur dan mereka pasang tenda agak jauh dari sini. Mereka jarang dapat bantuan. Jadi, jika ada yang berbaik hati mau memberi, saya tampung di sini, lalu mengantarkan kepada mereka. Kadang kami panggil untuk menjemput bantuan jika ada,” kata Eny.
Saya lalu ingat di mobil masih ada beberapa kardus biskuit, gula, minyak goreng, beras, selimut, air mineral, hingga susu bayi. Sepanjang Jumat, saya menemani tim Dana Kemanusiaan Kompas berkeliling membawa bantuan.
Baca juga : Bantuan Pembaca ”Kompas” Disalurkan untuk Penyintas Gempa Majene
Ada empat mobil boks besar yang penuh berisi bantuan dan kami distribusikan di sepuluh lokasi pengungsian. Saya meminta beberapa barang untuk saya simpan di mobil. Tujuannya, akan saya serahkan di tempat pengungsian yang jumlah penyintasnya tidak banyak. Pikir saya, akan saya turunkan saja dan menitip sisa bantuan itu di rumah Bu Eny untuk tetangganya.
Pijat gratis
Singkat cerita, seusai minum teh, Ibu Eny mengajak saya ke bangunan lain di samping teras yang agak tertutup. Di sanalah dia memijat saya. Semula saya pikir dia hanya akan memijat bagian perut. Rupanya kaki, tangan, dan kepala saya pun dipijatnya.
Saya tiba-tiba ingat, uang di dompet saya hanya tersisa Rp 40.000. Pagi itu, saya tidak sempat singgah ke ATM. Saya merasa tidak enak hati karena tak punya uang lagi untuk membayar biaya pijat urut.
Saya lalu iseng bertanya berapa biasanya dia mematok jasa pijat. Di luar dugaan, jawabannya membuat saya terharu.
”Tidak pernah saya patok harga, Bu. Seikhlasnya orang memberi. Saya beruntung diberi kemampuan memijat dan saya niatkan untuk mengobati. Kalau ada yang kasih, alhamdulillah. Jika tidak, tidak apa-apa. Toh, saya masih ada pemasukan dari warung. Kalau saya patok harga atau mengharuskan dibayar, nanti tidak berkah dan bisa jadi pijatan saya tidak lagi menyembuhkan,” katanya.
Pagi itu, saya melihat ada beberapa orang yang singgah. Tampaknya kerabat atau kenalan Bu Eny. Ada yang diurut di bagian pundak, lengan, atau kepala. Semua dilakukan di warung dan yang dipijat duduk di bangku panjang. Tidak seorang pun yang saya lihat memberi uang kepada Eny.
Merasa agak enakan seusai dipijat, segera saya mengeluarkan sisa logistik yang ada di mobil. Ibu Eny kaget tentu saja. Saya jelaskan untuk menitip bantuan itu kepada dia untuk diserahkan kepada tetangganya.
Dia terisak sembari mendoakan saya. Segala doa baik dia rapalkan. Berkali-kali dia berterima kasih. Dia meminta anaknya memanggil tetangga yang dia sebutkan itu. Satu per satu mereka datang dan dia membaginya sesuai kebutuhan dan jumlah keluarga. Dia semakin meneteskan air mata saat saya mengatakan bahwa dia juga punya jatah pada bantuan itu.
”Terima kasih, Bu. Maaf sebenarnya bukan saya tidak butuh, tetapi tetangga saya lebih perlu. Mereka sekarang sama sekali tidak ada pemasukan. Saya masih ada hasil dari warung,” katanya.
Saya memaksa dia menerima dan mengatakan itu untuk anak-anaknya. Usai segala urusan membagi bantuan dan menghabiskan teh, saya akhirnya bersiap jalan. Saya bertanya harga minuman dan mi instan yang sudah saya nikmati.
Namun, Ibu Eny tidak mau menerima pembayaran. Dia menyembunyikan wajahnya dalam hijab panjang yang dia kenakan. Dia terisak lagi.
”Ibu sudah membantu saudara-saudara saya. Tidak pantas saya minta bayaran untuk yang Ibu makan. Jangan dibayar, Bu,” ujarnya.
Saya lalu menjelaskan, urusan makan di warung dan urusan bantuan adalah dua hal terpisah. Berkali-kali saya menjelaskan hingga dia pasrah menerima uang dari saya, Rp 30.000 untuk segelas teh, segelas kopi, dan dua mangkuk mi telur. Itu sesuai harga di warungnya.
Saat saya meminta maaf karena tidak punya uang untuk mengganti jasa pijat, kali ini Eny langsung memeluk saya, sesenggukan sembari berkata bahwa sejak awal dia tak pernah berpikir meminta uang jasa kepada saya. Dia bahkan bersumpah menawarkan memijat saya sekadar ingin menolong dan tidak tega melihat saya terbaring kesakitan di bangku panjangnya.
Bukan hanya Eny yang tegar dan mau menolong di tengah kondisi sulit yang dialami. Di Desa Kabiraan, salah satu desa terisolasi pascagempa, warga yang hingga hari kelima masih sulit mendapat bantuan juga memilih saling bantu untuk tetap bertahan.
Pengungsi di Desa Kabiraan menempati halaman sekolah dan jalan desa. Di sini, semua warga berkumpul pascagempa. Hingga sepekan pacagempa, malam-malam di desa ini adalah malam panjang yang gelap gulita. Puluhan tiang listrik roboh dan terbawa longsor.
Baca juga : Meniti Tebing dan Jurang Majene demi Kemanusiaan
Beberapa hari tidak mendapat bantuan, warga desa sepakat mengeluarkan cadangan apa pun yang mereka punya. Pemilik kios atau warung juga mengeluarkan semua stok jualan mereka.
”Kami kumpul dan itu yang kami nikmati bersama selama beberapa hari sebelum ada bantuan. Tak ada lagi hitung-hitungan. Bagi kami, berada di desa yang sangat dekat dengan pusat gempa dan semua bisa selamat, itu adalah anugerah. Kami berusaha bertahan bersama,” tutur Jalaluddin (40), warga yang rumahnya hancur total.
Di Malunda, beberapa penyintas yang rumahnya hancur memilih menjadi sukarelawan. Mereka berjuang mencari bantuan untuk warga yang berada di wilayah terisolasi. Tidak peduli bantuan itu harus dipikul melewati jalan yang penuh lumpur dan bebatuan material longsoran.
Jasman salah satunya. Pemuda ini memilih menjadi sukarelawan di wilayah terpencil di Ulumanda. Rumahnya hancur dan keluarganya mengungsi di Malunda. Merasa keluarganya sudah aman menempati tenda pengungsian, dia berpindah ke Ulumanda dan membantu warga di desa terisolasi.
Ibu Eny di Mamuju, Jalaluddin dan warga Desa Kabiraan lainnya, hingga Jasman sungguh membuat saya banyak belajar tentang keikhlasan, tidak cengeng, tidak egois, berbagi di saat sulit, dan bangkit di saat jatuh.
Dalam perjalanan pulang ke Makassar, saya masih terbayang Bu Eny. Saat saya pamit, dia terus mendoakan saya selamat di perjalanan, diberi kesehatan dan kebahagiaan, ditambahkan rezeki, dan segala doa baik. Doa-doa baik yang juga saya balas dengan doa yang sama.