Kemampuan Teknologi di Balik Kredibilitas Tinggi Baruna Jaya
Kapal Baruna Jaya IV menunjukkan kredibilitas tinggi dalam pencarian obyek bawah laut. Tujuh jam beroperasi, kapal riset ini berhasil menemukan 34 titik puing pesawat SJ-182.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Tujuh jam beroperasi, Kapal Riset Baruna Jaya IV berhasil menemukan 34 titik puing pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di dasar laut perairan Kepulauan Seribu. Serpihan yang ditemukan Baruna Jaya rata-rata berupa puing-puing besar yang belum tersentuh para penyelam.
Keberhasilan Baruna Jaya IV dalam operasi pencarian puing pesawat Sriwijaya SJ-182 selama tujuh jam mulai Rabu (13/1/2021) pukul 19.00 sampai Kamis (14/1/2021) pukul 02.00 tak terlepas dari kemampuan teknologi yang dimiliki kapal tersebut. Tugas utama Baruna Jaya IV adalah mencari perekam suara kopkit (CVR) yang belum ditemukan. CVR merupakan salah satu bagian dari kotak hitam pesawat, selain perekaman data penerbangan atau FDR.
Pencarian CVR dinilai merupakan misi sulit lantaran perangkat sinyal CVR atau underwater location beacon (ULB) sudah terlepas sehingga sulit terdeteksi. Oleh karena itu, pencarian CVR mengandalkan teknologi visual dengan kemampuan tinggi mengidentifikasi setiap obyek di dasar laut.
Menjawab tantangan itu, Baruna Jaya IV mengandalkan teknologi robot bawah laut (ROV) yang memiliki kemampuan menyelam hingga kedalaman 1.000 meter. ROV dilengkapi kamera yang memiliki kemampuan merekam setiap obyek bawah laut hingga radius 5 meter.
ROV dioperasikan menggunakan sistem kendali jarak jauh. Saat diterjunkan ke dasar laut, tim Baruna Jaya IV memantau setiap pergerakan ROV melalui layar monitor.
ROV juga bisa beroperasi di malam hari karena dilengkapi dengan lampu sorot. Keberhasilan ROV mengidentifikasi 34 puing pesawat Sriwijaya SJ-182 itu pun dilakukan pada malam hari.
Menurut nakhoda Kapal Baruna Jaya IV, Anwar Latief, Baruna Jaya IV bisa beroperasi di tengah laut selama 22 hari. Kapal itu memiliki kecepatan 7 sampai 8 knot saat berlayar di laut lepas.
”Baruna Jaya IV memiliki panjang 60,40 meter. Beratnya sekitar 1.400 gros ton,” ucap Anwar, Kamis, di Baruna Jaya IV.
Sejarah Baruna Jaya
Kredibilitas tinggi Baruna Jaya dalam mencari dan menemukan obyek bawah laut tak terlepas dari peran Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) saat itu, Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia menginisiasi Program Baruna Jaya pada 1980 dengan maksud menginventarisasi potensi sumber daya laut yang ada di Indonesia.
”Wilayah Indonesia itu sepertiganya adalah lautan. Indonesia juga diapit oleh dua samudra besar, bagian barat itu Samudra Hindia dan di bagian timur Samudra Pasifik. Jadi, beliau (Habibie) sangat tahu sekali kemandirian dalam riset sangat diperlukan di Indonesia. Saat itu riset kelautan di Indonesia memang sedikit sekali,” kata Ketua Tim Survei Baruna Jaya IV Adam Budi Nugroho.
Setelah Habibie menginisiasi Program Baruna Jaya, lima tahun kemudian, Pemerintah Indonesia melalui BPPT menandatangani kontrak pengadaan KR Baruna Jaya I, II, dan III dengan Ateliers et Chantiers de la Manche (ACM), Perancis. Kontrak pengadaan ditandatangani pada 11 Februari 1985. Dalam penandatanganan adendum kontrak pada 1986, ketiga kapal riset tersebut masing-masing didedikasikan untuk kepentingan riset oseanografi, hidrooseanografi, dan multipurpose geologi-geofisika.
”Tiga kapal riset ini didatangkan pada 1991. Teknologi yang dimiliki dinilai sangat modern pada zamannya dan sangat diperlukan sekali untuk mengawal riset kelautan di Indonesia,” ucap Adam.
Kemudian pada tahun 1995, armada KR Baruna Jaya bertambah satu setelah BPPT membeli satu kapal lagi dari Societe D’Armement Maritime et de Transports (SAMT)/Constructions Mecaniques de Normandie (CMN). Kapal ini kemudian dinamakan Baruna Jaya IV.
Adam menambahkan, dengan luas wilayah lautan Indonesia yang mencapai 3,25 juta kilometer persegi dan 2,55 juta kilometer persegi lautan di zona ekonomi eksklusif, Indonesia sebenarnya membutuhkan banyak kapal riset. Habibie juga sudah mencanangkan agar kapal riset di Indonesia jumlahnya enam kapal.
”Makanya, ada dua Kapal Riset Baruna Jaya yang dimiliki Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu Baruna Jaya VII dan VIII. Saat itu sebenarnya Baruna Jaya V dan VI sudah hampir ada, tetapi tidak terealisasi karena krisis moneter 1998,” kata Adam.
Empat Kapal Riset Baruna Jaya yang dimiliki BPPT pada awal didatangkan di Indonesia memiliki spesifikasi berbeda-beda. Baruna Jaya I dan III dulu dikhususkan untuk pemetaan bawah laut karena memiliki teknologi multibeam echosounder. Multibeam echosounder adalah alat pemetaan topografi dasar laut secara akurat.
”Alat ini tertempel di badan kapal. Jadi, pada 2017, BPPT memiliki anggaran untuk peremajaan peralatan survei di kapal. Saat ini, kami bisa mengklaim bahwa hanya Baruna Jaya I yang memiliki multibeam echosounder dengan spesifikasi laut dalam hingga 11.000 meter,” kata Adam.
Adapun Baruna Jaya II, tambah Adam, dulu dijadikan kapal riset untuk pemetaan bawah laut, tetapi oleh BPPT dialihfungsikan menjadi kapal seismik. Sementara Baruna Jaya IV difungsikan sebagai kapal riset oseanografi dan perikanan.
”Sampai saat ini Baruna Jaya IV masih dianggap sebagai kapal perikanan terbaik di Indonesia. Ini karena peralatannya memang didedikasikan khusus untuk riset perikanan,” ujarnya.
Teknologi lain yang dimiliki Baruna Jaya antara lain side scan sonar edgetech 4125 dan G-882 marine magnetometer. Side scan sonar ialah alat pemindai obyek di permukaan dasar laut, seperti pipa bawah lautan dan kapal karam. Alat ini juga mampu membedakan sedimen pembentuk dari permukaan dasar laut.