Acungan Senjata dan ”Rindu Dendam” di Myanmar
Penjaga pos perbatasan berlari-lari sambil berteriak. Senjata laras panjang siaga di tangan dengan moncong terarah ke depan. Betapa sulitnya wartawan masuk ke Myanmar tahun 2007-2008, saat junta militer masih berkuasa.
Pengambilalihan kekuasaan oleh junta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 mengingatkan pengalaman betapa sulitnya wartawan masuk ke negara itu pada 2007-2008. Ketika itu, Myanmar tengah memberlakukan status keadaan darurat, sama seperti sekarang.
Pada 18 September 2007, ratusan biksu turun ke jalan menuju Pagoda Shwedagon di Yangon, ibu kota lama Myanmar. Mereka memprotes kenaikan gila-gilaan harga bahan bakar minyak.
Di kalangan pemeluk Buddha di Myanmar, biksu sangat dihormati. Mereka menjadi tumpuan harapan melawan represi junta militer setelah aktivis prodemokrasi ditangkapi dan mahasiswa diisolasi.
Aksi damai itu berbuntut kekerasan oleh aparat militer terhadap para biksu. Di kalangan pemeluk Buddha di Myanmar, biksu sangat dihormati. Mereka menjadi tumpuan harapan melawan represi junta militer setelah aktivis prodemokrasi ditangkapi dan mahasiswa diisolasi di kampus nan jauh dari pusat kota. Kala itu, Aung San Suu Kyi masih berstatus tahanan rumah.
Kerusuhan yang berlarut-larut di Myanmar membuat redaksi Kompas memutuskan mengirim wartawannya untuk meliput langsung situasi paling mutakhir di jantung peristiwa. Berhubung sebelumnya saya mengikuti dan menulis perkembangan aksi protes itu lewat pemberitaan kantor berita asing, Kompas kemudian menugasi saya pergi ke Yangon, awal Oktober 2007.
Baca juga : Mengapa Militer Sangat Kuat di Myanmar?
Setelah melengkapi berkas persyaratan visa ke Myanmar, saya menanti dengan sabar keluarnya persetujuan. Beberapa hari kemudian, saya dikontak salah seorang atase Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta.
Seingat saya namanya Pak Dedi yang menginformasikan, Kedutaan tidak mungkin memberikan visa masuk Myanmar kepada wartawan. Masuk ke Myanmar sebagai turis pun tidak memungkinkan saat itu. Terlebih di tengah situasi yang tegang pascaprotes para biksu yang menelan korban jiwa.
Baca juga : Rakyat Myanmar Melawan Lewat Pembangkangan Sipil
Saya kemudian mencoba strategi lain, yakni mendaftar visa lewat Bangkok, Thailand. Setiba di Bangkok, saya menuju Kedutaan Besar Myanmar. Kebetulan di depan kantor kedutaan tengah berlangsung aksi protes warga Myanmar yang tinggal di Bangkok. Mereka memprotes terjadinya kekerasan aparat terhadap para biksu. Saya bertahan selama beberapa waktu di depan gedung untuk mengamati aksi tersebut lalu menuliskannya sebagai laporan.
Keesokan harinya, saya mendapat panggilan dari Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok. Ternyata, mereka menolak memberikan visa. Alasannya, saya wartawan dan sempat terlihat di antara pengunjuk rasa di depan kedutaan.
Betapa mengesalkannya alasan tersebut. Sambil tetap melaporkan situasi di Myanmar melalui berbagai sumber di Bangkok, saya memikirkan cara lain untuk masuk Myanmar. Seorang rekan jurnalis di Bangkok mengungkapkan, selain jalur udara, masuk Myanmar juga bisa dilakukan lewat jalan darat melalui perbatasan Thailand. Bandara di Yangon saat itu masih ditutup.
Baca juga : Foto Pemakaman Jenazah Covid-19 Berbuah Piala Adinegoro
Acungan senjata
Saya tertarik mencoba alternatif tersebut. Kebetulan saat di Bangkok, saya bertemu dua teman wartawan Indonesia, yakni Abdul dari Jakarta Post dan Agung dari Jawa Pos. Nasib mereka sama dengan saya, ditolak visanya.
Kami bertiga kemudian sepakat menempuh jalan darat dari Bangkok menuju Mae Sot, kota kecil di perbatasan Thailand-Myanmar yang masih masuk wilayah Thailand. Dari situ, kami berencana naik angkutan umum sambung-menyambung menuju Yangon.
Kami lantas naik bus malam dari Bangkok. Setelah 12 jam perjalanan, kami tiba di Mae Sot. Berbekal saran dari rekan jurnalis di Bangkok, kami menyewa mobil berikut sopirnya untuk masuk ke kota Myawaddi, wilayah Myanmar yang paling dekat dengan perbatasan. Jaraknya sekitar 9 kilometer dari Mae Sot.
Di pos perbatasan, kami harus meninggalkan paspor. Setiap hari, sekitar 10.000 warga dari Myawaddi dan sekitarnya menyeberang lewat jembatan ke Mae Sot untuk menjadi pekerja migran. Mereka berangkat pagi dan pulang sore hari. Warga non-Myanmar dan non-Thailand yang akan masuk dikenai biaya 500 baht (sekitar Rp 150.000 waktu itu).
Baca juga : Menyelamatkan WNI Korban Perdagangan Manusia di Malaysia
Saat berkeliling Myawaddi, kami didekati seorang pria yang mengaku sebagai guide atau pemandu. Kami curiga, dia seorang intel karena selalu ”menempel” kami sambil bertanya macam-macam. Kami lantas berlagak turis yang sedang berkeliling agar bebas memotret dan mengobrol dengan warga sekitar.
Menjelang pos penyeberangan ditutup pukul 18.00, kami diharuskan kembali ke Thailand. Batal sudah rencana naik angkutan umum ke Yangon. Dalam perjalanan menyeberang kembali ke Thailand dan tiba di dekat jembatan yang masuk area tanah tak bertuan (no man’s land), kami mengambil kesempatan untuk memotret pos perbatasan.
Agar tidak mencolok perhatian, saya hanya memakai kamera saku. Namun, untuk mendapatkan gambar yang cukup, saya perlu memaksimalkan fungsi zoom kamera. Rupanya apa yang kami lakukan mengundang perhatian penjaga pos perbatasan Myanmar.
Baca juga : Bertemu Para Malaikat Penolong di Lokasi Gempa Mamuju
Dari kejauhan, terlihat mereka berlari-lari sambil berteriak-teriak. Senjata laras panjang siaga di tangan dengan moncong terarah ke depan. Sambil masih berteriak-teriak dalam bahasa yang tak kami pahami, dia melambai-lambaikan tangan mengusir kami. Ups....
Tangan kami otomatis terangkat ke atas. Buru-buru kami balik badan, berjalan perlahan, lalu dengan langkah cepat menjauhi pos perbatasan. Sekali-sekali, kami menengok ke belakang untuk memastikan apakah mereka masih mengawasi. Rasa deg-degan baru hilang setelah kaki menginjak tanah Mae Sot.
Hari berikutnya, kami masih ingin mencoba ke Yangon dari titik itu. Namun, setelah dipikir-pikir kemungkinan besar kami telah dikenali atau ditandai, niat tersebut kami urungkan. Terlebih jika mengingat kami harus meninggalkan paspor di pos perbatasan dan tidak bisa membawanya untuk masuk ke kota lain di Myanmar. Sungguh sangat berisiko.
Hari-hari selanjutnya kami menggali informasi tentang pergerakan para biksu dan aktivis di Yangon lewat para pelarian dari Myanmar yang bermukim di Thailand. Kami juga menyempatkan diri mengunjungi kamp pengungsian suku Karen di Mae La, sekitar 60 kilometer dari Mae Sot.
Dari kamp itu, kami memperoleh banyak cerita tentang duka lara warga suku Karen yang mengalami penindasan oleh junta militer. Ada setidaknya 30.000 orang yang tinggal di tempat itu. Para pengungsi sudah tinggal belasan tahun di kamp tersebut dalam kondisi sangat terbatas. Akhirnya, setelah hampir dua pekan liputan, saya pun kembali ke Jakarta.
Topan Nargis
Kesempatan untuk masuk Myanmar kembali datang tahun 2008. Pada 4 Mei 2008, topan Nargis menghantam wilayah delta Sungai Irrawady, memorak-porandakan puluhan ribu rumah dan merenggut nyawa lebih dari 300 orang. Beberapa kota, termasuk Yangon, terkena dampak cukup parah.
Junta militer semula menolak bantuan kemanusiaan asing yang masuk. Alasannya, kekhawatiran akan dimata-matai. Setelah junta akhirnya membuka pintu, Indonesia berencana mengirimkan bantuan berupa berbagai macam kebutuhan pengungsi.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat kemudian mengajak sejumlah wartawan untuk meliput pengiriman bantuan tersebut. Pada 16 Mei 2008, wartawan diminta bersiap di Bandara Halim Perdana Kusuma, tempat dua pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara bertolak ke Yangon.
Sebelumnya, wartawan diminta mengajukan visa ke Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta. Namun, hingga saat keberangkatan tiba, visa pun tak kunjung keluar. Akhirnya, kami hanya bisa menyaksikan pesawat lepas landas sambil menggerutu. Saya sudah dua kali ditolak Myanmar!
Baca juga : Gagal Bertemu Messi di Camp Nou
Kabar baik tiba dari Sekretariat ASEAN di Jakarta pada Juni 2008. Sekretaris Jenderal ASEAN waktu itu, Surin Pitsuwan, mengajak wartawan dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura mengikuti kunjungan resmi ke Myanmar.
Kantor kembali menugasi saya. Barangkali agar tidak penasaran seumur hidup. Pengajuan visa kembali saya ikuti. Sehari menjelang keberangkatan, visa akhirnya keluar juga. Rasanya ingin loncat-loncat karena kegirangan. Acara bersama Surin berlangsung tiga hari. Begitu pula masa berlaku visa saya, hanya tiga hari!
Tak apalah, yang penting akhirnya bisa melunasi ”rindu dendam” masuk ke Yangon. Saat berangkat, saya dibekali sehelai surat bertuliskan huruf Myanmar untuk ditunjukkan ketika melewati imigrasi Bandara Yangon. Di seberang pintu imigrasi, telah menunggu staf Kedutaan Besar RI di Yangon untuk memastikan saya bisa melangkah masuk ke negara itu.
Dan akhirnya... saya bisa menginjakkan kaki di Yangon. Dengan naik helikopter milik Program Pangan Dunia PBB (WFP) bersama Surin, kami tiba di beberapa lokasi terparah yang dilanda topan Nargis. Wawancara warga dan foto-foto dokumentasi berhasil kami dapatkan dengan aman, tanpa takut ada tentara bersenjata yang berteriak-teriak.
Baca juga : Sakit Covid-19, Sedikit tetapi Nyelekit
Persoalannya, berita dan foto itu sulit dikirimkan ke Jakarta karena internet di Yangon diblokir. Oleh wartawan Yangon, saya diberi tahu agar pergi ke sebuah warnet (warung internet) dan meminta penjaganya meretas sistem supaya saya bisa mengirimkan berita dan foto lewat e-mail.
Setelah segala ketegangan, para wartawan ASEAN menyempatkan diri berkunjung ke Shwedagon, pagoda terbesar dan tersuci bagi umat Buddha di Myanmar.
Di tempat itulah, setahun sebelumnya para biksu memulai aksi mereka menentang junta. Saya membayangkan, seandainya tahun 2007 saya bisa berada di tempat itu. Sampai sekarang, saya belum pernah lagi mengunjungi Myanmar. Namun, setidaknya saya sudah tidak penasaran lagi....