Kalau Hutan Rusak, Kehidupan yang Terancam
Mayoritas warga yang tinggal di kawasan Puncak, Jawa Barat, menggantungkan hidup dari kelestarian lingkungan. Saat hutan semakin rusak karena masifnya alih fungsi lahan, kehidupan warga pun semakin terancam.
Setelah 40 tahun bekerja sebagai pemetik teh, Jaya (53) diberhentikan perusahaan dan dipaksa angkat kaki dari rumah pekerja perkebunan di Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Padahal, bersama pemetik teh lainnya, lereng perbukitan di Kampung Cibulao bisa dihijaukan kembali.
Menghijaukan salah satu area kebun teh seluas lebih dari 500 hektar yang dikelola PT Sumber Sari Bumi Pakuan di Desa Tugu Utara, bukan perkara mudah. Warga, sekaligus buruh perkebunan teh yang bermukim di Kampung Cibulao, harus menghadapi jalan terjal.
Mereka harus berhadapan dengan kepentingan bisnis pariwisata yang mengutamakan bangunan dan tempat atraksi dibandingkan wisata konservasi alam. ”Padahal, saya sudah bekerja di perkebunan ini saat usia 13 tahun, sejak 1978. Sekarang saya tetap bertahan,” ucap Jaya, Kamis (21/1/2021) lalu.
Lereng perbukitan Kampung Cibulao menjadi bagian dari hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, yang kondisinya kini memprihatinkan. Hingga 2018, separuh kawasan hulu DAS, meliputi Cisarua dan Megamendung, berada dalam kondisi sangat kritis. Sejumlah lokasi longsor pun ditemukan di perbukitan sekitar Kampung Cibulao.
Pemetaan lokasi calon tanah longsor ini tak hanya dilakukan warga Kampung Cibulao. Mereka didampingi beberapa peneliti dari IPB University.
Baca juga : Lahan Negara di Puncak Diperjualbelikan
Air di kawasan Puncak makin sulit meresap ke tanah. Ini terjadi lantaran masifnya pembangunan di sana untuk berbagai kepentingan. Limpasan di hulu DAS Ciliwung selama puluhan tahun sulit dikendalikan dan belakangan mewujud menjadi petaka mematikan.
Memburuknya kondisi alam di Puncak sejalan dengan temuan ahli hidrologi IPB University, Hidayat Pawitan, dalam penelitiannya dua dekade di sana. Pada 1980-an, daya resap air ke tanah di kawasan hulu menurun 50 persen. Artinya, 50 persen dari air hujan yang turun itu melimpas menjadi aliran permukaan.
Memasuki tahun 2000 an, daya serap tanah di Puncak kian buruk. Curah hujan 100 milimeter per hari terjadi hampir sepanjang tahun, tetapi 90 persen airnya melimpas di permukaan. Tren ini diperkirakan berlanjut hingga kini. ”Limpasan (air permukaan) 90 persen itu seperti yang saya katakan, sudah (terjadi) tahun 2000. Mungkin sekarang sudah 95 persen,” kata Hidayat yang ditemui pada Sabtu (5/12/2020) lalu di Jakarta.
Kawasan Puncak dengan pesona Gunung Gede-Pangrango mendorong alih fungsi lahan dari kawasan hijau secara masif sejak Orde Baru. Setelah 1998-an, alih fungsi lahan makin merajalela dan mengakibatkan limpasan air permukaan meningkat.
”Sejak reformasi, deforestasi terjadi hingga 10 juta hektar (ha). Kondisi ini menyebabkan limpasan air meningkat dan muncul banjir bandang yang koefisien limpasannya di atas 1 (di atas 100 persen) semua. Secara hukum alam itu enggak boleh terjadi,” tuturnya.
Sejak 2007, sebagian buruh pemetik teh di kebun teh PT SSBP secara swadaya menghijaukan perbukitan sekitar tempat tinggal mereka. Warga tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao. Jaya salah satunya. ”Saya punya (area kebun kopi), luasnya setengah hektar. Baru ditanami kopi lima bulan ini. Lumayan buat nambah-nambah,” kata Jaya.
Jaya dan sejumlah buruh pemetik teh di kawasan ini mengakui, upah sebagai pemetik teh tergolong minim, sekitar Rp 30.000 per hari. Dalam sebulan, upah yang diterima sekitar Rp 600.000 setelah dipotong hari libur.
Lahan kebun kopi Jaya tak lain adalah area hutan milik Perum Perhutani. Sejak menjadi kelompok tani hutan dalam program kehutanan sosial, KTH Cibulao dipercaya mengelola area hutan Perum Perhutani di Cisarua dengan total luas 610,64 hektar. Hingga kini sudah 250 hektar yang dihijaukan, dengan ditanami tak kurang dari 500.000 pohon kopi dan pohon keras lainnya.
Penanaman yang dilakukan KTH Cibulao tidak mengikuti sistem perkebunan, tetapi menanam di lahan kritis. Mengikuti kaidah konservasi, pohon yang ditanam juga tidak semuanya kopi, tetapi diselingi dengan pohon keras pendamping, seperti alpukat, nangka, dan pohon suren, yang juga memiliki nilai ekonomi.
Kini, kopi menjadi salah satu tanaman yang menguntungkan karena dapat menjadi tambahan penghasilan bagi pekerja perkebunan teh PT SSBP ini.
Harga kopi petik merah berkisar Rp 6.000-Rp 8.500 per kilogram. Jika dikeringkan menjadi green bean, harganya naik menjadi Rp 60.000 hingga Rp 87.000 per kg. Adapun jika dipanggang, harganya lebih mahal lagi, Rp 185.000 per kg untuk robusta dan Rp 340.000 per kg untuk arabika.
Kami, kan, tinggal disini. Hidup bergantung pada kelestarian alam. Tanaman teh, kan, harus dirawat. Lingkungan lainnya juga harus dirawat. Kalau longsor, yang rugi ya kami sendiri.
Selain Jaya, ada Cecep Zainuddin (36), pekerja lain di perkebunan yang ikut terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan diminta pergi dari rumahnya. Selama bekerja di perkebunan, tak hanya bekerja merawat kebun teh, Cecep juga secara swadaya menghijaukan kawasan sekitar kebun teh PT SSBP.
Pemutusan hubungan kerja itu lantaran area rumah pekerja akan digunakan PT SSBP untuk mengembangkan agrowisata.
Cecep menghijaukan area bantaran aliran air Telaga Saat, salah satu mata air hulu Sungai Ciliwung. Telaga ini berada di tengah kawasan perkebunan teh PT SSBP. Cecep juga menghijaukan lembah perbukitan di belakang rumahnya di Kampung Cibulao. Di lembah itu juga terdapat bantaran anak Sungai Ciliwung yang turut ia tanami dengan pohon kopi untuk mencegah erosi dan longsor.
Baca juga : Rugi Akibat Bencana Lebih Besar dari Laba Pariwisata
”Kami, kan, tinggal disini. Hidup bergantung pada kelestarian alam. Tanaman teh, kan, harus dirawat. Lingkungan lainnya juga harus dirawat. Kalau longsor, yang rugi ya kami sendiri. Warga Puncak, Bogor, sampai Jakarta juga kena akibatnya karena kerusakan lingkungan,” tutur Cecep.
Pemutusan hubungan kerja ini sempat memicu kemarahan pekerja terhadap pihak PT SSBP sehingga harus diselesaikan di Kepolisian Sektor Cisarua. Akhirnya, kedua pihak sepakat berdamai.
Hendi, yang mendampingi enam pekerja yang mengalami PHK, mengungkapkan, para pekerja sangat kecewa dengan keputusan perusahaan karena mereka sudah turun-temurun hingga dua generasi bermukim dan bekerja sebagai pemetik teh di area perkebunan PT SSBP di Kampung Cibulao. Apalagi, uang pesangon PHK yang diperoleh hanya Rp 10 juta setiap pekerja, tak mungkin cukup untuk memperoleh rumah.
Pilihan paling ekstrem, menurut Hendi, para pekerja akan memilih tinggal di dalam hutan. ”Mungkin warga nantinya akan tinggal di hutan dan membangun pondok dekat kebun kopi karena tidak tahu harus pindah kemana,” kata Hendi yang juga bekerja di perkebunan.
Baca juga : Mengembalikan Air ke Dalam Tanah di Kawasan Puncak
Selain PHK, lanjutnya, kemarahan pekerja juga dipicu keputusan PT SSBP yang akan mengembangkan agrowisata dan mendirikan pabrik di dalam area perkebunan. Para pemetik teh yang sudah berpuluh tahun bekerja dan bermukim di perkebunan baru mengetahuinya setelah petugas Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor memberi mereka dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Dokumen amdal itu diajukan PT SSBP untuk mengembangkan agrowisata. Petugas dinas meminta para pemetik teh memberikan tanggapan dan penilaian terhadap dokumen amdal itu dalam waktu tiga hari. ”Tentu tidak ada yang paham apa maksud isi amdal itu,” ucap Hendi.
Warga kemudian meminta pendampingan kepada IPB University untuk memahami dokumen tersebut. Selama tujuh hari, dengan didampingi peneliti IPB, mereka mencoba menganalisis isi amdal tersebut. Mereka juga menganalisis dampaknya terhadap kerusakan lingkungan dan kesejahteraan sosial-ekonomi mereka jika PT SSBP merealisasikan pengembangan agrowisata di tengah area kebun teh.
Saat dikonfirmasi, Kepala Kantor PT SSBP Rusmana membenarkan bahwa perusahaan akan membangun agrowisata di sekitar Telaga Saat yang lokasinya sekitar 500 meter dari Kampung Cibulao dan Kampung Cikoneng. Tidak hanya itu, di daerah tersebut juga akan dibangun pabrik teh.
”Fokus kami saat ini untuk produksi teh. Pembangunan pabrik teh ditargetkan selesai pada 2021. Setelah itu, baru pembangunan agrowisata pada 2022,” ujarnya.
Rusmana mengatakan, nantinya akan dibangun sejumlah penginapan di sekitar Telaga Saat dan fasilitas wisata, seperti trek ATV dan jalur sepeda. Meski demikian, dia mengakui, daerah tersebut rawan longsor. ”Ada tiga titik longsor di sekitar Telaga Saat. Namun, insya Allah aman untuk wisata karena kami sudah melakukan penghijauan,” ucapnya.
Sebaliknya, menurut Rusmana, potensi longsor di sekitar Telaga Saat disebabkan kerusakan lingkungan akibat ulah warga Cibulao. Menurut dia, warga Cibulao dulu merupakan perambah hutan. ”Pihak perkebunan terkesan disalahkan karena ada kerusakan lahan tersebut. Padahal, sebenarnya warga yang merusaknya,” katanya.
Baca juga : Banjir Jakarta Bukan Hanya karena Puncak yang Rusak
Ketua KTH Cibulao Jumpono mengakui, belasan tahun yang lalu warga Kampung Cibulao memang merambah hutan. Warga terdorong merambah hutan karena upah sebagai pemetik teh tak lebih dari Rp 30.000/ per hari. Bahkan, 10 tahun lalu, upahnya tak lebih dari Rp 10.000 per hari.
Minimnya upah membuat warga mencari tambahan pendapatan dengan merambah hutan. ”Selain memang dahulu warga itu berpikir, apa yang disediakan hutan, maka bisa mereka pakai. Padahal, kan, tidak tepat jika demikian,” ujar Jumpono.
Pada masa itu pun, lanjut Jumpono, warga juga lebih banyak menanam sayur di area hutan. Sementara kopi masih kurang diminati karena butuh waktu tahunan untuk panen. Sebaliknya, sayur bisa dipanen dalam waktu tiga bulan. Namun, perlahan warga berubah menanam kopi.
Terlebih setelah kopi robusta yang ditanam anggota KTH Cibulao menjadi juara tingkat nasional kopi robusta pada Kontes Kopi Spesialti Indonesia yang diselenggarakan oleh Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) pada 2016. Harga jual kopi dari kampung itu pun lumayan tinggi, sekitar Rp 60.000 per kg untuk biji kopi kering atau green bean.
Selain menghijaukan lingkungannya dengan menanam kopi dan tanaman keras lain, KTH Cibulao juga mengembangkan jelajah kawasan hutan yang mereka rawat dengan bersepeda. Wisata alam ini pun dapat menambah penghasilan warga.
Di Kampung Bojongkeji, Desa Sukagalih, Kemacatan Megamendung, tepat di lereng Gunung Gede-Pangrango, lain lagi ceritanya. Petani di desa itu harus meminjam lahan milik warga luar Puncak untuk menghijaukan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka.
Umar (39), ketua Kelompok Tani Telaga Tirta di Kampung Bojongkeji, menuturkan, ia bersama lebih dari 10 anggota kelompok tani di RT 003 RW 003 di kampungnya harus meminjam lahan tidur dan halaman vila milik warga luar Puncak untuk melakukan penghijauan. Ia menyebutkan, kini tak lebih dari lima orang di kampungnya yang masih memiliki lahan pertanian.
Umar mengatakan, orangtua mereka telah menjual lahan pertanian sejak tahun 1990-an kepada warga luar Puncak. Di atas tanah itu kemudian berdiri banyak vila.
”Waktu saya sekolah dasar saja, tahun 1990-an, masyarakat di sini sudah membebaskan lahannya ke orang Jakarta. Saya tidak tahu, apakah orangtua dulu terimpit ekonomi atau bagaimana. Ya, sekarang, masyarakat Sukagalih ini tidak ada yang punya lahan luas lebih dari 5.000 meter persegi,” ucapnya.
Karena marak dijadikan investasi atau untuk membangun vila, menurut Umar, tanah di desanya dihargai cukup tinggi, Rp 1 juta sampai Rp 1,6 juta per meter persegi. ”Tergantung akses jalannya. Kalau akses jalannya bagus, harganya tinggi,” katanya.
Hingga kini, jual beli lahan tegalan di kawasan lereng di Desa Sukagalih masih marak. Seperti ditemukan di Kampung Lembah Nendeut, ada 58 petak tanah yang dipasarkan oleh warga setempat. Luas tiap petaknya mulai dari 200 meter persegi hingga 3.000 meter persegi, dengan harga jual mulai dari Rp 1,1 juta per meter persegi.
AD (45), pengusaha jual beli tanah di daerah tersebut, mengatakan, tanah yang dijual adalah tanah girik sehingga dapat diterbitkan sertifikat hak milik. Jika tanah perkebunan, lanjut AD, harganya jauh lebih murah, berkisar Rp 150.000-Rp 300.000 per meter persegi, tetapi tanah itu hanya dapat digarap. ”Sewaktu-waktu perkebunan mau ambil tanahnya, ya, tinggal diambil,” ujarnya.
Peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah IPB University, Febri Sastiviani, mengatakan, gerakan penghijauan dengan menanam kopi yang dilakukan warga Kampung Cibulao merupakan upaya mereka melakukan konservasi sekaligus meningkatkan taraf hidup dengan cara menjaga hutan.
”Kalau hutannya rusak, kehidupan warga yang terancam. KTH Cibulao membuktikan bahwa pelibatan masyarakat dalam konservasi itu baik sekali hasilnya. Wisata yang mereka kembangkan pun tetap memperhatikan konservasi,” kata Febri yang mendampingi warga Kampung Cibulao sejak 2014.