Banjir Jakarta Bukan Hanya karena Puncak yang Rusak
Jakarta dan Puncak itu harus dijadikan satu pengelolaan daerah aliran sungai atau DAS. Sebab, DAS itu satu kesatuan topografi dan ekosistem.
Oleh
Dhanang David Aritonang/Benediktus Krisna Yoga/Madina Nusrat
·4 menit baca
Hampir seluruh area tangkapan air Daerah Aliran Sungai Ciliwung mengalami kerusakan dari hulu hingga hilir. Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagai hulu DAS Ciliwung, yang selama ini dianggap penyebab banjir kiriman di Jakarta, berkontribusi 8 persen terhadap banjir Jakarta. Selebihnya pasokan banjir Jakarta berasal dari zona tengah hingga hilir DAS.
Selama kurun waktu 2013-2018, berdasarkan pemetaan lahan kritis yang dilakukan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai-Hutan Lindung (BPDAS-HL) Citarum Ciliwung, lahan kritis di area tangkapan air Sungai Ciliwung kian meluas dan memburuk.
Selama 2013, lahan kritis di hulu DAS tercatat seluas 63 hektar, dan lahan agak kritis sekitar 7.400 hektar. Lima tahun kemudian, 2018, bagian tengah zona hulu yang berada di kawasan Puncak, meliputi Kecamatan Megamendung dan Cisarua, kondisi lahannya menjadi sangat kritis dengan luas areal tak kurang dari 4.600 hektar, hampir separuh luas kedua kecamatan itu.
Begitu pula di zona tengah DAS, mulai dari Bendung Katulampa hingga Cijantung (Jakarta Timur), kondisinya juga memburuk. Ditemukan sejumlah titik lokasi di zona itu lahannya mulai berubah menjadi Agak Kritis pada 2018.
Ahli hidrologi Institut Pertanian Bogor, Hidayat Pawitan, pada Desember 2020 lalu, mengungkapkan, jika melihat banjir Jakarta disebabkan oleh hulunya di Puncak saja maka kurang tepat.
Sebab, zona hulu DAS Ciliwung seluas 146 kilometer persegi atau sekitar 15.000 hektar. Sementara zona tengah dan hilir seluas 200 kilometer persegi atau sekitar 22.000 hektar. Hampir semua zona DAS mengalami alih fungsi lahan, dengan penggunaannya didominasi bangunan fisik.
Kawasan yang telah berubah menjadi urban, menurut Hidayat, umumnya koefisien limpasan air permukaannya pun sudah di atas 90 persen, atau daya resap tanah terhadap air tinggal 10 persen.
“Dari hulu Ciliwung sampai Katulampa, luasnya 146 km persegi. Setelah Katulampa, masih ada 200 km persegi (zona tengah dan hilir), dan itu lebih dari separuh (zona hulu). Jadi sebetulnya yang menyebabkan banjir (Jakarta) ya dari Katulampa ke hilir, land use-nya itu sudah develop semua, sudah urban semua,” jelasnya.
Peta penutupan lahan di sepanjang area tangkapan air DAS Ciliwung dari hulu hingga hilir, selama 1996-2016, menunjukkan pertumbuhan permukiman yang pesat di zona tengah dan hilir DAS. Zona hulu juga mengalami pertumbuhan permukiman yang pesat pula tetapi masih menyisakan areal pertanian lahan kering, sawah, perkebunan, dan hutan.
Kajian yang dilakukan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) Surakarta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, pun menunjukkan kontribusi limpasan air dari zona hulu terhadap banjir Jakarta sebesar 8 persen, dan zona tengah DAS menyumbang 9 persen.
Total kontribusi banjir Jakarta dari DAS Ciliwung dan daerah sekitarnya, sebesar 24 persen. Sumbangan banjir Jakarta selebihnya dari DAS Kali Angke (19 persen), DAS Kali Krukut (13 persen), dan sisanya diantaranya dari drainase yang kurang memadai.
Selama kurun waktu 2013-2018, lahan kritis di area tangkapan air Sungai Ciliwung kian meluas dan memburuk
Berkurangnya situ-situ di sepanjang area DAS Ciliwung juga mengurangi kemampuan tanah meresap air hujan.
Pada Oktober 2019 lalu, investigasi Kompas menemukan dari 208 situ di Jabodetabek yang dikelola Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tak semuanya dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Tercatat 30 situ di antaranya dikuasai perusahaan dan individu melalui sertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (HGB), dan hak guna usaha (HGU). (Kompas, 19/10/2019)
Kepala BPDAS-HL Citarum Ciliwung, Pina Ekalipta mengatakan, kerusakan lingkungan di DAS Ciliwung sudah pada taraf yang parah. "Selama kepentingan ekonomi mengalahkan ekologi, maka akan selalu menghadapi kendala," ucapnya.
Untuk mengendalikan banjir di Jakarta kini dibangun Waduk Sukamahi di Gadog, Kabupaten Bogor. Bendungan itu berdaya tampung 1,68 juta meter kubik, sehingga diharapkan mengurangi kiriman air ke Jakarta hingga 29 meter kubik/detik. Namun sebagai dam kering, bendungan ini hanya berfungsi mengendalikan limpasan air dari hulu DAS Ciliwung di Puncak yang meluncur ke Jakarta.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Budi Situmorang, yang menjadi bagian dalam Project Management Office Bogor Puncak Cianjur (PMO Bopunjur) ini mengatakan, Bendungan Sukamahi tak memiliki fungsi konservasi karena fungsinya mengendalikan debit air ke Jakarta.
"Bendungan ini bukan untuk konservasi, tetapi mengendalikan air ke Jakarta. Lahan bendungan itu pun dibiayai Jakarta," ujarnya.
Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia, Transtoto Handadhari pun mengingatkan, Jakarta dan Puncak itu harus dijadikan satu pengelolaan DAS. Sebab, DAS itu satu kesatuan topografi dan ekosistem. Pembenahan dan perbaikan lingkungan harus simultan dari hulu ke hilir.