Mengatur PKL, Mengubah Sistem Sosial di Ibu Kota di Masa Pembatasan
Penerapan pembatasan kegiatan masyarakat untuk mengatasi penularan Covid-19 memerlukan pendekatan berbasis masyarakat. Sejauh ini, pembatasan belum membuahkan hasil signifikan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di Ibu Kota pada hari pertama, kemarin, berlangsung seperti pembatasan sosial berskala besar atau PSBB sebelum-sebelumnya. Aparatur pemerintah, seperti camat dan lurah, masih mengandalkan patroli bersama satuan polisi pamong praja untuk membubarkan kerumunan dan masih menghadapi kendala warga yang kucing-kucingan terhadap razia.
”Semuanya sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 19 Tahun 2021. Tidak boleh ada kerumunan lebih dari lima orang, termasuk bagi para pengemudi ojek daring atau ojol. Petugas dari tadi pagi meminta para ojol yang nongkrong agar tidak lebih dari lima orang,” kata Camat Pademangan, Jakarta Utara, Mumu Muhtadi ketika dihubungi pada Senin (11/1/2021).
Di samping itu, ia juga meminta agar semua pedagang kaki lima (PKL) tidak melayani pembeli yang hendak makan di tempat. Mereka diharuskan untuk membeli dan membungkus makanan tersebut agar dikonsumsi di rumah masing-masing. Para petugas satpol PP melakukan pengawasan di titik-titik di Pademangan yang dikenal sebagai sentra jajanan PKL dan memperingatkan konsumen yang datang.
PKL tidak melayani pembeli yang hendak makan di tempat. Mereka diharuskan untuk membeli dan membungkus makanan tersebut agar dikonsumsi di rumah masing-masing.
Lurah Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rasyid Darwis mengatakan membatasi peredaran pengojek daring 50 persen dari jam kerja reguler. Mereka hanya boleh mangkal di kelurahan itu pada rentang pukul 04.00 sampai dengan 20.00. Setelah itu, mereka harus meninggalkan Pejaten Timur, kecuali pengojek yang mengantar atau menjemput penumpang ataupun pesanan belanja. ”Para PKL juga hanya boleh berjualan sampai pukul 19.00,” ujarnya.
Lurah Melawai, Kebayoran Baru, Jaksel, Chenris Rahmasari mengutarakan, upaya ekstra keras bagi satpol PP ataupun petugas kelurahan untuk menyosialisasikan kepada PKL bahwa per pukul 19.00 mereka sudah tidak boleh berjualan. Bagi rumah makan dan kafe diizinkan beroperasi melewati pukul 19.00 dengan syarat makanan hanya untuk dibungkus dan dibawa pulang.
Permasalahannya, ada perilaku kucing-kucingan warga. Contohnya adalah pengojek daring yang ketika telah diperingatkan, beberapa waktu kemudian tepergok kembali kongko di atas lima orang. Menurut dia, semestinya ada kerja sama lebih solid antara pemerintah dan perusahaan ojek daring untuk memastikan ada metode pendisiplinan bagi pengojek yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
Berdasarkan pengumuman harian Dinas Kesehatan DKI Jakarta, jumlah kasus aktif Covid-19 pada 11 Januari 2021 turun 83 kasus. Kini, kasus aktif ada 17.946 orang yang masih dirawat ataupun menjalani isolasi. Akan tetapi, persentase kasus positif menaik dari 12 persen pekan lalu menjadi 13,4 persen. Idealnya, standar kasus positif tidak boleh lebih dari 5 persen sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Mengubah sistem sosial
Antropolog politik pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Aris Arif Mundayat, menjelaskan bahwa belum ada perubahan signifikan pada sistem sosial, terutama di akar rumput, ketika menjalankan keseharian. PPKM seperti PSBB sangat mengandalkan patroli aparat pemerintah yang tidak hanya melelahkan, tetapi bisa dicari celah oleh masyarakat. Harus ada pengeroyokan masalah dari semua jenis aspek, seperti hukum, kebudayaan, ekonomi, dan kesehatan.
Dari sisi kebijakan pemerintah pusat dan daerah umumnya masih bertumpu kepada masyarakat yang salariat atau bekerja di sektor formal sehingga bisa menunaikan profesi mereka dari rumah. Bagi masyarakat dari kelompok non-salariat atau pekerja informal dengan nafkah berbasis harian, aturan PPKM sukar ditegakkan tanpa ada perubahan sistem sosial.
”Contohnya di Yogyakarta yang pengendalian pandemi Covid-19 berjalan karena kesadaran masyarakat kelas menengah berpendidikan tinggi atau salariat yang jumlahnya relatif merata sehingga mengurangi mobilitas menjadi kesadaran kolektif. Akan tetapi, di Jakarta dan sekitarnya, kesenjangan sosial sangat tajam dan golongan salariat ini justru minoritas jika dibandingkan dengan pekerja informal,” tuturya.
Semua aturan pusat dan daerah mayoritas bersifat membatasi, bahkan melarang. Bukan menawarkan solusi baru. Intervensi kebiasaan sosial dan ekonomi adalah jalan keluar. Aris menjelaskan, di kalangan akar rumput, para PKL, terutama penjual sayur keliling, adalah penyedia kebutuhan pokok warga. Semestinya mereka dulu yang didekati oleh para petugas kelurahan dan kecamatan.
Melarang warga untuk tidak bergerombol ketika membeli sayur pada pagi hari nyaris mustahil karena kegiatan itu adalah ruang publik tempat terjadinya pertukaran informasi dan gosip. Perilaku budaya ini mengakar di masyarakat Indonesia. Pendekatannya harus menggunakan narasi alternatif.
Kelurahan bisa membuat sistem dengan cara tukang sayur hanya boleh menerima pesanan dari warga melalui telepon atau pesan singkat. Petugas tingkat rukun warga dan rukun tetangga bisa menyosialisasikan cara baru ini ke rumah-rumah secara terus-menerus. Setiap pagi, tukang sayur tetap berkeliling permukiman, tetapi tanpa interaksi dengan warga. Ia hanya mengantarkan pesanan sayur untuk langganan dan bisa dicantelkan di pagar rumah.
”Di beberapa kompleks di Jakarta dan Yogyakarta hal ini sudah dilakukan oleh segelintir warga. Sistem ini bisa diadaptasi untuk skala yang lebih besar, seperti perkampungan atau kelurahan. Bisa juga warga memesan untuk belanja hari berikutnya ketika tukang sayur datang mengantar pesanan hari ini,” kata Aris.
Kelurahan bisa membuat sistem dengan cara tukang sayur hanya boleh menerima pesanan dari warga melalui telepon atau pesan singkat. Petugas tingkat rukun warga dan rukun tetangga bisa menyosialisasikan cara baru ini ke rumah-rumah secara terus-menerus.
Apabila mengantar dari rumah ke rumah merepotkan tukang sayur, ia tetap bisa mangkal di satu titik dan pelanggan menjemput pesanan mereka. Petugas RT/RW mengawasi dan memastikan bahwa warga benar-benar mengambil belanjaan, lalu langsung pulang, tidak merumpi dengan pembeli lain.
Ini mengubah pola belanja impulsif, yaitu belanja ketika baru melihat barang yang dijaja. Warga harus merencanakan belanja dari sehari sebelumnya. Misalnya, sejak siang hari pelanggan sudah memesan sayuran dalam jenis dan jumlah tertentu untuk keesokan hari. Cara berbelanja penjual sayur eceran juga kini berbasis pesanan dari pelanggan.
Demikian pula untuk PKL dan pedagang di pasar tradisional. Di Jakarta sudah ada inisiatif mereka berjualan melalui pesanan berbasis telepon, tetapi sering kali pedagang kewalahan melayani permintaan jarak jauh ini satu per satu. Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya juga mengumumkan nomor telepon para pedagang melalui media sosial, ternyata tidak efektif membuat masyarakat berhenti datang ke pasar.
”Ini tugas pemerintah pusat dan daerah menggandengkan pedagang kecil dengan e-commerce. Pasar Jaya tidak perlu membuat website sendiri yang tidak akrab di pikiran warga. Kan, sudah ada perusahaan seperti Gojek, Grab, dan Tokopedia, yang memiliki sistem mapan. Jangan tunggu inisiatif pedagang, harus kelurahan atau Pasar Jaya yang membantu pedagang membuat lapak daring atau bisa juga lapak di bawah naungan satu nama, yaitu nama pasar tersebut,” ujarnya.
Pada saat yang sama, sistem subsidi juga tidak boleh berhenti. Bentuknya adalah bantuan sosial tunai serta bantuan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah dengan syarat dibelanjakan di sekitar wilayah tempat tinggal agar pergerakan masyarakat tidak meningkat.