Jumlah Pengawas Ketenagakerjaan di Jakarta Jauh dari Ideal
Ada 80.265 perusahaan di Ibu Kota, tetapi jumlah pengawas ketenagakerjaan hanya 54 orang. Perhitungan idealnya sekitar 550 pengawas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan pengawas tenaga kerja di Ibu Kota masih dihantui masalah yang kerap terjadi di Tanah Air, yaitu kekurangan jumlah sumber daya manusia, kualitas kinerja, penjaminan integritas, dan keterbukaan informasi publik. Jika jumlah personel sulit ditambah, peningkatan dan penguatan kompetensi kinerja adalah langkah yang mendesak dilakukan.
”Masalah utama di Jakarta ialah kekurangan sumber daya manusia. Ada 80.265 perusahaan di Ibu Kota, tetapi jumlah pengawas naker (ketenagakerjaan) hanya 54 orang,” kata Kepala Bidang Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi DKI Jakarta Khadik Triyanto di sela mengawasi ujian kenaikan pangkat pengawas naker di Jakarta, Selasa (5/1/2021).
Perhitungan ideal, Jakarta memiliki 556 pengawas naker agar pemastian pemenuhan hak para pekerja di berbagai perusahaan terjamin. Masalahnya, pengangkatan pengawas bukan kewenangan Pemprov DKI Jakarta meskipun pengawas tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pemprov. Kewenangan ada di Kementerian Ketenagakerjaan. PNS harus mengikuti pendidikan dan pelatihan (diklat) terlebih dulu sebelum diangkat jadi pengawas.
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri 30/2020 yang menyebut PNS bisa dilantik menjadi pengawas tanpa diklat. Strategi ini diharap bisa menyiasati kekurangan jumlah orang di lapangan. Namun, bagi sejumlah pakar ketenagakerjaan, gagasan ini dinilai berisiko karena tanpa diklat, PNS belum memiliki perspektif maupun pengetahuan sebagai pengawas.
Khadik mengatakan, Jakarta mengandalkan sistem pelaporan, pencatatan, dan kajian berbasis daring untuk mengefisienkan kinerja pengawas. Setiap perusahaan bisa mengisi sendiri berkas secara daring dan di dalamnya mencakup pakta integritas kejujuran pengisian data. Laporan kepada Disnakertrans Jakarta juga berbasis daring dan apabila diterima diikuti tinjauan langsung ke lokasi. Jika ada temuan pelanggaran, pengawas mengeluarkan nota pemeriksaan yang berisi solusi serta harus ditaati pemilik perusahaan dalam waktu 14 hari kerja.
Selama pandemi Covid-19, Khadik mengungkapkan, ada aduan dari pekerja ataupun pihak ketiga terkait perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Misalnya, jumlah pegawai yang datang ke kantor melebihi kuota 50 persen, tidak ada jaga jarak fisik, dan pegawai maupun individu yang tidak memakai masker di perusahaan tersebut tidak ditegur. Pengawas berwenang menyegel perusahaan itu jika tuduhan terbukti benar.
”Selama pandemi, kami mengawasi perusahaan swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Setiap pengawas naker menangani sepuluh perusahaan per bulan. Kewenangan tidak mencapai pusat perbelanjaan, restoran, dan kafe karena pengawasannya ada di bawah dinas pariwisata. Selain masalah protokol kesehatan, juga masih ada masalah klasik, seperti gaji di bawah upah minimal rata-rata provinsi dan pesangon yang tidak dibayar ketika pekerja dikeluarkan dari perusahaan,” ujarnya.
Selama pandemi Covid-19 tahun 2020 ada 156 perusahaan yang ditutup Disnakertrans. Semuanya karena laporan serta temuan bahwa mereka tidak mempraktikkan protokol kesehatan.
Pada kesempatan berbeda, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan, selama pandemi Covid-19 di tahun 2020 ada 156 perusahaan yang ditutup Disnakertrans. Semuanya karena laporan serta temuan bahwa mereka tidak mempraktikkan protokol kesehatan. Mayoritas perusahaan sudah kembali aktif setelah mengikuti ketentuan yang tertuang dalam nota pemeriksaan oleh pengawas naker.
”Jakarta satu-satunya provinsi yang menerapkan upah minimum provinsi asimetris. Ada perusahaan yang kepayahan selama pandemi, tetapi ada pula yang tumbuh pesat. Metode asimetris ini bisa memberi keadilan bagi yang tertekan sehingga tidak perlu melepas pekerjanya,” katanya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, secara umum Jakarta memang memiliki kinerja pengawas paling baik se-Indonesia, tetapi belum maksimal. Pengawas naker sebagai PNS provinsi tetap rentan dimutasi ke bidang-bidang ataupun lembaga yang tidak bersangkutan dengan naker sehingga mereka tidak bisa mengembangkan ataupun menerapkan kompetensi profesinya.
Apabila Kemnaker tidak bisa mengangkat, bisa diambil pilihan pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Tidak perlu drastis dalam jumlah banyak, tetapi ada penambahan yang bisa meningkatkan kinerja pemantauan ketaatan perusahaan memenuhi hak pekerja. Sejauh ini, pengawas di dalam konteks hubungan industri merupakan mata rantai terlemah.
”Di dalam Undang-Undang 5/2003 tentang Naker dan UU Cipta Kerja, peran pengawas minim sekali dibahas. Kurangnya jumlah pengawas, keterbatasam jangkauan dan frekuensi peninjauan lapangan, dan tidak terbukanya sistem informasi publik mengakibatkan pekerja tidak puas sehingga muncul banyak protes. Hal ini pula yang membuat penanaman modal di Indonesia banyak terkendala,” papar Timboel.
Ia menjelaskan, selain peningkatan kompetensi dan penjaminan integritas, keterbukaan pengawas dalam menangani laporan juga harus diterapkan. Selama ini, jarang sekali pelapor yang mayoritas pekerja dikabari apabila laporannya dilanjutkan atau bahkan ditolak. Jika ditolak, tidak pernah ada kejelasan dari pengawas mengenai indikator bahwa laporan itu tidak layak ditindaklanjuti.