Ada risiko kekebalan tubuh tidak bisa terbentuk pada individu tertentu akibat faktor genetik, penyakit bawaan, ataupun variabel lain. Jangan sampai pemerintah ataupun publik hanyut pada impian vaksin atasi Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedatangan vaksin untuk pencegahan Covid-19 di Ibu Kota jangan sampai membuat masyarakat euforia dan lengah. Vaksin untuk mencegah penularan virus korona baru, tetapi tetap harus didukung dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat, baik oleh mereka yang telah mendapat imunisasi maupun yang belum.
”Apabila mayoritas warga Jakarta sudah diimunisasi, tidak berarti situasi kembali normal seperti sebelum pandemi. Kita semua tetap harus memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan menggunakan sabun,” kata Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia DKI Jakarta Baequni Boerman ketika dihubungi pada Senin (4/1/2021).
Ia menjelaskan, ada risiko kekebalan tubuh tidak bisa terbentuk pada individu tertentu akibat faktor genetik, penyakit bawaan, ataupun variabel lain. Jangan sampai pemerintah ataupun publik hanyut pada impian vaksin menjadi penyelesaian pandemi Covid-19.
Pendidikan masyarakat, penegakan protokol kesehatan, serta pengetesan dan pelacakan kasus positif wajib berlanjut dengan maksimal karena perubahan gaya hidup adalah solusi jangka panjang.
Berdasarkan keputusan pemerintah pusat, pemberian imunisasi akan dilakukan sepanjang Januari 2021 hingga Maret 2022. Periode pertama adalah Januari-April 2020 dengan rincian prioritas 1,3 juta tenaga kesehatan (nakes), 17,4 juta petugas publik yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, dan 21,5 juta lansia.
Baequni mengatakan, setiap wilayah akan memperoleh jatah vaksin masing-masing. Artinya, pemerintah daerah harus pandai membagi kelompok yang perlu segera diimunisasi dalam periode pertama.
Pada sektor nakes, ia mengusulkan agar nakes yang langsung merawat pasien positif Covid-19 diimunisasi terlebih dahulu. Setelah itu diikuti nakes yang tidak langsung berinteraksi dengan pasien positif, tetapi rutin kontak dengan nakes perawat pasien positif.
Lapisan ketiga adalah nakes yang berinteraksi dengan banyak warga, seperti petugas puskesmas yang bertindak sebagai resepsionis dan nakes yang memiliki mobilitas tinggi.
Hingga pukul 21.00 belum ada keterangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai jatah vaksin untuk Ibu Kota beserta rincian prioritasnya. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, melalui wawancara tertulis, mengatakan, protokol kesehatan akan terus menjadi landasan dalam penanganan pandemi.
Berdasarkan analisis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Oktober 2020, kedisiplinan warga Ibu Kota menjalankan protokol kesehatan mencapai 80 persen. Akan tetapi, pada Desember 2020 jatuh menjadi 65 persen.
”Memang grafis kedisiplinan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan) ini fluktuatif. Menjaga jarak adalah hal tersulit yang kami amati di lapangan. Antrean di stasiun dan terminal masih padat sehingga tidak bisa berjarak setidaknya 1 meter. Oleh sebab itu, Pemprov DKI Jakarta sangat menekankan pada pemakaian masker. Apabila lalai, kami kenakan sangsi Rp 250.000,” katanya.
Ia mengungkapkan, sejak Juni hingga Desember 2020 sudah ada 101.000 warga Jakarta terjaring razia protokol kesehatan akibat tidak bermasker. Terdapat 543 restoran dan kafe yang ditutup karena bandel tidak menerapkan jaga jarak. Di samping itu, juga ada 136 kantor yang ditutup karena tidak menjalankan aturan jumlah maksimal pegawai yang masuk kerja adalah 50 persen dari kapasitas reguler.
Berdasarkan data Senin (4/1/2021), ada 14.679 pasien kasus aktif yang tengah menjalani perawatan ataupun isolasi. Akumulasi kasus adalah 191.075 kasus dengan tingkat kesembuhan 90,6 persen atau setara dengan 173.036 orang.
Jumlah pasien meninggal ialah 3.369 orang. Angka penularan masih tinggi, yakni 12,9 persen. Batas aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 5 persen.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani mengatakan, pihaknya terus menggencarkan uji reaksi berantai polimerase (PCR). Total pada Senin ada 8.721 orang dites PCR dengan hasil 1.621 positif.
Meskipun demikian, pengetesan dan pelacakan kasus di Jakarta tetap mendapat kritik dari para pakar kesehatan karena beberapa laboratorium dan rumah sakit tidak bisa segera memberikan hasil sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melacak penyebaran kasus banyak tertunda.