Operator Angkutan Umum Diminta Jangan Bergantung pada APBD
Dalam suasana pandemi, perusahaan pengelola angkutan umum diimbau agar tidak menggantungkan diri pada subsidi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam suasana pandemi, perusahaan pengelola angkutan umum diimbau agar tidak menggantungkan diri kepada subsidi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD. Mode bisnis yang tidak mengandalkan hasil penjualan karcis sebagai sumber pendapatan utama harus dikembangkan.
Topik itu mengemuka dalam diskusi Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) pada hari Selasa (29/12/2020). Pembahasannya ialah mengenai refleksi DTKJ untuk tahun 2020 dan rencana tahun 2021.
APBD Jakarta mengalami kontraksi sebesar 53 persen. Dana yang tersisa difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19, seperti penyediaan tes gratis, biaya perawatan pasien positif, dan pemberian bantuan sosial. Angkutan umum, walaupun merupakan layanan dasar dari pemerintah, dinilai harus bisa mandiri dan tidak memberi beban tambahan kepada APBD.
”Contoh penyedia angkutan umum yang menerapkan pendekatan bisnis kolaborasi ini adalah PT MRT Jakarta. Ada lima stasiun yang memiliki kerja sama hak penamaan, baik dengan perusahaan swasta maupun badan usaha milik pemerintah. Efeknya, MRT tidak bergantung pada penjualan biaya naik kereta,” kata Ketua DTKJ Periode 2020-2023 Haris Muhammadun.
Menurut dia, DTKJ telah mengusulkan kepada Pemprov Jakarta agar PT Transjakarta dan PT LRT Jakarta bisa melakukan hal serupa. Tidak perlu mengambil alih aset berupa halte, jembatan penyeberangan orang, dan terminal. Namun, Transjakarta diberi keleluasaan mengelola untuk menghasilkan pendapatan dari sana. Wujudnya bisa kolaborasi dengan pihak ketiga untuk hak penamaan halte atau stasiun, bisa juga dengan pemasangan iklan.
”Halte dan terminal juga didorong agar hemat energi, seperti menggunakan panel surya, agar bisa menghasilkan listrik sendiri. Biaya operasional bisa diperkecil,” tutur Haris. Salah satu kajian DTKJ ialah di wilayah Tanjung Barat. Perhitungan di sana ada potensi pendapatan hingga Rp 3 triliun per tahun dengan memanfaatkan segala aset yang tersedia.
Subsidi yang dihemat bisa dialihkan untuk perluasan rute layanan. Salah satunya ialah integrasi layanan Transjakarta ke Kepulauan Seribu berupa bus air. Saat ini, biaya sekali melintas ke Kepulauan Seribu adalah Rp 40.000. Jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya perjalanan darat memakai Transjakarta, yaitu Rp 2.000 hingga Rp 3.500. Pemerataan tarif dan aksesibilitas ke Kepulauan Seribu adalah keniscayaan.
Haris menuturkan, pengelolaan pelabuhan dan penyeberangan ini bisa memakai sistem badan layanan umum (BLU). Pilihannya ada dua, yakni membentuk BLU baru dari operator transportasi yang sudah ada dan dinilai layak atau bisa juga PT Transjakarta yang diberi adendum untuk melaksanakan operasional bus air ke sejumlah titik di Kepulauan Seribu.
Pengalihan subsidi juga dipakai untuk meningkatkan layanan inklusif kepada penyandang disabilitas, anak-anak, ibu hamil, dan lansia. Infrastruktur ramah pemakai kursi roda, orang buta, dan tuli harus menjangkau semua moda angkutan umum Ibu Kota. Apabila layanan untuk penumpang berkebutuhan khusus terpenuhi, otomatis layanan untuk penumpang reguler membaik.
Direktur Institut untuk Kebijakan Transportasi dan Pembangunan (ITDP) Asia Tenggara Faela Sufa mengatakan, penambahan pendapatan dari tarif nonkarcis perjalanan boleh saja, tetapi jangan sampai menjadi tujuan dari operator angkutan umum. Keberadaan mereka semata-mata adalah menyediakan layanan yang terjangkau dan aman bagi masyarakat agar bisa bermobilitas secara berkeadilan dan berkelanjutan.
”Subsidi diberikan pemerintah guna menjamin angkutan umum bisa menurunkan pemakaian kendaraan pribadi,” ujarnya.
Aksesibilitas
Peneliti dari Masyarakat Transportasi Indonesia Jakarta Titis Efrindu Bawono mengatakan, kolaborasi dengan pihak ketiga diharapkan bisa memberi tambahan pendapatan 10-20 persen untuk pengelola angkutan umum. Metode ini hendaknya tidak hanya berlangsung di kala pandemi, tetapi juga bisa diteruskan.
”Namun, prioritas tetap harus mendorong transportasi ramah lingkungan, seperti berjalan kaki dan bersepeda sebagai aksesibilitas utama di Jakarta. Tidak hanya ketika demam bersepeda terjadi selama pandemi untuk menghindari kedekatan fisik di angkutan umum, tetapi bisa juga menjadi gaya hidup permanen Ibu Kota,” katanya.
Berjalan kaki dan bersepeda bukan dihitung dari jarak yang ditempuh, melainkan frekuensinya. Titis mengungkapkan kajiannya di Belanda yang menunjukkan bahwa rata-rata jarak bersepeda di sana hanya 2,5 kilometer, tetapi bersepeda menjadi moda transportasi utama warga Negeri Kincir Angin itu.
Adanya revitalisasi trotoar dan jalur sepeda semestinya bisa meningkatkan minat masyarakat meninggalkan kendaraan bermotor, baik pribadi maupun umum, ketika hendak pergi ke jarak tempuh lebih dekat. Oleh sebab itu, ketegasan penegakan hukum bagi pelanggar berupa parkir liar atau penyerobot jalur sepeda harus ditegakkan.
”Pada saat yang sama, pejalan kaki dan pesepeda juga harus memiliki peraturan tertib lalu lintas, seperti jangan menyeberang sembarangan dan jangan berjalan di jalur yang melawan arah,” ujar Titis.