Saya minta para pesepeda baru ini belajar dari komunitas pesepeda di Bantul, Yogyakarta. Mereka, para bapak ibu petani dan buruh, selalu berbaris satu jalur di sebelah kiri dan taat pada aturan dan rambu lalu lintas.
Oleh
Ir A Pratomo, MT
·3 menit baca
Dalam masyarakat beradab, peraturan dibuat agar semua pihak mendapatkan hak dan kewajiban secara adil. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur pengguna jalan dan kendaraan saling berbagi hak dan kewajiban.
Ini termasuk juga sepeda, yang popularitasnya di tengah pandemi sangat tinggi. Sayang, banyak pengendara sepeda yang tidak patuh aturan dan rambu lalu lintas.
Contohnya di perumahan Kotabaru Parahyangan, sekalipun sudah ada jalur sepeda, masih banyak pengendara sepeda bergerombol tidak di jalur sepeda.
Lalu di akses keluar ke arah Tol Padalarang, yang jelas terpasang rambu dilarang belok kanan (ke arah Cimahi), masih banyak pesepeda seenaknya berbelok memotong jalan kendaraan besar yang baru keluar dari tol masuk ke Kotabaru Parahyangan. Sering terjadi pengendara mobil harus mengerem tiba-tiba karena perilaku ini.
Di jembatan layang Pasupati yang terpasang tanda tidak boleh dilalui pesepeda, beberapa pesepeda malah berhenti di atas daerah Kebun Bibit dan berswafoto.
Belum lagi di jalan-jalan raya seperti Jalan Merdeka, Aceh, Riau. Meski sudah ada jalur sepeda, pesepeda bersepeda bergerombol dan berpindah jalur seenaknya, bahkan tidak menaati lampu lalu lintas.
Tidak ada sanksi dari pihak berwajib membuat pelanggaran terus berlangsung. Apakah harus menunggu sampai terjadi kecelakaan fatal?
Saya minta para pesepeda baru ini belajar dari komunitas pesepeda di Bantul, Yogyakarta. Mereka bertahun-tahun bersepeda dari selatan ke utara Yogyakarta pergi pulang setiap hari. Mereka, para bapak ibu petani dan buruh, selalu berbaris satu jalur di sebelah kiri dan taat pada aturan dan rambu lalu lintas.
Selama hampir enam tahun saya bersepeda di Belanda, saya belajar bahwa bersepeda memerlukan kecerdasan dan empati dalam berkendara, bukan sekadar mampu membeli sepeda mahal. Naik sepeda itu dalam antrean segaris. Demikian juga berpindah jalur dan sebagainya, ada tanda-tanda isyarat yang harus dilakukan agar pengguna jalan lain memahami sehingga semua selamat.
Kalau perlu, saya dapat mengajarkan tanda-tanda isyarat bersepeda yang telah saya pelajari di Belanda.
Ir A Pratomo, MT
Jalan Jingganagara, Kotabaru Parahyangan
Klaim Uang Tiket
Saya memesan tiga tiket Garuda Jakarta-Yogyakarta untuk penerbangan 9 April 2020 dan kepulangan 12 April 2020 senilai Rp 5.808.780 melalui aplikasi Traveloka.
Nomor tiket penerbangan 1262117200664 - 65 - 66 untuk tiga penumpang atas nama saya, suami, dan satu anak.
Karena pandemi, pada 23 Maret 2020 saya membatalkan penerbangan dan meminta refund via Traveloka.
Hingga Desember ini, pengembalian uang belum saya terima. Saya bolak-balik menghubungi Traveloka, jawabnya begitu ada konfirmasi dari Garuda, saya dihubungi.
Saya juga sudah berusaha menghubungi pihak Garuda, tetapi sambungan telepon bagian keluhan selalu sibuk.
Mohon kembalikan dana saya yang terkatung-katung lebih dari delapan bulan.
Ari Wardani
Pakulonan Barat, Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang
Mentor
Di rubrik Udar Rasa Kompas, Minggu (22/11/2020), Jean Couteau menyebut Usadi Wiryatnaya sebagai mentor. Kata Couteau, Usadi menyanyi waktu merasa maut tiba.
Di Denpasar itu, maut urung menghampiri dan Usadi sembuh dari sakit parah. Jean Couteau mungkin saja melihat dan mendengar Usadi menyanyi-nyanyi.
Menjelang maut benar-benar merenggut jiwanya, di RSUD Salatiga, Usadi sudah tidak dapat menyanyi lagi.
Ia berkata lirih kepada saya, ”Aku durung ngrampungké koleksi kidung karanganku (Saya belum menyelesaikan koleksi kidung karangan saya).”