Polda Tak Bisa Beri Info Lagi soal Penyerangan Anggota FPI
Beredar kabar peretas membongkar percakapan Kapolda Metro Jaya Inspektur Fadil Imran tentang upaya pembunuhan Rizieq Shihab. Polda menyatakan ini berita bohong dan kini memburu pembuat serta pemublikasi info hoaks itu.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya tidak bisa lagi membuka informasi terkait penyerangan anggota Front Pembela Islam terhadap personel Polri di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, yang mengakibatkan polisi menembak dan menewaskan enam anggota FPI. Sebab, pengusutan kasus ini diambil alih Markas Besar Polri.
”Saya mempertegas lagi bahwa sekarang perkaranya ditarik ke Mabes Polri,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus saat ditemui di Jakarta, Rabu (9/12/2020). Itu lantaran locus delicti atau tempat kejadian berlokasi di daerah Karawang, yang masuk wilayah hukum Polda Jawa Barat.
Karena itu, Yusri tidak bisa lagi memberikan pernyataan atau menjawab pertanyaan seputar penyerangan oleh anggota FPI ke personel Polri serta penembakan oleh polisi ke enam penyerang. Ia meminta pertanyaan disampaikan ke Divisi Humas Polri.
Sebelumnya, Kepala Divhumas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono, Selasa (8/12/2020), menyebutkan, selain mengambil alih penanganan kasus, Polri melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) juga membentuk tim khusus untuk memeriksa ada-tidaknya pelanggaran dari tindakan polisi. ”Semua itu agar pengusutan kasus ini transparan,” ujarnya.
Pascabentrok Polri-FPI yang menewaskan enam anggota laskar khusus FPI, beredar di media sosial berita bahwa peretas berhasil membongkar percakapan Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Fadil Imran tentang upaya pembunuhan Pemimpin FPI Rizieq Shihab. Pada bagian atas, terdapat logo media Detik.com. ”Saya sudah konfirmasi ke media Detik.com dan menyatakan tidak pernah memberitakan seperti ini. Ini editan,” ucap Yusri.
Saya sudah konfirmasi ke media Detik.com dan menyatakan tidak pernah memberitakan seperti ini. Ini editan.
Yusri menyatakan, polisi sedang mendalami pembuat dan penyebar informasi tersebut. Menurut dia, ini upaya pihak yang hendak memprovokasi masyarakat.
Insiden antara anggota Front Pembela Islam (FPI) dan polisi terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50, Senin (7/12/2020) sekitar pukul 00.30. Sejumlah penjelasan muncul terkait peristiwa yang disebut terjadi sekitar pukul 00.30 tersebut.
Irjen Fadil menyatakan, anggotanya diserang saat hendak menyelidiki kebenaran informasi terkait adanya pengerahan massa saat Rizieq akan diperiksa di Polda Metro Jaya, Senin siang. Namun, anggota tim kuasa hukum Rizieq, Aziz Yanuar, menyebut, rombongan pengawal Rizieq dihadang dan ditembak (Kompas, 9/12/2020). Rizieq dipanggil sebagai saksi terkait kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat, 14 November.
Terkait penyidikan kasus kerumunan itu, Yusri menuturkan, para penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya sudah menuntaskan gelar perkara pada Selasa malam. Namun, ia mengaku belum menerima hasil gelar perkara dari penyidik. Menurut dia, gelar perkara bertujuan menentukan semua langkah hukum selanjutnya, termasuk penetapan tersangka.
Polisi menyatakan terdapat tindak pidana dari timbulnya kerumunan massa dalam akad nikah putri Rizieq di Petamburan pada 14 November. Saat itu, akad nikah oleh FPI dijadikan satu rangkaian dengan acara peringatan Maulid Nabi.
Penyidik melihat ada tindak pidana pelanggaran Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dari timbulnya kerumunan dalam acara pernikahan. Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan atau menghalang-halangi penyelenggaraannya sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana penjara maksimal satu tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta berdasarkan pasal itu.
Belakangan, polisi juga menggunakan Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi, barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp 4.500.
Artinya, diduga ada hasutan untuk melanggar protokol kesehatan sehingga terjadi kerumunan. Yusri menjelaskan, hasutan terindikasi dari adanya undangan ke acara pernikahan tersebut, padahal semestinya pengundang tahu bahwa DKI sedang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi guna menekan penyebaran Covid-19. PSBB, menurut polisi, bagian dari kekarantinaan kesehatan.