Polemik Pekerja Ambulans Gawat Darurat Jakarta di Tengah Covid-19
Pekerja Ambulans Gawat Darurat Jakarta berunjuk rasa meminta aturan perjanjian kerja bersama dipertahankan demi melindungi para pekerja.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pekerja Ambulans Gawat Darurat Jakarta menggelar unjuk rasa di Balai Kota, Kamis (22/10/2020) siang. Mereka meminta aturan perjanjian kerja bersama atau PKB dipertahankan dan status pemutusan hubungan kerja terhadap tiga pekerja dibatalkan.
Sementara pihak manajemen, yakni Unit Pelayanan Teknis (UPT) Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, berpendapat, PKB tak berlaku bagi pekerja yang digaji dari anggaran pemerintah.
Menurut peserta aksi, Oktavianus (39), Perkumpulan Pekerja Ambulans Gawat Darurat (PPGAD) Dinas Kesehatan DKI Jakarta menolak menandatangani pakta integritas. Ada 80 dari sekitar 750 pekerja yang menolak pakta integritas itu.
Mereka yang menandatangani pakta integritas, lanjutnya, kebanyakan karyawan kontrak. ”Mereka takut kalau enggak tanda tangan pakta integritas diancam diputus kontrak oleh manajemen,” katanya.
Poin pertama pakta integritas menyebutkan, pekerja mematuhi seluruh Pedoman Peraturan Kepegawaian untuk Pegawai Unit Pelayanan Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Aturan ini, kata Oktavianus, menggantikan PKB yang berlaku sejak 2007.
”Kami juga keberatan dengan klausul yang menyebutkan ketersediaan menerima keterlambatan gaji dan tunjangan yang disebabkan mekanisme sistem keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” ujarnya.
Mereka yang menolak menandatangani pakta integritas ini mengaku dipersulit pihak UPT. Misalnya saja Rohani (39). Perempuan yang bekerja sebagai sopir ambulans ini kesulitan mengurus cuti. Padahal, dia waktu itu ingin menghadiri pernikahan adiknya di Jakarta Utara. ”Pinjaman ke bank juga dipersulit oleh manajemen,” ujar Rohani.
Kami juga keberatan dengan klausul yang menyebutkan ketersediaan menerima keterlambatan gaji dan tunjangan yang disebabkan mekanisme sistem keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Hubungan antara UPT dan pekerja sudah memanas sejak Februari lalu. Ini karena manajemen di bawah pimpinan Iwan Kurniawan mempertanyakan keabsahan serikat pekerja di instansi pemerintah.
Persoalan ini berujung pada pemecatan tiga karyawan yang menjabat di serikat pekerja, salah satunya Samsuludin (41). Pada April lalu, Samsuludin terkena demosi dari kepala operasi menjadi sopir ambulans biasa. Sebagai divisi kaderisasi di serikat, Samsuludin meminta kejelasan sikap manajemen terhadap eksistensi serikat pekerja. Dia juga mendorong serikat pekerja menentukan sikap.
Pada 16 Oktober lalu, dia bersama dua pengurus serikat lainnya menerima surat pemutusan hubungan kerja dari Unit Pelayanan Teknis Ambulans Gawat Darurat (UPT AGD) Dinkes DKI Jakarta. Tak ada pesangon yang dia dapat, hanya uang dari BPJS ketenagakerjaan.
Tak ada insentif
Polemik ini terjadi ketika pemerintah masih berjuang melawan Covid-19. Mayoritas pekerja AGD merupakan perawat dan turut mengangkut pasien Covid-19. Akan tetapi, mereka tak menerima insentif Covid-19 sebagaimana diatur dalam Pergub DKI Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemberian Insentif kepada Tenaga Kesehatan dan Tenaga Penunjang Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Wabah Covid-19.
Pasal 1 Pergub itu menyebutkan, insentif hanya diberikan kepada tenaga kesehatan dan tenaga penunjang kesehatan yang bertugas di RSUD, rumah sakit khusus daerah, pusat kesehatan masyarakat, dan rumah sakit rujukan DKI Jakarta. Berhubung UPT AGD tak termasuk faskes, mereka tak mendapatkan insentif.
”Padahal, kami juga perawat dan ikut membawa pasien positif Covid-19,” ujar Siti Nurul (38), peserta aksi lainnya.
Satu unit ambulans diperkuat oleh dua petugas. Jika kebetulan bertugas dengan sesama rekan perempuan, Siti Nurul yang membawa ambulans. Membawa pasien Covid-19 merupakan risiko terbesar karena alat pelindung diri (APD) yang diberikan tak sesuai standar. Pada September lalu, 70 pekerja AGD terinfeksi Covid-19.
Dihubungi terpisah, Kepala UPT AGD Dinkes DKI Jakarta Iwan Kurniawan menjelaskan, pemecatan terhadap tiga pekerja sudah melalui sudah proses panjang. Mereka sudah dipanggil dua kali untuk diminta keterangan, tetapi tak pernah hadir. Mereka malah memprovokasi pekerja lain untuk melawan manajemen.
”Mereka dengan terang dan jelas menolak aturan yang berlaku di AGD.
Pemecatan terhadap tiga pekerja sudah melalui proses panjang. Mereka sudah dipanggil dua kali untuk diminta keterangan, tetapi tak pernah hadir. Mereka malah memprovokasi pekerja lain untuk melawan manajemen.
Menurut Iwan, ada dua pokok persoalan. Pertama, soal eksistensi serikat pekerja yang tak sesuai aturan. AGD merupakan bagian dari institusi pemprov dan dibiayai APBD.
”Saya sudah berkonsultasi dengan Dinkes, dan Dinkes berpendapat tak boleh ada serikat pekerja di instansi pemerintah. Ini juga dikuatkan oleh biro hukum,” katanya.
Kemudian, PKB juga tak mungkin diterapkan karena aturan ini hanya berlaku di perusahaan. Dalam format PKB, status kepala UPT dan ketua serikat menjadi setara. Serikat harus dilibatkan ketika manajemen membuat kebijakan.
Menurut dia, PKB memang berlaku sebelumnya. ”Pekerja AGD ini sebelumnya di bawah yayasan yang memungkinkan adanya PKB dan serikat pekerja. Kemudian diambil alih Pemprov tahun 2007. Namun, sejak itu hingga akhir 2019, PKB ini masih diberlakukan,” katanya.
Iwan menjabat Kepala UPT AGD per Maret 2019. Di akhir tahun 2019, masa berlaku PKB habis. Iwan tak mau memperpanjang aturan itu dan menggantinya dengan pakta integritas yang pada intinya mewajibkan semua karyawan mematuhi aturan AGD.
”Saya sudah melapor di Dinkes. Ada beberapa kemungkinan untuk tiga orang yang kena PHK ini, seperti merotasi mereka ke institusi lain. Tetapi, ini berada di luar kewenangan saya untuk memindahkan orang di luar institusi,” tambahnya.
Hingga pukul 12.46, pekerja AGD dengan seragam biru laut ini masih bertahan di Balai Kota. Mereka ingin bertemu dengan Gubernur Anies Baswedan.