Beri Catatan kepada Pelajar yang Ikut Demonstrasi, Polisi Dinilai Berlebihan
Sejumlah pelajar ditahan polisi saat hendak mengikuti demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja di Tangerang, Banten. Polisi memberikan catatan khusus yang berpotensi menyulitkan mereka mendapat pekerjaan di masa mendatang.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Sejumlah pelajar ditahan polisi dalam aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Tangerang, Banten. Polisi memberikan catatan khusus kepada mereka sehingga akan memengaruhi proses mendapatkan surat keterangan catatan kepolisian. Tindakan itu oleh sejumlah pihak dinilai terlalu berlebihan.
Kepala Polres Metro Tangerang Kota Komisaris Besar Sugeng Hariyanto, Rabu (14/10/2020), mengatakan, jumlah pelajar yang diamankan sebanyak 185 orang. Mereka ditengarai turut serta dalam aksi unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja di Jakarta pada 13 Oktober 2020. Polisi menyekat para pelajar tersebut di Tangerang sebelum menuju Jakarta.
Sugeng beralasan, penyekatan itu dilakukan polisi sebagai upaya preventif agar situasi di Jakarta tidak kian ramai oleh pengunjuk rasa. Menurut Sugeng, polisi tidak bisa memastikan apakah para pelajar tersebut berniat ke Jakarta memang murni akan turut berunjuk rasa atau berbuat hal lain.
Nama-nama mereka dicatat dan dimasukkan dalam pusat data kepolisian sehingga akan menjadi catatan tersendiri ketika akan mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) di kemudian hari.
”Kemarin kami secara resmi mendapat pemberitahuan bahwa yang akan ikut aksi adalah mahasiswa. Namun, yang kami amankan kemarin justru anak-anak pelajar sehingga tidak ada sangkut pautnya untuk berangkat ke Jakarta,” kata Sugeng di Kantor Polres Metro Tangerang Kota.
Polisi memberikan catatan khusus kepada ratusan pelajar yang diamankan tersebut. Nama-nama mereka dicatat dan dimasukkan dalam pusat data kepolisian sehingga akan menjadi catatan tersendiri ketika akan mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) di kemudian hari.
Sugeng mengakui tindakan itu berpotensi membuat para pelajar akan menemui kendala mendapat pekerjaan di masa yang akan datang. Sebab, dalam SKCK yang dikeluarkan oleh polisi akan disebutkan bahwa mereka pernah diamankan saat hendak ikut berdemonstrasi.
Catatan itu sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kesempatan mereka diterima perusahaan ketika melamar pekerjaan. Oleh sebab itu, Sugeng meminta para pelajar berpikir ulang ketika diajak ikut berdemonstrasi.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai tindakan polisi tersebut berlebihan. Wewenang kepolisian ketika menerbitkan SKCK lebih kepada ketika seseorang disangka atau pernah menjalani tindak pidana. Sementara ratusan pelajar yang diamankan Polrestro Tangerang tidak pernah disangka melakukan dugaan tindak pidana tertentu.
Selain itu, demonstrasi atau protes secara damai merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak masyarakat untuk berdemonstrasi dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Oleh karena itu, menurut dia, tidak selayaknya para pelajar diberikan catatan khusus.
”Karena rujukan memberikan blacklist atau catatan terhadap seseorang itu, kan, tidak ada. Apa kemudian rujukan hukum yang digunakan polisi untuk memberikan catatan. Sementara ini belum ada tindak pidana apa pun,” katanya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, mengecam tindakan polisi itu dan menyebutnya sebagai bentuk kesewenang-wenangan. Menurut Mudzakir, tindakan hukum apabila harus merampas hak orang lain harus berdasarkan keputusan pengadilan. Pemberian catatan khusus kepada ratusan pelajar tersebut akan memberi stigma yang buruk terhadap pribadi mereka ke depan.
”Merampas hak orang itu harus berdasarkan keputusan pengadilan. Kalau cara begitu dilakukan, itu artinya polisi bukan lagi bertindak sebagai penegak hukum, melainkan penguasa,” kata Mudzakir.