Media massa dituntut jeli dalam urusan diksi untuk menjelaskan sesuatu. Salah memilih diksi, akibatnya bisa berabe.
Oleh
Apolonius Lase
·4 menit baca
Saat menyaksikan pertandingan bulu tangkis pada perhelatan SEA Games 2021 di Vietnam dalam siaran langsung TVRI, ada yang menarik perhatian saya. Selain pertandingan yang seru, saya juga tertarik pada diksi yang digunakan komentator saat itu, yakni ”sayang sekali, kok bersarang di net”.
Ketika kok yang dipukul pebulu tangkis tidak bisa menyeberang ke lapangan lawan karena tersangkut di net, lahirlah ungkapan tersebut. Ungkapan itu berulang-ulang diucapkan komentator sepanjang pertandingan. Ungkapan serupa diucapkan komentator yang sama keesokan harinya saat melaporkan jalannya pertandingan.
Tepatkah pemilihan ungkapan kok bersarang di net itu?
Diksi bersarang yang digunakan komentator itu seketika membawa saya pada imajinasi sebuah benda tempat unggas bertelur atau mengerami telurnya, yaitu sarang. Seperti kita semua sudah mafhum, sarang merupakan tempat induk burung atau ayam akan tinggal mengerami telurnya hingga menetas. Di sarang itu pulalah anak-anak burung diberi makan oleh induknya.
Guna memastikan bahwa kata bersarang belum meluas maknanya dari yang kita kenal selama ini, saya pun langsung mengecek apa kata kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ternyata pada kata bersarang belum ada tambahan makna baru.
Begini menurut KBBI, bersarang adalah (1) membuat sarang; (2) bertempat (berkediaman, bersembunyi, dan sebagainya); (3) mengenai (tentang pukulan dan sebagainya); masuk (tentang tikaman, peluru, dan sebagainya), (4) masuk ke dalam gawang (gol).
Dari makna leksikal di atas, bisa kita pahami bahwa pada kata bersarang ada konsep yang bisa kita pahami, antara lain, ”tinggal” dan ”masuk”. Ya, saat bersarang, burung itu tinggal beberapa saat di sarang. Demikian juga pada saat bersarang, burung pun masuk ke sarang karena biasanya sarang memiliki ruang.
Konsep ini kemudian menjadi dasar untuk membentuk sebuah makna. Secara kasatmata, pelaku atau obyek atau sesuatu yang bersarang itu masuk, berdiam, bahkan tinggal beberapa saat di sarang atau benda yang dianggap sarang.
Ayam atau burung membutuhkan waktu yang tidak hanya sehari untuk mengerami telurnya hingga menetas menjadi bayi burung atau bayi ayam. Intinya, ada rentang waktu untuk tinggal dan diam.
Bersarang di gawang
Sebenarnya, kata bersarang bukanlah hal yang baru dipakai di dunia olahraga. Di cabang sepak bola, misalnya, kata bersarang acap kali dipakai untuk menggambarkan bola yang ditendang ke arah gawang dan penjaga gawang lawan tak mampu menghalanginya.
Pada saat bola sudah masuk gawang itu lahirlah ungkapan bola bersarang di gawang. Ada momen bola diam atau, kata orang Betawi, ngendon atau ngejedog selama beberapa saat setelah tertahan oleh jaring sebelum dipungut kiper atau pemain lainnya. Saking seringnya analogi ini digunakan, tidak salah jika KBBI pun mencatatnya.
Jika komentator bulu tangkis itu mengambil analogi di cabang sepak bola, bola bersarang di gawang, menurut saya, pilihan katanya kurang tepat. Sebab, jika kok disebut bersarang di net, konsep ”bersarang” seperti yang dimaknai di KBBI sama sekali tidak terpenuhi, termasuk juga konsep ”masuk”.
Dalam pertandingan saat si komentator itu mengucapkan kok bersarang di net, saya tidak melihat kok yang disebut bersarang di net itu berdiam di net. Kok dipukul, terdorong ke udara, lalu meluncur sesuai tekanan yang didapatkan.
Saat mengenai net, kok lalu jatuh di area lapangan si pebulu tangkis yang memukulnya. Istilahnya, jatuh di lapangan sendiri. Proses dari kok menyentuh net hingga jatuh ke permukaan lapangan sepertinya kurang cocok disebut dengan istilah bersarang.
Demikian pula jika kok yang dipukul mengenai net, tersangkut di antara jaring-jaring, tidak bergerak, sebelum kemudian diambil salah satu pemain agar pertandingan berlangsung kembali. Kok tidak masuk ke lapangan pertandingan lawan.
Seperti sering diingatkan oleh para ahli bahasa dan juga praktisi media bahwa media massa dituntut jeli dalam memilih diksi untuk menjelaskan sesuatu. Dengan demikian, pesan yang ada dalam kata atau kalimat bisa diterima dengan baik oleh penerima pesan kita.
Kekeliruan yang dibiarkan terus-menerus bisa dianggap menjadi sebuah kebenaran pada masa yang akan datang.
Saya khawatir, ungkapan bersarang di net untuk konteks bulu tangkis ini, jika dipakai terus-menerus dan dibiarkan, bisa-bisa dianggap sebagai sebuah diksi yang tepat.
Kekeliruan yang dibiarkan terus-menerus bisa dianggap menjadi sebuah kebenaran pada masa yang akan datang. Lihat saja penggunaan kata pedestrian, alih-alih trotoar, umpamanya. Banyak pengguna bahasa menganggapnya sebagai trotoar. Padahal, jika kita melihat KBBI, kata pedestrian berarti ’pejalan kaki’.
Sama dengan ungkapan mengentaskan kemiskinan yang terus dipopulerkan selama Orde Baru, alih-alih mengangkat warga dari kemiskinan. Padahal, dalam ungkapan mengentaskan kemiskinan justru yang diangkat itu adalah kemiskinannya. Kemiskinan dibiarkan terus terentaskan, terangkat.
Padahal, tujuannya justru sebaliknya, mengurangi atau mengatasi kemiskinan. Jangan heran jika sebagian orang berpendapat bahwa bangsa Indonesia selama Orde Baru masih saja miskin dibandingkan dengan negara lain. Wong istilah yang dipakai saja keliru.
Jadi, dalam kasus itu, tak logis jika kok disebut bersarang di net. Si komentator cukup mengatakan kok mengenai net atau kok terbentur net saja jika kok yang dipukul mengenai net, lalu jatuh di lapangan sendiri.
Sementara kok tersangkut di net atau kok menyangkut di net bisa menjadi pilihan untuk menggambarkan bahwa kok yang dipukul mengenai net, tersangkut di antara jaring-jaring, dan tidak memasuki bidang lapangan lawan.