Kata ”Kejar-kejaran” dan Penggunaan Makna Resiprokal
Penggunaan kata yang tidak tepat, serampangan, di media massa, bisa berefek panjang. Yang berbahaya adalah kalau ketidaktepatan itu sudah pada taraf melawan logika.
Oleh
Nur Adji
·4 menit baca
Kadang muncul perasaan geli, kadang gemas, tapi tidak sampai geli geman, kalau melihat atau mendengar pemakaian bahasa, khususnya di televisi. Namun, pada akhirnya, ada saja yang bisa dipetik menjadi pelajaran.
Beberapa waktu lalu, umpamanya, satu stasiun televisi menayangkan berita aksi balap liar yang meresahkan warga. Warga resah karena para pelaku tak jarang juga berbuat onar. Aparat merespons keresahan warga itu dengan berpatroli, yang ujung-ujungnya akan menangkap para pelaku untuk diberi pengertian.
Biasanya dalam (proses) penangkapan itu, aparat agak kesulitan karena pelaku balap liar kabur kocar-kacir. Aparat memburu para pelaku laksana memburu tikus yang kabur karena takut ”diapa-apakan”.
Jurnalis atau pekerja media, yang kadang turut dalam operasi itu, lalu mewartakan di medianya. Saking semangat menulis, mereka kadang tidak memperhatikan pemakaian bahasanya.
Ada yang menulis judul beritanya ”Polisi Saling Kejar dengan Pelaku Balap Liar”, ”Polisi Kejar-kejaran dengan Pelaku Balap Liar”, bahkah ada juga yang menulis ”Polisi Saling Kejar-mengejar dengan Pelaku Balap Liar”.
Tidak hanya dalam pemberitaan soal ”penangkapan” pelaku balap liar, hal yang sama bisa juga ditemukan dalam kasus lain. Di stasiun TV lain, misalnya, tertayang kalimat: ”Pengedar Sabu Dibekuk Polisi—Terjadi Kejar-kejaran di Tol Tangerang-Jakarta dengan Pelaku”.
Kata kejar-kejaran juga dapat ditemukan di media lain dengan makna yang lain pula. Misalnya, ”Sebelum ditangkap, terjadi aksi kejar-kejaran menggunakan mobil antara polisi dengan tersangka”.
Kalimat yang mengandung saling kejar, kejar-kejaran, dan saling kejar-mengejar itu bisa kita dapatkan pada keterangan di bagian bawah tayangan. Lebih sering lagi kita dapatkan dari ujaran si pembawa berita saat membacakan peristiwa tersebut.
Makna resiprokal
Kita tahu bahwa kata saling digunakan untuk menerangkan perbuatan yang berbalasan. Kata ini bersinonim dengan kata baku. Jadi, kalau kita buat kalimat ”polisi dan penjahat saling kejar”, artinya kalimat tersebut bermakna, baik polisi maupun penjahat sama-sama mengejar.
Wujud lain dari kalimat ini adalah ”polisi dan penjahat kejar-mengejar” atau ”polisi dan penjahat (ber)kejar-kejaran”. Makna kedua kalimat contoh ini sama dengan kalimat yang menggunakan saling.
Kalimat menjadi berlebihan jika kata saling digabungkan dengan kata kejar-mengejar (”polisi dan penjahat saling kejar-mengejar”) atau (ber)kejar-kejaran (”polisi dan penjahat saling (ber)kejar-kejaran”). Ihwal ini biasanya menjadi santapan sehari-hari anak SMA saat mengerjakan soal ujian bahasa Indonesia.
Kata saling bermakna resiprokal. Demikian pula kejar-mengejar dan (ber)kejar-kejaran. Dalam ilmu bahasa kata sejenis ini disebut kata kerja resiprokal. Pada kedua kata itu terkandung makna bahwa peristiwanya terjadi secara berbalasan. Pada suatu kesempatan sang polisi yang mengejar, pada suatu kesempatan lain pelakunya yang mengejar. Kira-kira demikian jika menggambarkan peristiwa kejadian di atas.
Akhiran -an pada kejar-kejaran juga membentuk makna ’saling, resiprokal’. KBBI menjelaskan akhiran -an sebagai sufiks pembentuk verba, ’melakukan sesuatu atau tindakannya banyak (saling)’, seperti jualan dan pacaran.
Dalam bahasa Indonesia, kata lain yang bermakna resiprokal yang dapat dijadikan contoh ialah berpelukan–peluk-memeluk–(ber)peluk-pelukan, bertinju–tinju-meninju–(ber)tinju-tinjuan, dan seterusnya.
Kalimat ”Polisi Saling Kejar dengan Pelaku Balap Liar” dan ”Polisi Kejar-kejaran dengan Pelaku Balap” dapat dikatakan gramatikal, tetapi tidak secara leksikal. Saling kejar dan kejar-kejaran dapat digunakan dalam struktur kalimat tersebut. Namun, jika dikaitkan dengan konteks kalimat secara keseluruhan, maknanya tidak menggambarkan peristiwa sebenarnya.
Mungkinkah polisi yang sedang mengejar pelaku balap liar pada akhirnya juga dikejar oleh pelaku balap liar? Padahal, dalam berita tegas dinyatakan bahwa yang mengejar adalah polisi, bukan pelaku balap liar.
Dalam kasus ini, polisi bertindak sebagai subyek yang sedang mengejar pelaku balap liar yang menjadi obyek. Maka, kalimat yang menggambarkan peristiwa pengejaran itu mestinya adalah ”Polisi Mengejar Pelaku Balap Liar” atau ”Pelaku Balap Liar Dikejar Polisi.
Mungkinkah polisi yang sedang mengejar pelaku balap liar pada akhirnya juga dikejar oleh pelaku balap liar?
Kita pun dapat membuat kalimat yang lebih baik untuk contoh ”Pengedar Sabu Dibekuk Polisi — Terjadi Kejar-kejaran di Tol Tangerang-Jakarta dengan Pelaku”. Misalnya, ”Pengedar Sabu Dibekuk Polisi — Terjadi Pengejaran Pelaku di Tol Tangerang-Jakarta”.
Tentu saja kalimat ”Terjadi Pengejaran Pelaku di Tol Tangerang-Jakarta” merupakan kalimat penjelas bahwa sebelum membekuk pengedar, polisi terlebih dahulu mengejar pelaku di jalan tol Tangerang-Jakarta. Ada aksi pengejaran oleh polisi sebelum pelakunya ditangkap.
Adapun kata kejar-kejaran dalam kalimat ”Sebelum ditangkap, terjadi aksi kejar-kejaran menggunakan mobil antara polisi dengan tersangka” mestinya dapat diganti dengan ”aksi pengejaran” saja. Maka, kalimat perbaikannya adalah ”Sebelum ditangkap, terjadi aksi pengejaran terhadap tersangka oleh polisi”.
Saling kejar atau (ber)kejar-kejaran dapat digunakan, misalnya, dalam kalimat ”delapan pelari saling kejar untuk meraih posisi nomor satu”. Kalimat lain, misalnya, adalah ”guru dan siswa kejar-kejaran di lapangan basket dalam lomba tujuh belasan”.
Ada dua pihak yang melakukan aksi berbalasan. Pada satu kesempatan ada pelari yang mengejar, pada kesempatan lain ada pelari yang dikejar, demikian seterusnya, sampai garis finis menghentikan mereka.
Ketidaktepatan seperti contoh di atas dapat juga ditemukan di media daring, terutama pada berita kriminalitas. Yang repot adalah kalau ketidaktepatan itu dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat pengonsumsi berita. Apalagi jika sumber ketidaktepatan itu adalah media massa, baik media cetak maupun khususnya media elektronik (baca: televisi).
Ungkapan ”tontonan adalah tuntunan” tidak bisa dinafikan. Apa yang tertayangkan, meski salah, biasanya menjadi contoh untuk diikuti, terus-menerus, tanpa dicari tahu kebenarannya.