Meski waktunya terasa begitu sempit, hadirnya aturan soal penunjukan penjabat kepala daerah haruslah menjadi prioritas pemerintah. Sebab, kekosongan jabatan akan mulai terjadi setelah Lebaran.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Bersiaplah dengan kemungkinan kompleks dan rumit! Kalimat itu bukan soal ungkapan pesimistis atau optimistis, melainkan sebagai alarm bahwa situasi itu akan datang. Meminjam istilah pendiri Kompas, Jakob Oetama, media perlu mengembangkan komunikasi harapan (communication of hope). Namun, di sisi lain, media juga perlu menjadi early warning system agar tidak terjadi pendadakan sosial.
”Hope for the best and prepare for the worst.” Itu saya sampaikan kepada pakar otonomi daerah Prof Dr Djohermansyah Djohan dalam kanal Youtube Backtobdm, Kamis, 21 April 2022. Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang pernah menjadi Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri serta pernah menjadi Penjabat Gubernur Riau dan Aceh itu mengamini dan mewanti-wanti agar elite mengantisipasi situasi yang rawan dan bisa rumit secara politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Bangsa ini akan memasuki masa penuh tantangan. Tantangan ekonomi akibat pandemi Covid-19, dampak perang Rusia dan Ukraina yang belum tahu kapan berakhir, serta tantangan sosial sebagaimana digambarkan pemikir kebinekaan Sukidi di harian Kompas, Kamis, 21 April 2022.
Sukidi menulis sebagai berikut, ”Keutuhan Indonesia sedang dipertaruhkan. Masyarakat semakin terbelah. Prasangka, kebencian, bahkan permusuhan mewarnai karakter baru masyarakat yang terbelah. Kita kehilangan figur pemimpin yang tampil menjadi pemersatu rakyat. Alih-alih mempersatukan rakyatnya yang terbelah, tak sedikit pemimpin malah mempertontonkan libido kekuasaan, tanpa peduli atas pembelahan sosial yang semakin memprihatinkan.”
Tantangan politik juga tak kalah peliknya. Sejumlah menteri mulai ancang-ancang ikut kontestasi pemilihan presiden, sementara partai politik mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 14 Februari 2024, dan hal itu memerlukan dana besar. Selain problematika Pemilu 14 Februari 2024, ada 271 daerah di Tanah Air akan dijabat penjabat kepala daerah dalam kurun waktu Mei 2022 hingga Pilkada Serentak 27 November 2024. Ini menuntut perhatian ekstra. Memang kekosongan itu tak terjadi sekaligus, tetapi bertahap sesuai periode jabatan.
Dimulai dari Gubernur Banten, Gubernur Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Papua Barat yang masa jabatan akan habis 15 Mei 2022, menyusul kemudian Aceh (5 Juli 2022) dan Jakarta (16 Oktober 2022). Pada 2022 akan ada kekosongan jabatan di 101 daerah dengan rincian 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota.
Kemudian pada 2023 akan ada kekosongan di 170 daerah, yakni 17 gubernur, 115 bupati, dan 38 wali kota. Pilkada itu akan mencapai puncak di Pilkada Serentak 27 November 2024 yang diikuti 541 daerah otonomi, kecuali Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi ini adalah sebuah eksperimen demokrasi yang luar biasa dan sangat berisiko. ”Perancang undang-undang tidak memikirkan kerumitan situasi,” kata Djohermansyah.
Para penjabat kepala daerah itu akan memimpin sebuah daerah yang begitu luas dan dalam waktu yang lama dengan anggaran yang mungkin sangat besar. Mereka akan menjadi penjabat kepala daerah menjelang tahun politik di mana tentunya partai politik punya kepentingan untuk mendapatkan keuntungan politik, termasuk pengamanan suara dan mungkin juga sumbangan dana politik.
Pilkada Serentak 27 November 2024 untuk 541 wilayah itu akan dilaksanakan oleh sebuah pemerintahan baru terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Sebulan setelah presiden baru terpilih, pemerintahan baru akan dihadapkan pada gawe besar Pilkada Serentak 27 November 2024.
Jika dihitung dari jumlah penduduk, 271 daerah yang akan kosong pemimpin definitif dan tanpa mandat demokrasi, menurut data Djohermansyah, akan ada 243.992.959 jiwa atau 90 persen penduduk Indonesia. Wilayah itu akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah yang ditunjuk Jakarta. Sebuah proses sentralisasi politik. Model penunjukan itu benar secara undang-undang, tetapi akan menghadapi kelemahan legitimasi politik. Apalagi, untuk masa jabatan penjabat gubernur yang cukup lama berkisar satu tahun hingga hampir tiga tahun.
Para penjabat kepala daerah itu akan memimpin sebuah daerah yang begitu luas dan dalam waktu yang lama dengan anggaran yang mungkin sangat besar. Mereka akan menjadi penjabat kepala daerah menjelang tahun politik di mana tentunya partai politik punya kepentingan untuk mendapatkan keuntungan politik, termasuk pengamanan suara dan mungkin juga sumbangan dana politik. Pertemuan berbagai kepentingan membuka peluang terjadinya transaksi yang rawan suap dan hadirnya broker politik.
Dalam kompleksitas persoalan itulah perintah Mahkamah Konstitusi (MK) agar pemerintah membuat aturan penunjukan penjabat kepala daerah sangat beralasan. Meskipun saran dari MK itu ada di bagian pertimbangan, saran itu harus dilaksanakan. Perlu ada aturan main yang jelas, transparan, demokratis, dan melibatkan publik untuk pengisian kekosongan jabatan kepala daerah. MK juga memutuskan, pengisian jabatan kepala daerah dari unsur TNI/Polri jika ditugaskan untuk menduduki jabatan sipil harus mundur dari dinas aktif.
Meski waktunya terasa begitu sempit, hadirnya aturan soal penunjukan penjabat kepala daerah haruslah menjadi prioritas pemerintah. Kerja cepat membuat aturan penjabat kepala daerah itu harus diambil secepat pembahasan RUU Ibu Kota Negara karena kekosongan jabatan akan mulai terjadi setelah Lebaran.
Seorang pemimpin selayaknya melihat ke depan dan melakukan antisipasi atas segala kemungkinan yang bakal terjadi. Sudahi kegaduhan republik dengan tidak lagi memproduksi wacana tak produktif yang menjengkelkan dan merendahkan akal sehat publik. Wacana penundaan Pemilu 2024 yang disebut sebagai ikhtiar untuk menolong seseorang saat ditanya di akhirat tentang apa yang dilakukan pada masa pandemi adalah sebuah guyonan politik yang melecehkan akal sehat.