Jika Putusan MK Tak Dipatuhi, Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Bisa Cacat Hukum
Kemendagri akan mempelajari putusan MK yang memerintahkan pemerintah membuat peraturan penunjukan penjabat kepala daerah. Kemendagri masih menunggu salinan putusan MK tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri masih menunggu salinan putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pemerintah untuk menyusun peraturan mengenai pengisian penjabat kepala daerah. Berbagai pemangku kepentingan mengingatkan, ketidakpatuhan pada perintah MK itu bisa berdampak pada penunjukan penjabat akan dinilai cacat hukum.
Dalam pertimbangan putusan uji materi terhadap pasal yang mengatur penjabat kepala daerah di UU 10/2016 tentang Pilkada, Rabu (20/4/2022) MK memerintahkan pemerintah menerbitkan peraturan terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah. MK mengingatkan pentingnya pengisian kekosongan jabatan kepala daerah jelang Pilkada Serentak 2024 dilakukan secara demokratis. MK juga menyoroti bahwa anggota TNI-Polri aktif tidak bisa menjadi penjabat kepala daerah.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan dihubungi, Kamis (21/4/2022), mengatakan, hingga kemarin, Kementerian Dalam Negeri belum mendapat salinan resmi putusan MK sehingga belum dapat berkomentar terlalu detail. ”Kami belum tahu mandatnya itu apa, apakah memang itu harus, apakah itu cukup dengan aturan yang sudah ada saja, apakah itu hanya untuk dipertimbangkan karena kami belum punya salinan, jadi kami belum bisa memastikan untuk menindaklanjutinya,” ujarnya.
Namun, pada prinsipnya, lanjut Benni, Kemendagri tentu akan memperhatikan apa yang sudah menjadi keputusan MK. Namun, hal itu harus dipelajari terlebih dulu sebelum Kemendagri dapat menyampaikan tindaklanjutnya. Sementara itu, terkait dengan peringatan MK bahwa TNI-Polri aktif tak bisa menjadi penjabat kepala daerah, Benni mengatakan, Kemendagri akan tetap merujuk aturan perundang-undangan yang ada. Artinya, penjabat kepala daerah itu harus berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya atau JPT Pratama.
Baca juga: MK Perintahkan Pemerintah Buat Peraturan Terkait Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Adapun pada tahun 2022 akan ada 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya dan akan digantikan penjabat kepala daerah sampai ada kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024.
Bisa cacat hukum
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang mengatakan, putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat sehingga tidak perlu ada perbedaan tafsir lagi. Untuk itu, semua pihak harus tunduk terhadap putusan itu, begitu pula pemerintah.
”Kalau putusan MK itu dilanggar, pengangkatan penjabat akan menjadi cacat hukum. Kalau dia cacat hukum, ya, batal demi hukum. Kalau dia batal demi hukum, sementara dia (ASN) masih tetap menjabat, maka keputusannya tidak mempunyai kekuatan hukum,” ujar Junimart.
Dengan adanya putusan MK itu, lanjut Junimart, pemerintah wajib menerbitkan aturan turunan dari regulasi undang-undang yang ada. Ia pun berharap pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, dapat bergerak cepat karena gelombang pertama penjabat kepala daerah akan mulai bertugas pada pertengahan Mei 2022.
Baca juga: Sistem Pemilihan Penjabat Kepala Daerah yang Tertutup Buka Ruang Korupsi
Ia mengaku beberapa kali telah mengingatkan Mendagri agar sebaiknya disusun regulasi turunan dalam penunjukan penjabat ini. Misalnya, tahapan dan mekanisme detail mengenai ASN yang nanti akan ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah. Semua itu, menurut dia, harus melalui tahapan yang transparan, akuntabel, dan demokratis.
Selain itu, di dalam aturan turunan tersebut, perlu juga diatur soal asesmen bagi para penjabat kepala daerah. Asesmen ini dianggap tidak menabrak undang-undang yang ada karena bertujuan untuk mengedepankan akuntabilitas dan asas-asas pemerintahan yang baik.
Berkaitan dengan putusan MK yang menyoroti soal TNI-Polri aktif tak boleh menjadi penjabat kepala daerah, Junimart sependapat dengan hal itu. Sebab, dari data Kemendagri, jumlah ASN yang saat ini duduk di posisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya dan JPT Pratama telah mencukupi. ”Artinya, kalau sudah cukup, ya, tentu tidak perlu diambil dari institusi-institusi lain,” katanya.
Bergerak cepat
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan juga menilai, Kemendagri harus mematuhi putusan MK. Putusan tersebut wajib dipedomani sebagai bagian dari ketaatan pada hukum.
”Putusan MK final dan mengikat. Jangan coba-coba tidak mematuhi, bisa-bisa pemerintah dianggap tidak menjaga rule of law dan tidak menghormati konstitusi. Itu sama saja mengabaikan negara demokrasi yang salah satunya menegakan rule of law,” ujar Djohermansyah.
Djohermansyah sependapat dengan Junimart bahwa Kemendagri harus bergerak cepat. Jika pemerintah mampu menyelesaikan aturan turunan Undang-Undang Ibu Kota Negara dengan cepat, seharusnya aturan turunan mengenai penunjukan penjabat kepala daerah yang sangat mendesak juga bisa dilakukan dengan cepat.
Untuk sementara, sembari menunggu Kemendagri menuntaskan penyusunan aturan turunan terkait penunjukan penjabat kepala daerah, semua tugas gubernur, bupati, wali kota yang masa jabatannya sudah berakhir bisa diserahkan terlebih dulu kepada sekretaris daerah. Sekretaris daerah akan menjabat sebagai pelaksana harian kepala daerah.
Baca juga: Kasak-kusuk Tawaran Uang hingga Suara Jelang Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Di sisa waktu yang ada, Kemendagri bisa menyelesaikan peraturan pemerintah sebagai aturan turunan undang-undang. Kemudian, Kemendagri melaksanakan tahapan yang diatur dalam aturan turunan itu, termasuk melakukan pelatihan kepada para penjabat kepala daerah terpilih. Setelah itu, para pelaksana harian sekda bisa diganti oleh penjabat kepala daerah terpilih.
”Artinya, jangan dipaksakan pada pertengahan Mei nanti diisi orang-orang tanpa mengikuti putusan MK. Jalan keluarnya, kan, boleh diangkat sekda sebagai pelaksana harian kepala daerah, sementara waktu menunggu proses seleksi dan pelatihan dari kepala daerah yang penjabat dari ASN sesuai perintah putusan MK,” ucap Djohermansyah.
Berkaitan dengan pembuatan aturan turunan terkait penunjukan penjabat, Djohermansyah mengingatkan Kemendagri untuk memperhatikan putusan MK. Artinya, mekanismenya harus dibuat transparan, demokratis, terbuka, akuntabel, serta ada keterlibatan publik. Ia menyarankan agar dalam penunjukan penjabat nanti melibatkan tim panitia seleksi (pansel). Tim pansel itu tak hanya melibatkan pihak pemerintah, tetapi juga pihak-pihak independen, seperti akademisi.