Kemajemukan bangsa ibarat pisau bermata dua. Ia bisa menjelma sebagai berkah dan kutukan sekaligus.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Keutuhan Indonesia sedang dipertaruhkan. Masyarakat semakin terbelah. Prasangka, kebencian, bahkan permusuhan mewarnai karakter baru masyarakat yang terbelah. Kita kehilangan figur pemimpin yang tampil menjadi pemersatu rakyat. Alih-alih mempersatukan rakyatnya yang terbelah, tak sedikit pemimpin malah mempertontonkan libido kekuasaan, tanpa peduli atas pembelahan sosial yang semakin memprihatinkan.
Padahal, persatuan menjadi warisan dan kesepakatan luhur pendiri bangsa. Republik ini meraih kemerdekaan dan mampu berdiri tegak di atas pilar kebinekaan berkat persatuan. Persatuan menjadi spirit perjuangan kolektif para pendiri bangsa, bukan sekadar untuk melawan kolonialisme yang brutal, melainkan juga untuk membentuk negara Indonesia.
Republik ini didirikan oleh mereka yang menjiwai sepenuhnya arti penting persatuan untuk membentuk Indonesia yang majemuk. ”Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam),” ujar Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam Kongres Sarekat Islam di Bandung pada tahun 1916. ”Kita berusaha sepenuhnya mempersatukan seluruh atau sebagian besar bangsa kita,” ujarnya. Islam yang diajarkan oleh Tjokro kepada para pendiri bangsa ini bercorak nasionalistis karena Islam diyakini sebagai kekuatan pemersatu bangsa yang majemuk.
Dengan meneladani Tjokro sebagai ”pujaan dan cermin hidupnya”, tulis Cindy Adams dalam menceritakan Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams (1965), Soekarno pun mengikuti Islam yang diajarkan gurunya dengan penegasan bahwa ”I am convinced that it is only this unity which will bring us to the realization of our dreams: A free Indonesia” (Sukarno, Nationalism, Islam and Marxism, 1969:36). Dari pengasingan di Bengkulu (1938-1942), Soekarno menjadi guru Muhammadiyah yang mengajarkan Islam untuk kecintaan kepada Tanah Air.
Spirit persatuan untuk meraih kemerdekaan itu yang terefleksikan pada itikad mulia Soekarno ketika menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada tahun 1963 kepada Mgr Albertus Soegijapranata, orang Indonesia pertama yang menjadi Uskup Agung, atas jasanya dalam menumbuhkan persatuan dan nasionalisme di kalangan umat Katolik untuk berjuang meraih kemerdekaan. ”Jika kita benar-benar Katolik sejati, sekaligus kita juga patriot sejati,” tulis Soegija dalam ”Surat Gembala Ulang Tahun 12,5 Tahun Tahbisan Uskup”, 9 Februari 1953. ”Karenanya, kita adalah 100 persen patriot, karena kita adalah 100 persen Katolik,” ungkapnya.
Persatuan untuk meraih kemerdekaan, membentuk republik, dan menumbuhkan kecintaan kepada Tanah Air telah menjadi karakter utama para pendiri bangsa dari berbagai agama, etnis, dan asal-usul yang berbeda. Hal ini amat sangat penting untuk ditegaskan agar para pemimpin sekarang memiliki kesadaran penuh untuk menjiwai perjuangan para pendiri bangsa.
Menjadi Katolik sejati, dengan demikian, menjadi patriot sejati. Kredo mulia ini juga mestinya menjadi komitmen luhur setiap warga dengan tradisi dan agama yang berbeda. Keberagaman yang benar selalu paralel dengan kecintaan kepada Tanah Air karena negara Pancasila merefleksikan kesepakatan luhur bangsa dengan tradisi dan agama yang majemuk. Bahkan, terhadap warga negara yang tidak percaya kepada Tuhan sekalipun, ia tetap memiliki dorongan kebaikan yang natural pada dirinya untuk mencintai Indonesia.
Persatuan untuk meraih kemerdekaan, membentuk republik, dan menumbuhkan kecintaan kepada Tanah Air telah menjadi karakter utama para pendiri bangsa dari berbagai agama, etnis, dan asal-usul yang berbeda. Hal ini amat sangat penting untuk ditegaskan agar para pemimpin sekarang memiliki kesadaran penuh untuk menjiwai perjuangan para pendiri bangsa, terutama sebagai sumber inspirasi dan keteladanan untuk menegakkan kembali tali persatuan yang pudar di tengah kemajemukan bangsa.
Kemajemukan bangsa ibarat pisau bermata dua. Ia bisa menjelma sebagai berkah dan kutukan sekaligus. Sayangnya, kemajemukan bangsa ini telah menjelma menjadi kutukan (the curse of diversity) ketika perbedaan etnik menjadi sumber prasangka sosial, perbedaan pilihan politik menjadi sumber konflik, dan perbedaan agama menjadi pemicu kebencian dan kekerasan. Teror atas nama Tuhan juga terjadi di negeri yang berketuhanan ini.
Agar ”kutukan keragaman” ini tidak semakin memperburuk kondisi keterbelahan sosial menjelang Pemilu 2024, kemajemukan harus ditransformasikan menjadi berkah dan modal sosial untuk merajut kembali tali persatuan. Kemajemukan harus diikat dengan tali persatuan agar kita berdiri kokoh sebagai bangsa. Ikhtiar mulia ini dapat diwujudkan, antara lain, dengan mengembalikan fungsi agama yang selama ini telah salah kaprah diperalat sebagai kekuatan politik identitas, yang menjerumuskan bangsa ini pada spiral kebencian dan permusuhan yang nyaris tak berkesudahan.
Agama-agama harus dikembalikan lagi pada fungsi sentralnya sebagai sumber belas kasih (compassion) karena ”Prinsip ini menempati posisi sentral di dalam jantung seluruh agama, etika, dan tradisi spiritual yang menuntun kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan, menghapuskan penderitaan sesama manusia, menghormati kesucian manusia, dan memperlakukan semua manusia, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak,” tulis Karen Armstrong, seorang monoteis bebas, dalam Twelve Steps to a Compassionate Life (2011).