Impian Soekarno tentang Indonesia sebagai ”negara gotong royong” harus ditegakkan dengan bersandarkan pada wajah kembar politik yang tak terpisahkan: politik kemanusiaan dan politik belas kasih.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Di tengah ketidakpastian, kesenjangan, dan penderitaan, politik semakin jauh dari hajat hidup rakyat. Alih-alih mewujudkan hajat kemanusiaan yang universal, politik justru mempertajam konflik dan polarisasi sosial. Konsekuensinya, masyarakat kita tidak hanya terpisahkan dan teralienasi satu dengan yang lain, tetapi juga terlibat jauh pada kebencian dan permusuhan antarsesama anak bangsa.
Padahal, ”negara Indonesia yang kita dirikan negara gotong royong”, kata Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 sambil berpesan agar, pertama, ”kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama” dan, kedua, kita mengamalkan ”prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia”.
Sebagai karakter utama dari identitas nasional bangsa, gotong royong merefleksikan kebajikan sosial yang otentik, memiliki karakter yang inklusif dan universal, serta melampaui batas agama, suku, etnis, bahkan nasion.
Saat tali ikatan sosial terkoyak dan penderitaan hidup rakyat banyak menjadi taruhan utama bangsa, spirit gotong royong mengikat kita, satu warga dengan warga yang lain, untuk bergandeng tangan dan bekerja sama dalam mewujudkan kemanusiaan yang satu dan setara, adil dan makmur, demi kemajuan Indonesia.
Dengan kesadaran penuh akan hidup yang saling kebergantungan antarsesama manusia dan bangsa, prinsip gotong royong menuntut setiap warga terlibat secara bersama-sama dan aktif dalam memikul tanggung jawab kemanusiaan atas kesengsaraan dan penderitaan warga yang lain.
Spirit gotong royong yang dicita-citakan Soekarno sebagai etika kebajikan sosial masyarakat Indonesia juga menjadi kegelisahan moral dan intelektual dari filsuf pencerahan Inggris kelahiran Skotlandia, Adam Smith (1723-1790), ketika merefleksikan kebajikan sosial yang membentuk karakter moral masyarakat Inggris.
Hanya saja, Smith lebih dikenal publik sebagai Bapak Ekonomi Modern dengan karya magnum opus yang sudah klasik, ”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”, yang terbit pertama kali pada 1776. Padahal, jauh sebelumnya, Smith adalah filsuf moral dan sosial par excellence yang menaruh perhatian serius terhadap masalah kemanusiaan dengan merujuk pada kapasitas kita untuk melibatkan diri secara murah hati dan belas kasih atas penderitaan dan harapan orang lain.
Visi kemanusiaan Smith yang terefleksikan pada perasaan simpatik yang mendalam atas penderitaan orang lain ini terdokumentasikan pada The Theory of Moral Sentiments yang terbit tahun 1759. Smith mendeskripsikan pentingnya belas kasih (compassion) untuk menunjukkan suatu kualitas dasar dan natural yang mengantarkan manusia untuk bersikap peka dan sensitif secara moral dan emosional pada penderitaan orang lain.
”Belas kasih”, tulis Smith dalam The Theory of Moral Sentiments (1759, of sympathy), merefleksikan ”emosi yang kita rasakan atas penderitaan orang lain ketika kita melihatnya [secara langsung] atau didesain untuk sekadar membayangkannya dengan cara yang sangat hidup”.
Dalam konteks ini, ”belas kasih”, ”rasa kasihan”, ”simpatik”, dan ”kemurahan hati”, yang menjadi kosakata kunci dalam The Theory of Moral Sentiments, merefleksikan sejumlah kualitas natural dari karakter utama manusia yang mengantarkan kita pada kepekaan moral dan kemanusiaan yang luhur atas kesengsaraan dan penderitaan orang lain.
Sejumlah nilai kebajikan sosial (social virtues) yang menjadi karakter utama pencerahan Inggris ini, menurut Gertrude Himmelfarb dalam The Roads to Modernity (2005), biasanya mengikat manusia, antara satu orang dan yang lain, sebagai suatu ikatan kebajikan sosial yang esensial untuk menumbuhkan kepekaan bersama dan kolektif atas kesengsaraan dan penderitaan orang lain. Kemanusiaan dan belas kasih menempatkan diri kita pada posisi yang sama dengan mereka yang menjalani penderitaan hidup sehingga kita bisa merasakan kepahitan hidup yang sama.
”Dengan imajinasi”, tulis Smith dalam The Theory of Moral Sentiments (1759, of sympathy), ”kita menempatkan diri kita dalam situasinya [yakni, penderitaan orang lain], dan kita membayangkan diri kita menanggung semua penderitaan yang sama, serta kita masuk, seolah-olah, ke dalam tubuhnya dan, dalam beberapa hal, menjadi orang yang sama dengannya”.
Akhirnya, impian Soekarno tentang Indonesia sebagai ”negara gotong royong” harus ditegakkan dengan bersandarkan pada wajah kembar politik yang tak terpisahkan: politik kemanusiaan (the politics of humanity) dan politik belas kasih (the politics of compassion), agar negara dan kekuasaan tidak hadir di tengah masyarakat dalam bentuknya yang represif dan tak berperikemanusiaan kepada warganya sendiri.