Usia Muhammadiyah memang jauh lebih tua dari negara Indonesia. Dan keberadaan republik ini tak dapat dipisahkan dari Muhammadiyah. Bahkan, republik ini didirikan oleh mereka yang antara lain berasal dari Muhammadiyah.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Jauh dari kegaduhan penundaan pemilu yang bergerak di simpang jalur konstitusi, papan nama ”Pusat Dakwah Muhammadiyah Tampo” dan ”Pimpinan Aisyiyah Ranting Tampo” di Jawa Timur justru digergaji, lalu dirobohkan. Tak terdengar suara dari pemimpin republik ini untuk hanya mengecam perilaku tak terpuji itu. Padahal, praktik persekusi yang juga terjadi di sembilan lokasi lain persyarikatan itu tidak sekadar menistakan perjuangan dakwah Islam berkemanusiaan yang menjadi spirit utama Muhammadiyah, tetapi juga menggergaji ikatan persatuan, kebinekaan, dan keindonesiaan yang telah susah payah diperjuangkan para pendiri republik ini.
Usia Muhammadiyah memang jauh lebih tua dari negara Indonesia. Dan keberadaan republik ini tak dapat dipisahkan dari Muhammadiyah. Bahkan, republik ini didirikan oleh mereka yang antara lain berasal dari Muhammadiyah. ”Saudara-saudara, makin lama makin saya cinta kepada Muhammadiyah,” pidato Soekarno di Muktamar Muhammadiyah pada tahun 1962 di Jakarta.
”Tatkala umur 15 tahun,” lanjutnya, ”Saya simpati kepada Kiai Ahmad Dahlan sehingga mengintil kepadanya. Tahun 1938, saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah. Tahun 1946, saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah. Tahun 1962 ini, saya berkata, moga-moga saya diberi umur panjang oleh AllahSubhanahu Wa Ta’aladan jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan nama Muhammadiyah di atas kain kafan saya.” Lebih dari itu, ”Bila aku mati kelak,” Soekarno berwasiat kepada keluarga, ”minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku” (Irfan Hamka, 2013).
Sebagai salah satu alim terbaik Muhammadiyah, Hamka bergegas melayat ke Wisma Yaso untuk memimpin shalat jenazah Soekarno sambil mengenang jasa mulia Soekarno dalam mendirikan dua masjid bagi umat Islam: Masjid Baiturrahim dan Masjid Istiqlal.
Penggergajian dan perobohan papan nama Muhammadiyah dan Aisyiyah jelas menistakan jejak warisan dan pengabdian yang diberikan bukan sekadar Soekarno sebagai guru dan pengurus Muhammadiyah Bengkulu dan istrinya, Fatmawati, pengurus Aisyiyah dan penjahit bendera Merah Putih, melainkan juga pendirinya, Kiai Dahlan, dan keluarga besar Muhammadiyah di seantero negeri.
Papan nama yang digergaji itu menjadi simbol identitas, kehormatan, dan perjuangan dakwah Islam Muhammadiyah yang selama ini didarmabaktikan untuk kemanusiaan yang inklusif dan universal. Alih-alih digerakkan oleh motif dan kepentingan diri sendiri, Muhammadiyah yang humanis selalu berorientasi kepada orang lain demi kebajikan dan kemaslahatan bersama.
Kemanusiaan dan belas kasih yang terinspirasi dari keteladanan luhur Kiai Dahlan menjadi panduan ber-Muhammadiyah. Sikap hidupnya yang ”asketis, rajin, jujur, dan suka membantu orang lain”, demikian menurut antropolog Amerika Serikat, James L Peacock (1978:34), telah meletakkan tonggak dasar Muhammadiyah untuk berkhidmat pada kemanusiaan yang inklusif.
”Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” telah menjadi wasiat yang berharga dari Kiai Dahlan yang terekam kuat dalam memori kolektif seluruh warga persyarikatan agar mendarmabaktikan hidup sebagai panggilan dan sekaligus pengabdian Muhammadiyah untuk kemanusiaan yang satu dan setara, demi Indonesia Raya.
Persekusi terhadap kehormatan dan perjuangan Muhammadiyah adalah penistaan pada kemanusiaan hakiki dan Indonesia tercinta. Tegaknya Indonesia Raya ini tak terlepas dari tradisi laku kehidupan sebagai panggilan dan pengabdian yang tulus, yang menjadi tanda bakti Muhammadiyah pada negeri tercinta, melalui pendidikan, rumah sakit, dan pelayanan umat.
Maka, dalam rangka merawat kesucian perjuangan Muhammadiyah dalam berbakti pada negeri, jangan pernah berkeluh kesah tentang apa yang kalian dapatkan dari negara. Dan jangan pernah pula sekali pun kalian mengemis jabatan dan kekuasaan kepada pemerintah karena hal itu hanya merendahkan kehormatan dan bahkan menodai kesucian perjuangan Muhammadiyah.
Etika ber-Muhammadiyah secara benar adalah menjiwai spirit kehidupan sebagai suatu panggilan dan pengabdian yang tulus untuk berbakti kepada negeri tentang apa yang selalu dapat dikaryakan dan diabdikan untuk kemajuan Indonesia Raya melalui amal kebajikan di bidang pendidikan, rumah sakit, dan pelayanan kemanusiaan.
Tradisi pelayanan kemanusiaan yang setara, inklusif, dan universal demi tegaknya dan kejayaan Indonesia Raya justru yang amat sangat dibutuhkan bangsa sekarang ini di tengah polarisasi, penderitaan, egoisme, ketamakan, kemiskinan, dan kesenjangan yang semakin akut. Bangsa ini mesti ditopang dengan tradisi pelayanan warga secara kolektif dan gotong royong di tengah beban penderitaan hidup sebagai perwujudan konkret atas sikap empati, belas kasih, dan kasih sayang di antara sesama manusia.