Segala sesuatu tak ada yang mustahil jika hidup di negeri bukan sulap bukan sihir. Termasuk juga rentetan persoalan tentang minyak goreng, mulai dari gonta-ganti kebijakan hingga ada dan tiadanya mafia dan kartel.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Bukan sulap, bukan sihir. Ungkapan itu mungkin pas untuk menggambarkan sejumlah persoalan minyak goreng sawit yang belum juga tuntas sejak harganya naik mulai Oktober 2021.
Lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri itu dipicu oleh kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dunia akibat siklus super (supercycle) komoditas dan mulai pulihnya permintaan. Berkurangnya pasokan CPO Malaysia lantaran banjir dan kekurangan pekerja perkebunan sawit akibat imbas pandemi Covid-19 juga turut andil. Tentu ini juga bukan sulap, bukan sihir.
Begitu juga dengan gonta-ganti kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menstabilkan stok dan harga minyak goreng di dalam negeri. Beberapa di antaranya kebijakan minyak goreng bersubsidi, minyak goreng satu harga, serta kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (DMO) CPO dan olein.
Kebijakan itu digantikan dengan kebijakan lain lantaran masih belum mampu mengurai benang kusut minyak goreng. Bahkan kebijakan DMO CPO dan olein, serta harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan premium yang sebenarnya sudah mulai mampu menurunkan harga, juga turut diganti.
Kemendag mengklaim kebijakan DMO sebenarnya sudah berjalan baik karena sudah terkumpul 720.612 ton CPO dan olein. Dari jumlah itu, 76,4 persen atau 551.069 ton CPO dan olein atau setara 570 juta liter minyak goreng sudah didistribusikan.
Kebijakan yang dikombinasikan dengan HET itu memang membuat harga minyak goreng mulai turun. Namun, pasokan minyak goreng hasil DMO itu seret, langka, tak banyak muncul di pasar tradisional dan jaringan ritel modern.
Bukan sulap, bukan sihir. Dalam tempo sehari hingga dua hari setelah kebijakan DMO dicabut dan harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium diserahkan ke mekanisme pasar per 16 Maret 2022, minyak goreng ”mendadak” membanjiri pasar. Harga aneka jenis minyak goreng itu juga kembali naik di kisaran 15,72 persen-40,98 persen per 1 April 2022 dibandingkan pada 15 Februari 2022.
Lalu ke mana larinya minyak goreng hasil kebijakan DMO itu? Ditimbun atau ditunda jual? Hanya sekadar laporan di atas kertas dan tidak direalisasikan dalam bentuk riil? Bocor ke industri-industri yang tidak berhak menerima atau diselundupkan ke luar negeri?
Lalu ke mana larinya minyak goreng hasil kebijakan DMO itu? Ditimbun atau ditunda jual? Hanya sekadar laporan di atas kertas dan tidak direalisasikan dalam bentuk riil? Bocor ke industri-industri yang tidak berhak menerima atau diselundupkan ke luar negeri?
Kemendag sempat mengendus persoalan itu. Ada dugaan mafia yang mendalanginya. Bukti-bukti sudah dikumpulkan dan dilaporkan ke Satuan Tugas Pangan Kepolisian RI. Namun, hingga kini, belum ada tersangka mafia yang diumumkan.
Yang dikejar-kejar justru sejumlah penimbun kecil, seorang ibu yang mencuri minyak goreng di sebuah swalayan, dan penutupan beberapa toko daring kecil yang berusaha mencari keuntungan. Lalu, ke mana mafianya? Lagi-lagi bukan sulap bukan sihir. Alat bukti dinyatakan tak cukup. Mereka yang diduga menimbun minyak goreng, baru menyimpannya selama sekitar sepekan.
Dalam Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting disebutkan, dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau penting dilarang disimpan di gudang di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau kebutuhan pasar paling lama tiga bulan. Aman bukan?
Audit dan revisi
Tidak mengherankan jika Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI meminta Kemendag mengaudit investigasi distribusi minyak goreng hasil DMO. Komisi VI juga meminta Kemendag mengusulkan revisi Perpres No 71/2015 karena dinilai sudah tidak relevan lagi.
Meski persoalan minyak goreng belum terurai, masyarakat miskin dan pedagang kecil memperoleh angin segar. Pemerintah akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta kepada 2,5 juta pedagang kaki lima yang berjualan makanan gorengan.
Dana BLT akan diberikan sebesar Rp 100.000 setiap bulan per penerima manfaat untuk tiga bulan sekaligus, yaitu April, Mei, dan Juni. BLT minyak goreng tersebut akan dibayarkan di muka pada April 2022 sebesar Rp 300.000 (Kompas, 1 April 2022).
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) juga tengah menyelidiki kasus dugaan kartel minyak goreng. KPPU menduga ada penetapan harga minyak goreng dan penguasaan pasar melalui pembatasan peredaran barang/jasa yang dilakukan beberapa produsen.
Di tengah negeri kaya sawit ini, bukan sulap bukan sihir, bukanlah hal yang mustahil. Aturan dan kebijakan bisa segera dibuat atau diganti-ganti.
Akankah ada oknum-oknum tertentu memanfaatkan celah untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan BLT minyak goreng? Akankah upaya KPPU kandas di tengah jalan?
Di tengah negeri kaya sawit ini, bukan sulap bukan sihir, bukanlah hal yang mustahil. Aturan dan kebijakan bisa segera dibuat atau diganti-ganti. Mafia bisa dimunculkan atau dihilangkan. Hanya peluh keringat warga yang antre dan berdesak-desakan demi mendapat 1-2 liter minyak goreng yang susah dihilangkan. Begitulah hidup di negeri bukan sulap, bukan sihir.