Rusia dan Prinsip “Pecunia Non Olet”
Meski demikian, Rusia harus menyadari bahwa tidak semua dunia bertindak seperti AS terhadap Rusia. Dunia memiliki nurani dan telah mengirimkan gelombang protes terhadap tragedi di Ukraina. Rusia harus mendengar dunia.
”Pecunia non olet”, artinya uang itu tetap saja uang, tidak mengeluarkan bau apa pun. Ini merujuk pada ucapan Kaisar Romawi Vespasianus kepada anaknya, Titus. Vespasianus meminta Titus mencium koin-koin hasil pajak yang diterapkan kekaisaran Romawi atas pembelian urine warga yang diproses lebih lanjut untuk menjadi produk berguna. Pasalnya, jenis pajak itu serasa menjijikkan bagi Titus. Saat koin itu dicium Titus, memang tidak berbau urine. ”Pecunia non olet,” demikian kata Vespasianus kepada Titus.
Ucapan lebih kurang serupa muncul lagi saat Barat memblokir akses keuangan global terhadap Rusia. Sanksi terbaru dari Barat ini muncul setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu. Sanksi pada 26 Februari itu termasuk pemutusan jaringan pengiriman pesan untuk keperluan transaksi keuangan global, yang dikelola Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Meski bermarkas di Belgia, pusat data SWIFT ada di Virginia, AS. Hal ini memungkinkan Washington mengawasi informasi soal aliran dana global.
Akan tetapi, pemblokiran itu oleh banyak pihak, disebut tidak akan berhasil mematikan total transaksi keuangan global dengan Rusia. ”Uang tetap saja uang. Sepanjang tidak terkait kegiatan ilegal, perbankan dunia tetap memiliki dorongan kuat untuk membantu nasabah yang terkena sanksi,” demikian Profesor Alistair Milne dari Loughborough University (Inggris). Milne adalah seorang pakar soal pembayaran global dan menuliskan artikel di harian Inggris The Financial Times, 1 Maret 2022. Intinya, ia mengatakan pemblokiran transaksi keuangan global ke Rusia tidak cukup kuat untuk memutus transaksi keuangan global dengan Rusia.
Ada bukti empiris tentang itu. Sanksi Barat tidak pernah berhasil memutus total aliran keuangan global dengan Iran. BNP Paribas SA, Standard Chartered Plc, HSBC Holdings, dan lainnya terbukti tetap membantu transaksi keuangan untuk keperluan Iran. Ini dituliskan dalam artikel berjudul ”How Disastrous Would Disconnection From SWIFT Be for Russia?” oleh Dr Maria Shagina dari University of Zurich di situs Carnegie Moscow Center, 28 Februari 2022.
Baca juga: Perang Ukraina Menjadi Pukulan Balik bagi Rusia
Apakah pemblokiran transaksi keuangan akan menyengsarakan Rusia? Ketika Barat mengucilkan Rusia dari SWIFT, setelah Rusia mencaplok Crimea (wilayah Ukraina) pada 2014, mantan Menkeu Rusia Alexei Kudrin memperkirakan produksi domestik bruto (PDB) anjlok 5 persen. Data Bank Dunia menunjukkan, PDB Rusia pada 2015 anjlok hanya 2 persen, setelah itu terus tumbuh. Kini PDB Rusia anjlok sebagaimana halnya dunia akibat pandemi Covid dan lainnya.
Dibuat repot
Apakah sanksi serupa pada 2022 ini akan merepotkan Rusia? Sanksi itu tetap sangat mengganggu. Uniknya tidak hanya Rusia yang terganggu. Negara-negara yang terlibat perdagangan dengan Rusia untuk komoditas gandum, minyak, gas dan lainnya turut terganggu. Jerman sangat tergantung pada migas asal Rusia. Barat hanya memblokir transaksi keuangan, bukan embargo perdagangan. ”Uni Eropa sangat tergantung pada migas Rusia. Pengurangan impor dari Rusia tidak bisa dilakukan secepat itu,” kata Perdana Menteri Belanda Mark Rutte (Reuters, 9 Maret).
Masalahnya adalah seberapa jauh Rusia itu terganggu. Seberapa jauh traksaksi keuangan Rusia dengan dunia akan terganggu. Walaupun terganggu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, warganya sudah siap dengan risiko ekonomi yang mungkin akan terjadi. Meski demikian, diyakini oleh banyak pakar, Rusia tidak akan tertutup total dari jaringan keuangan global.
Baca juga: Washington Panen Miliaran Dollar AS di Tengah Krisis Rusia-Ukraina
Sanksi Barat tidak mengenai semua perbankan di Rusia, hanya terbatas pada beberapa (Financial Express, 1 Maret 2022). Ada 300 bank asal Rusia pemakai jaringan SWIFT dan yang terkena pemutusan jaringan adalah Bank Otkritie, Novikombank, Promsvyazbank, Rossiya Bank, Sovcombank, Vnesheconombank (VEB) and VTB Bank (The Financial Times, 4 Maret). Dengan demikian, transaksi tetap bisa dibelokkan lewat sistem keuangan pada bank yang tidak terkena sanksi SWIFT.
Kantor berita Reuters, misalnya, pada 1 Maret memberitakan sejumlah perusahaan minyak Rusia memindahkan rekening ke Rosbank (milik Societe Generale/Perancis), Unicredit (Italia), dan Raiffeisen (Austria) untuk memuluskan transaksi perdagangan antarnegara.
Peter Klein, salah satu pendiri FinLync, juga menambahkan, transaksi keuangan global ke Rusia tidak selalu memerlukan mandat dari SWIFT. Sepanjang masih ada perbankan asing yang beroperasi di Rusia, transaksi keuangan tetap bisa berlanjut lewat jaringan pembayaran domestik Rusia (The Insider, 13 Maret 2022). ”Jika ingin memutus sistem keuangan internasional terhadap Rusia, semua perbankan global harus bereaksi seragam, termasuk bank asing yang memiliki cabang di Rusia” ujar Klein.
Bisnis menggiurkan
Sejauh ini, berdasarkan informasi di situs Aljazeera, 14 Maret, Citigroup Inc (AS) menyatakan tidak mengembangkan bisnis lebih jauh di Rusia dan akan mengurangi aktivitasnya. Hal serupa dinyatakan JPMorgan Chase & Co (AS), Goldman Sachs Group Inc (AS). Perbankan asal Eropa juga mengambil langkah serupa seperti Deutsche Bank, UniCredit, dan Raiffeisen Bank. Akan tetapi, tidak disebutkan dengan jelas bahwa bank-bank AS dan Eropa itu akan menutup aktivitas di Rusia, hanya mengurangi.
Mungkin ada hal yang akan mengkhawatirkan bagi perbankan AS dan Eropa itu jika membantu transaksi keuangan Rusia, apalagi jika aktivitasnya tercium. Namun, prinsip pecunia non olet tetap menjadi dorongan. Pembiayaan perdagangan dengan Rusia merupakan bisnis menggiurkan. Jika perbankan Barat menjauhi bisnis ini, akan ada bank-bank asing yang akan memasukinya. Dubes China untuk Rusia Zhang Hanhui sudah menyerukan agar para pebisnis China segera mengisi kekosongan akibat sanksi Barat (Bloomberg, 22 Maret). Dubes Zhang malah menyebutkan, adalah kesempatan besar sekarang memasuki dan mendalami bisnis di Rusia yang ditinggalkan Barat. China juga sudah menyerukan, pembayaran dalam transaksi ekonomi bilateral China-Rusia bisa dilakukan lewat mata uang yuan dan rubel.
Jangan lupa, perbankan AS dan Eropa pernah terpukul parah akibat krisis ekonomi AS dan Eropa pada 2008 dan 2009. Situasi itu membuat sistem keuangan Eropa dan AS belum pulih total dari kerugian.
Baca juga: Prahara di Ukraina, Laba di Amerika
Bisnis pembiayaan perdagangan dengan Rusia adalah salah satu sumber keuntungan, khususnya untuk Eropa. Data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menunjukkan, porsi ekspor dan impor Rusia dengan Uni Eropa ada di urutan nomor 1, China nomor 2 pada 2020. Bisa dibayangkan pula jika pihak yang akan paling dirugikan adalah Uni Eropa seandainya pemutusan hubungan ekonomi dilakukan. Maka, tidak heran jika Uni Eropa terpecah suara soal usulan pengenaan sanksi ekonomi lebih jauh dengan Rusia.
Tetap terbuka
Lagi, analis dari JP Morgan sendiri, misalnya, sudah mengatakan agar Rusia tidak dihambat jika itu terkait pembayaran utang Rusia ke perbankan internasional (Agence France Presse/AFP), 6 Maret. Terbukti, Rusia sudah berhasil membayar bunga utang 117 juta dollar AS ke kreditor lewat JP Morgan yang jatuh tempo pada Maret 2022. Pembayaran ini disampaikan ke Citi untuk menuntaskannya lebih lanjut (AFP, Reuters, 18 Maret). Kementerian Keuangan Rusia menyebutkan, pembayaran utang itu sudah terjadi pada 14 Maret lalu.
Langkah ini seiring dengan pernyataan Departemen Keuangan AS bahwa pembayaran oleh Rusia kepada kreditor asal AS tetap bisa dilakukan hingga 25 Mei. Itu berlaku untuk pembayaran utang Rusia dalam bentuk obligasi yang diterbitkan sebelum 1 Maret 2022. Meski 25 Mei terlewati, jika sanksi lewat SWIFT masih berlaku, Departemen Keuangan AS juga tidak menutup akses bagi Rusia untuk membayari utangnya. Rusia tetap bisa membayar utang kepada kreditor. Hanya saja para kreditor asal AS harus meminta izin khusus untuk itu (Bloomberg, 13 Maret). Dari total 120 miliar utang luar negeri Rusia, sebanyak 14 miliar dollar AS adalah terhadap sistem keuangan AS.
Baca juga: Arah Investasi Setelah Krisis Ukraina
Lalu, pemblokiran seperti apa sebenarnya yang terjadi pada Rusia? Memang sudah muncul keluhan bahwa warga Rusia tidak bisa mengambil uang tunai dari ATM saat plesiran di luar negeri. Juga disebutkan, Barat telah memblokir 300 miliar dollar AS cadangan devisa negara yang dikelola Bank Sentral Rusia dan ditempatkan di Barat. Meski demikian, sanksi seperti apa yang berlaku untuk Rusia dalam kaitannya transaksi keuangan global? Rinciannya belum jelas.
India tetap bertransaksi
Lalu, bagaimana selanjutnya? Bagaimana dunia akan bertransaksi terkait dengan perdagangan bilateral dengan Rusia jika akses pembayaran ditutup? India merupakan contoh yang jelas untuk mengatasi sanksi Barat terhadap Iran pada masa lalu. Berdasarkan mekanisme pembayaran rupee (mata uang India) dan rial (mata uang Iran), perusahaan penyulingan minyak dari India membeli minyak dari Iran. Pembayaran dilakukan lewat rekening rupee di Uco Bank dan IBDI Bank.
Kini, para eksportir India juga telah mendesak pemerintahannya untuk memastikan sistem pembayaran dengan Rusia tidak terganggu. Metode pembayaran terhadap Iran menjadi tiruan, di mana India membayar dengan rupee, Iran membayar dengan rial.
India membeli minyak, berlian, dan logam berharga, serta pupuk dari Rusia. India mengekspor barang modal, produk farmasi, produk kimia, dan suku cadang otomoditif ke Moskwa. India belum lama ini sudah menyatakan akan terus membeli produk dari Rusia. Transaksi dalam mata uang rupee dan rubel bisa berlaku.
Lalu, bagaimana negara-negara lain melaksanakan transaksinya dengan Rusia? Dengan China, Rusia jelas tidak bermasalah. China memiliki sistem pembayaran tersendiri yang dinamai China Cross-Border Interbank Payment System (CIPS). Lewat CIPS, perdagangan Rusia-China bisa dilakukan lewat CIPS. Apalagi China tidak ikut mengenakan sanksi terhadap Rusia.
China, bahkan, bisa menolong Rusia lebih dari sekadar pemulusan transaksi keuangan. Barat, misalnya, telah menutup akses bagi sejumlah perbankan Rusia untuk penerbitan surat utang di pasar uang dan pasar modal Barat. Akan mudah bagi pusat keuangan di luar Barat untuk menggantikan peran Barat tersebut dalam pemberian pinjaman, terutama China.
Maka mungkin tidak heran jika PM Belanda Mark Rutte, 14 Juni 2021, pernah mengatakan bahwa Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) seharusnya jangan terlalu naif soal China dan Rusia.
Sistem Mir
Kembali ke pemblokiran lewat SWIFT, Rusia sendiri sudah memiliki sistem pembayaran yang dinamai kartu Mir. Kartu ini belum berlaku global dan hanya terbatas pada transaksi Rusia dengan Ossetia dan Abkhazia (pecahan Georgia). Operasi pembayaran dengan Mir secara terbatas memungkinkan juga untuk dilakukan dengan Turki, Kirgistan, Uzbekistan, dan Kazakhstan. Lalu, dengan kartu Rusia yang bekerja sama dengan UnionPay (kartu China), transaksi bisa dilakukan di luar Rusia.
Ada banyak cara bagi siapa saja yang ingin bertansaksi dengan Rusia. Metode SWIFT disebutkan tetap bisa diakali. SWIFT bukan jaringan pembayaran. SWIFT hanya jaringan pengiriman pesan transaksi keuangan secara global. Jika pengiriman pesan lewat SWIFT tidak bisa dilakukan, hal itu tetap bisa dilakukan lewat pesan bilateral, seperti pemberitahuan lewat Whastapp atau jaringan lainnya sepanjang itu aman (Reuters, 7 Maret).
Lepas dari itu, BBC, 27 Februari, menuliskan, Eropa enggan dan terpecah soal sanksi lewat SWIFT. Sejumlah negara, seperti Jerman, Perancis, dan Italia, enggan mengikuti sanksi atas Rusa lewat SWIFT.
Akses lain bagi Rusia dan pihak-pihak luar yang berkepentingan dengan Rusia adalah transaksi gelap lewat pembayaran tunai.
Kini, akses bagi Rusia lebih luas lagi dengan adanya mata uang digital, termasuk lewat cryptocurrency. Harian The New York Times, 25 Februari, menuliskan bahwa penggunaan mata uang digital ini bisa menumpulkan sanksi AS. Pada Oktober 2022, Departemen Keuangan AS mengingatkan bahwa peningkatan penggunaan cryptocurrencies menjadi ancaman serius bagi efektivitas sanksi AS.
Ancaman lain adalah pengenaan sanksi yang dimotori AS berpotensi mengurangi hegemoni dollar AS dalam perdagangan dunia (The Economist, 18 Januari 2020). Fakta lain, sanksi-sanksi AS terhadap Iran, Korea Utara, dan Venezuela tidak menghasilkan perubahan rezim di negara-negara tersebut (artikel ”Building a Flywheel: The Biden Administration’s Opportunity to Forge a New Path with North Korea”, oleh Dr John Park, di situs Center for a New American Security, 28 Februari).
Langkah antisipasi
Rusia, intinya sulit diputus total dalam transaksi keuangan global. Negara ini juga pasti sudah punya pengalaman untuk mengatasi sanksi Barat yang datangnya bukan kali ini saja. ”Rusia punya banyak waktu untuk berpikir tentang konsekuensi. Adalah naif jika mengira bahwa Rusia tidak memiliki skenario,” kata Michael Parker, mantan jaksa AS yang kini mengepalai bidang antipencucian uang dan praktik sanksi di perusahaan hukum Ferrari & Associates yang bermarkas di Washington.
Senada dengan Parker, Rusia sebenarnya bukanlah sebuah negara tanpa taktik. Saat Barat memutus SWIFT ke Rusia pada 2014, Presiden Rusia Dmitri Medvedev ketika itu menyatakan sanksi adalah pernyataan perang. Mungkin Rusia telah mempersiapkan diri sejak itu dan mengantisipasi sanksi yang muncul lagi pada 2022 ini. Terbaru, Medvedev sudah menyatakan bahwa Rusia memiliki banyak negara mitra untuk mengatasi kekacauan pasar. Bahkan Medvedev berkata lebih jauh, ”Kami telah dikucilkan dalam banyak hal, dihukum dan diancam, tetapi kami tidak merasa takut,” kata Medvedev.
Tujuan ucapan Medvedev diduga kuat mengarah kepada AS. Meski demikian, Rusia memang harus menyadari juga bahwa tidak semua dunia seperti AS terhadap Rusia. Dunia memiliki nurani yang telah mengirimkan gelombang protes terhadap tragedi di Ukraina. Rusia harus mendengar seruan dunia, yang tidak selamanya juga setuju dengan AS. Penghentian perang segera adalah solusi terbaik, apa pun argumentasi Rusia soal serangannya kepada Ukraina.
Baca juga: Saat Hampir Capai Kesepakatan, Rusia Tingkatkan Penggunaan Rudal Hipersonik