Cepat dan Tepat Hadapi Gelombang Ketiga Pandemi
Varian Omicron dalam dua pekan terakhir meningkatkan secara tajam kasus harian Covid-19 di Indonesia. Kebijakan yang tepat dan cepat dari pemerintah dibutuhkan dalam meredam penularan Covid-19 di Tanah Air.

Spanduk dengan pesan untuk mewaspadai penularan Covid-19 terutama varian Omicron terpasang di Jalan Samanhudi, Jakarta Pusat, Selasa (25/1/2022).
Selepas puncak kasus Covid-19 akibat varian Delta pada pertengahan tahun 2021, Indonesia sempat mengalami masa penularan rendah dalam kurun waktu sekitar 16 pekan dengan rasio kasus positif sangat rendah. Namun belakangan, dalam dua pekan terakhir, varian Omicron meningkatkan secara tajam kasus harian Covid-19 di Tanah Air.
Rasio kasus positif yang melonjak menjadi peringatan keras, terutama bagi daerah dengan penularan cukup tinggi. Indonesia harus bersiap menghadapi puncak gelombang ketiga yang dikhawatirkan bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan puncak gelombang kedua akibat varian Delta. Pelajaran dari gelombang kedua semestinya membuat pemerintah dan masyarakat lebih siaga menghadapi dan meredam penularan Covid-19.
Jumlah kasus harian di tanggal 1 Januari 2022 yang kurang dari 300 kasus mendadak naik hingga melebihi 1.000 kasus di 15 Januari 2022. “Dalam waktu dua minggu, dari 15 Januari 2022, meningkat berapa kali sekarang ini, tinggi banget, jauh di atas 10.000 (kasus). Jadi, berkali lipat,” kata Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Zubairi Djoerban dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk “Gelombang Ketiga Pandemi” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (2/2/2022) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Redaksi Kompas P Tri Agung Kristanto itu diikuti sejumlah narasumber lainnya yakni peneliti, sejarawan, serta penulis buku "Perang Melawan Influenza" Ravando; Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Agustin Kusumayati; dan Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Hery Trianto.
Baca juga: Kasus dan Kematian Melonjak, Waspada Penularan dari Sekolah ke Rumah

Satu Meja the Forum bertajuk “Gelombang Ketiga Pandemi” disiarkan Kompas TV, Rabu (2/2/2022) malam. Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Redaksi Kompas P Tri Agung Kristanto itu diikuti sejumlah narasumber yakni Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia; peneliti, sejarawan, serta penulis buku "Perang Melawan Influenza" Ravando; Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Agustin Kusumayati; dan Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Hery Trianto.
Zubairi menuturkan orang tanpa gejala saat ini tidak dirawat di rumah sakit. Mereka yang dirawat di rumah sakit hanya pasien dengan gejala sedang dan berat. Dan, ternyata hampir semua rumah sakit di Jakarta sekarang sudah terisi lebih dari 50 persen.
Positivity rate atau rasio kasus positif di Jakarta pada awal Januari 2022 tercatat 0,3 persen dan di Indonesia berkisar 0,5-0,6 persen atau sangat rendah. “Sekarang naiknya luar biasa, di atas 20 persen. Itu berarti risiko penularan amat sangat tinggi,” katanya.
Baca juga : Satu Kasus Positif Omicron Ditemukan di DIY, Puluhan Orang Dinyatakan "Probable"
Hal yang menjadi catatan penting adalah rasio kasus positif nasional lebih tinggi dibanding Jakarta. Namun, sayangnya, banyak provinsi-provinsi di luar Jakarta tersebut memiliki jumlah tes sangat sedikit. Lebih dari 50 persen tes seluruh Indonesia itu dikerjakan di Jakarta. Terkait hal ini provinsi-provinsi diminta dapat meningkatkan jumlah tes agar tidak salah dalam pembacaan. “(Hal ini) karena sekarang membaca yang tertulis adalah positivity rate Jakarta 20 persen lebih namun kasusnya paling banyak. Sedangkan positivity rate di luar Jakarta lebih tinggi namun kasusnya sedikit. Jadi, tolong juga dinaikkan tesnya (di provinsi-provinsi itu),” kata Zubairi.
Rasio kasus positif atau perbandingan jumlah orang yang positif dengan jumlah orang yang dites menjadi pegangan pula dalam membuka atau menutup pembelajaran tatap muka (PTM). PTM aman ketika diselenggarakan pada kondisi rasio kasus positif kurang dari 3 persen. Di atas 10 persen kondisi dinilai amat tidak aman untuk PTM. “Usulku, kalau ada provinsi-provinsi yang positivity rate-nya di atas 20 persen, ya, sementara ditutup saja,” ujar Zubairi.

Guru memperhatikan pekerjaan anak didik dalam pembelajaran tatap muka (PTM) di SDN Klender 01, Jakarta Timur, Selasa (4/1/2022).
Pencegahan penularan oleh masyarakat yang difasilitasi pemerintah dinilai merupakan langkah terbaik agar kasus Covid-19 tidak memuncak. Vaksinasi harus digencarkan. Mereka yang belum mendapatkan vaksin harus segera divaksinasi. Mereka yang telah mendapat dua kali vaksin secepatnya mendapatkan vaksin penguat.
“Kalau keluar rumah harus pakai masker. Maskernya kalau bisa yang N95 atau KN95, jangan yang lain. Hal yang amat bahaya itu kalau kita berada dalam satu ruangan, bersama-sama dengan banyak orang, cukup lama. Apalagi kalau ruangannya itu pakai AC dan tertutup, baik itu ruang rapat di kantor, ruang ibadah, ruang waktu sekolah, ruang waktu kita melayat, takziah, ataupun yasinan, itu semuanya berisiko tinggi. Jadi itu harus dihindari,” kata Zubairi.
Baca juga : Kelpmpok Usia 21-30 Tahun Dominasi Pasien Omicron
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat dapat ditingkatkan ketika kondisi dinilai memang membutuhkannya. Pendisiplinan menjadi komponen penting agar aturan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Pemerintah pun harus mendistribusikan obat-obatan ke apotek-apotek agar dapat dimanfaatkan orang yang berobat jalan supaya kondisinya membaik sehingga tidak perlu masuk ke rumah sakit.
Zubairi menuturkan karantina mesti diawasi dengan baik. Pengelolaan rumah sakit pun menjadi penting karena banyak yang telah terisi pasien Covid-19 hingga lebih dari 50 persen. Tenaga kesehatan mesti pula dijaga kesehatannya.

Penjual makanan mendorong gerobak melintas di depan kompleks Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Rabu (22/12/2021).
Penulis buku “Perang Melawan Influenza” Ravando menuturkan flu Spanyol merupakan salah satu dari banyak pandemi yang pernah menyerang dunia dan juga dialami Indonesia. Merujuk data historis, jauh sebelum merebaknya Covid-19, Indonesia sudah berulang kali menghadapi berbagai serangan wabah.
Pada tahun 2000-an, misalnya, ada wabah SARS dan MERS. Di tahun 1968 dan 1969 ada flu Hongkong. Pada tahun 1957 ada flu Asia. Dan, di tahun 1918-1919 ada flu Spanyol. Kala itu flu Spanyol diperkirakan membunuh sekitar 50 juta-100 juta jiwa di seluruh dunia.
Jumlah korban akibat flu Spanyol di Indonesia diperkirakan 1,5 juta orang-4,37 juta jiwa dan itu hanya di wilayah Jawa serta Sumatera. Serangan flu Spanyol mencapai puncaknya, disebut gelombang kedua, pada Oktober-Desember 1918. “Dan, gelombang ketiganya ternyata terjadi antara bulan Januari-Februari, mirip dengan apa yang terjadi dengan Covid-19 saat ini,” kata Ravando.
Mitigasi puncak gelombang
Sementara itu Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Agustin Kusumayati menuturkan, beberapa skenario memperkirakan puncak gelombang ketiga Covid-19 akan terjadi di Indonesia antara awal sampai pertengahan Maret 2022. Jumlah kasus dapat lebih banyak dari yang diakibatkan varian Delta karena tingkat kemampuan menular varian Omicron yang lebih kuat.

Rumus menghadapi wabah Covid-19, menurut Agustin, tidak berubah dan sudah dilakukan saat terjadi gelombang kedua lalu. Rumus itu mencakup siklus pencegahan, deteksi, dan respons. Hal pertama yang perlu diperkuat adalah upaya preventif untuk mencegah penularan dengan segala macam cara.
Seperti diketahui, penularan atau transmisi Covid-19 dapat dicegah melalui gerakan 5M yakni mulai menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengatur mobilitas, dan menghindari kerumunan. “Saya merasa kita harus fokus pada upaya preventif ini. Mau tidak mau, pemerintah dalam hal ini sebagai otoritas, harus menjalankan leadership dan keputusan yang cepat dan tepat untuk mengatur dan menggerakkan upaya prevention ini,” kata Agustin.
Saya merasa kita harus fokus pada upaya preventif ini. Mau tidak mau, pemerintah dalam hal ini sebagai otoritas, harus menjalankan leadership dan keputusan yang cepat dan tepat untuk mengatur dan menggerakkan upaya prevention ini.
Menurut Agustin kondisi sekarang menunjukkan alarm yang cukup jelas agar pemerintah segera melakukan langkah tersebut. Selanjutnya, kemampuan deteksi – sebagai salah satu siklus surveilans – di daerah-daerah yang belum sebaik dan semasif di Jakarta perlu didorong. Dengan demikian identifikasi dapat dilakukan secara efektif, dini, dan cepat untuk mencegah berlanjutnya penularan.
Ketua Bidang Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Hery Trianto menuturkan, sejak awal pandemi pihaknya meyakini bahwa hal paling murah dan penting untuk menghadapi pandemi Covid-19 adalah menyelesaikan persoalan di sektor hulu. “Hal ini karena berapapun (yang dikeluarkan atau dikerahkan) di sektor hilir, tidak akan kuat kalau sektor hulu tidak dibenahi,” katanya.

Tangkapan layar pemaparan Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito, Kamis (23/12). Vaksinasi saja tidak cukup, namun perlu diikuti dengan langkah pencegahan lain, terbukti sejumlah negara dengan cakupan vaksiansi tinggi tetap alami lonjakan kasus dan kematian setelah meluasnya Omicron.
Oleh karena itu sejak awal Satgas Covid-19 berpegangan pada pakem untuk melakukan kolaborasi pentaheliks dalam menangani pandemi Covid-19. Kolaborasi ini menempatkan publik atau masyarakat sebagai subyek penanggulangan melalui adaptasi kebiasaan baru. Mengubah perilaku memang tidak mudah dan tidak bisa secara instan.
Baca juga: Ironi Sergapan Omicron Kala Prokes Melonggar
Pengubahan pola pikir dan keyakinan masyarakat tentang adaptasi kebiasaan baru atau perilaku mereka dengan 3M yang bisa berkembang menjadi 5M atau 6M harus benar-benar dilakukan secara masif dan terstruktur. Penanganan masalah hulu diyakini masih akan dilakukan di samping juga penyiapan sedemikian rupa di sisi hilir saat terjadi situasi darurat penularan tinggi seperti sekarang.
“Isolasi terpusat juga harus disiapkan karena tidak semua orang, sebenarnya, untuk dirawat di rumah sakit karena (dampak) Omicron ini sebagian besar bergejala ringan dan tanpa gejala. Untuk mengedukasi mereka, bagaimana kalau tidak bergejala atau bergejala ringan, juga tidak mudah. Kalau tidak hati-hati, justru menimbulkan kluster penularan baru. (Edukasi masyarakat) pekerjaan besar kita untuk menjaga situasi ini,” kata Hery.