Kasus dan Kematian Melonjak, Waspada Penularan dari Sekolah ke Rumah
Pembelajaran tatap muka menjadi sumber penularan Covid-19. Hal itu ditandai dengan banyaknya kasus impor dari sekolah ke keluarga. Jakarta disarankan memberlakukan kembali sekolah daring untuk menekan lonjakan kasus.
—
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dan kematian karena Covid-19 di Indonesia terus melonjak, dengan sumbangan tertinggi di Jakarta. Pembelajaran tatap muka menjadi salah satu sumber penularan dari sekolah ke kluster keluarga.
Laporan Kementerian Kesehatan pada Kamis (3/2/2022) menyebutkan, kasus baru Covid-19 di Indonesia bertambah 27.197 orang. Kasus aktif meningkat 21.166 orang sehingga total menjadi 115.275 kasus. Sementara korban jiwa bertambah 38 orang, meningkat signifikan dibandingkan dengan sehari sebelumnya, 25 orang.
Mayoritas penambahan kasus dan korban jiwa terjadi di wilayah DKI Jakarta, yaitu 10.117 kasus baru dan 23 korban jiwa. Namun, sejumlah daerah di Pulau Jawa, juga mulai menunjukkan lonjakan kasus. Di luar Jawa, Bali mengalami penambahan kasus harian tertinggi, yaitu 1.501 kasus dan 1 korban jiwa.
”Jumlah kasus harian kemarin (Rabu, 2/2) sudah lebih 17.000 orang, padahal 2 Januari 2022 baru 214 orang dan 13 Desember 2021 hanya 106 orang. Jadi, tindakan sekarang jelas harus berbeda dengan yang sudah dijalankan sebelumnya, tidak bisa sama saja. Sekarang perlu ada kebijakan baru karena jumlah kasus naik tajam,” kata Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara.
Sejumlah tindakan yang harus dilakukan di antaranya mengevaluasi pelaksanaan kriteria pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). ”Perlu evaluasi bagaimana implementasi kriteria PPKM. Misalnya, angka BOR (penghunian tempat tidur) rumah sakit sangat tergantung dari berapa tempat tidur yang disediakan, kalau alokasinya ditambah, BOR akan turun, jadi harus dibaca hati-hati,” ujarnya.
Baca Juga: Batuk Kering dan Nyeri Tenggorokan Terbanyak Dikeluhkan, Segera Periksa Covid-19
Tjandra juga mengusulkan agar pembelajaran tatap muka dievaluasi, dengan mengikuti surat lima organisasi profesi dokter spesialis, kenaikan kasus secara umum, dan kejadian Covid-19 pada anak di beberapa negara. Selain itu, patut diperhitungkan Covid-19 berkepanjangan pada anak. ”Setidaknya lakukan pentahapan pembatasan pembelajaran tatap muka di daerah yang paling berisiko untuk anak,” ujarnya.
Dari sekolah ke rumah
Data menunjukkan, penularan dari sekolah ke keluarga semakin banyak ditemukan. Arum (43), warga Jakarta Selatan, misalnya, terkonfirmasi positif Covid-19 pada Minggu (29/1). ”Anak saya (16) awalnya sakit, dengan gejala demam sangat tinggi pada Jumat (27/1). Setelah dari dokter kemudian diperiksa dan positif Covid-19,” tuturnya.
Perlu evaluasi bagaimana implementasi kriteria PPKM. Misalnya, angka BOR (penghunian tempat tidur) rumah sakit sangat tergantung dari berapa tempat tidur yang disediakan, kalau alokasinya ditambah, BOR akan turun, jadi harus dibaca hati-hati.
Arum meyakini anaknya tertular dari lingkungan sekolah karena sebelumnya banyak anak di kelasnya jatuh sakit, tetapi tidak melapor sehingga pembelajaran tatap muka masih seperti biasa. ”Baru setelah saya dan anak saya positif, kami melapor ke sekolah dan kemudian dilakukan tes. Hasilnya ada banyak yang lain juga positif. Berarti memang sudah bersirkulasi di sekolah,” ujarnya.
Meski sudah mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19, Arum mengaku mengalami gejala. ”Saya mengalami alergi dan pernah terkena pneumonia. Gejala saya demam tinggi dua hari, hari ketiga muntah-muntah dan pusing. Sekarang batuk sangat menyiksa dan tidak bisa tidur. Syukur tidak ada sesak napas,” ujarnya.
Dengan kondisi ini, Arum berharap pemerintah bisa mengkaji ulang pembelajaran tatap muka untuk anaknya. ”Kasihan kalau di rumah ada keluarga besar, yang juga punya komorbid (penyakit penyerta). Risikonya pasti lebih besar,” katanya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam juga menyarankan agar pemerintah menghentikan sementara pembelajaran tatap muka hingga sebulan ke depan. ”Penularan bisa terjadi di sekolah. Ini juga terjadi pada kerabat kami, anaknya tertular teman di sekolah,” ungkapnya.
Baca Juga: Mengapa Infeksi Covid-19 Menghilangkan Indera Penciuman
Selain mengevaluasi pembelajaran tatap muka, Ari meminta pemerintah membatasi kerumunan dan memberikan sanksi yang tegas. ”Hari ini kasus baru Covid-19 di Indonesia meningkat 58 persen dan kasus meninggal meningkat hampir 50 persen dari sebelumnya,” katanya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, meskipun anak sudah divaksin, dia tetap bisa terpapar Covid-19 dan kemudian menularkan ke keluarganya, termasuk kakek-neneknya yang berisiko. ”Ini yang di banyak negara lain menimbulkan beban ke fasilitas kesehatan karena kelompok berisiko ini butuh perawatan di rumah sakit yang bisa berujung kematian. Demikian juga, adik-adiknya yang belum divaksin juga berisiko,” ujarnya.
Menurut Dicky, lonjakan kasus Omicron telah menyebabkan banyak anak terinfeksi. ”Di negara maju, termasuk di tempat tinggal saya sekarang di Queensland (Australia), selama gelombang Delta tidak ada kasus dan kematian karena Covid-19 pada anak-anak. Namun, selama Omicron, kasus infeksi pada anak sangat besar, bahkan sudah ada kematian,” katanya.
Oleh karena itu, Dicky menyarankan agar Pemerintah Indonesia merespons cepat, tidak menunggu lonjakan kasus lebih tinggi, termasuk di kalangan anak-anak. ”Untuk meredakan penularan selama Omicron, beberapa negara menutup sekolah sementara, termasuk Afrika Selatan, baru beberapa hari terakhir sekolah kembali dibuka setelah kasusnya menurun,” kata Dicky.
Ketika situasi membaik, sekolah bisa dibuka kembali. ”Dengan varian Omicron yang sangat menular, apalagi subvariannya lebih menular, sulit untuk mencegah penularan di sekolah. Setidaknya, sekolah tutup dulu sampai awal Maret 2022, di daerah yang kasusnya sudah tinggi seperti Jakarta,” ujarnya.